Upacara Adat Noi’an Rumah Suku Dayak Blaman Dalam Perbandingan Dengan Kebaktian Kristiani

Upacara adat Noi’an rumah adalah salah satu upacara adat ungkapan penuh syukur dan mohon perlindungan dari Sangiang Dewata untuk rumah baru dan orang-orang yang tinggal di dalam rumah tersebut. Gereja dapat menginkulturasikan noian rumah ke dalam kebaktian Kristiani agar Gereja senantiasa bersatu dan terus menyuarakan Injil dalam kehidupan sehari-hari.

Pengantar

Upacara adat noi’an rumah adalah salah satu contoh kebudayaan lokal yang berasal dari masyarakat Suku Dayak Blaman. Upacara adat noi’an rumah tidak hanya terbatas pada masyarakat yang masih menganut kepercayaan asli atau Kaharingan, tetapi juga masyarakat yang mengimani Kristus. Berhadapan dengan fenomena tersebut, Gereja harus mampu menginkulturasikan kearifan budaya setempat dengan iman Kristiani. Upacara adat Dayak Blaman noi’an rumah adalah salah satu contoh kebudayaan yang dapat dijadikan sarana pewartaan inkulturatif, khususnya dalam penghayatan sakramentali pemberkatan rumah. 

Upacara Adat Noi’an Rumah Suku Dayak Blaman

Upacara adat adalah salah satu warisan dari kearifan budaya setempat dan merupakan harta berharga yang ditinggalkan oleh leluhur dari masyarakat yang berdiam di suatu daerah. Masyarakat percaya bahwa jika menjalankan ritual-ritual tertentu dalam upacara adat, maka hidup akan aman dan bahagia. Upacara adat dilaksanakan juga untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal buruk yang akan menimpa hidup manusia. 

Suku Dayak Blaman merupakan salah satu rumpun Suku Dayak yang ada di Kalimantan Tengah. Kata Blaman, berasal dari Bahasa Bulik yang berarti pedesaan. Dayak Blaman adalah Suku Dayak yang masyarakatnya terpencar di desa-desa sekitar Sungai Bulik dan Mentobi. Adapun desa-desa yang berada di sekitar Sungai Bulik antara lain Desa Sungkup, Nanga Koring, Toka, Sepondam, Merambang, Batu Tunggal, Kemujan, Pedongatan, Melata, Nanuah dan Lubuk Hiju.

Suku Dayak Blaman memiliki beberapa upacara adat yang sudah diwariskan secara turun temurun dan adat istiadat tersebut menjadi kekhasan dari suku tersebut. Salah satunya adalah upacara adat noi’an rumah. Upacara adat ini sudah ada sejak jaman dulu dan masih dipertahankan oleh masyarakat Suku Dayak Blaman hingga sekarang.

Bagi masyarakat Suku Dayak Blaman, rumah menjadi sebuah ruang yang paling nyaman untuk dijadikan sebagai tempat tinggal. Masyarakat Dayak Blaman pada umumnya mendirikan rumah dengan menggunakan bahan atau ramuan yang berasal dari kayu-kayu hutan, seperti kayu ulin, meranti, omang dan lainnya. Pengadaan bahan atau ramuan disebut beramu.  Dewasa ini, mengingat sulitnya mencari bahan atau ramuan yang berasal dari kayu-kayu hutan, maka kebanyakan masyarakat Suku Dayak Blaman Bulik mulai mendirikan rumah dengan menggunakan bahan lain. Namun, upacara adat noi’an rumah masih tetap dipertahankan hingga sekarang.

Upacara adat noi’an rumah merupakan upacara syukur kepada Sangiang Dewata atau penguasa alam dan roh leluhur. Upacara ini dilakukan sebagai bentuk sukacita dari orang yang telah berhasil mendirikan rumah dan memohon perlindungan dari Penguasa alam dan roh leluhur. Setelah rumah tersebut selesai, sebelum didiami oleh keluarga yang bersangkutan, harus diadakan acara syukuran atau upacara adat noi’an rumah, tompas siang tompung tawar rumah. 

Tujuan Upacara Adat Noi’an Rumah

Suku Dayak Blaman merupakan masyarakat yang mencintai alam sekitarnya dan sangat menghormati adat istiadat yang sudah ada sejak turun temurun. Selain itu, masyarakat juga sangat menghargai Sangiang Dewata dan roh para leluhur. Untuk mendapat perlindungan, masyarakat percaya bahwa mereka harus meminta perlindungan dari Sangiang Dewata dan roh para leluhur. Sangiang Dewata dan roh para leluhur akan memberi pelindungan kepada keluarga yang mendiami sebuah rumah jika keluarga yang bersangkutan melaksanakan ritual adat yang biasanya dikenal dengan ritual adat noi’an rumah.

Memiliki rumah yang di dalamnya terdapat kedamaian dan kasih sayang adalah harapan bagi setiap masyarakat. Masyarakat Suku Dayak Blaman percaya melalui upacara adat noi’an rumah, harapan masyarakat berkaitan dengan kedamaian dan kasih sayang di dalam rumahnya dapat tercapai. Menurut kepercayaan masyarakat Suku Dayak Blaman, upacara adat noi’an rumah bertujuan untuk memohon perlindungan kepada Sangiang Dewata agar orang-orang yang mendiami rumah tersebut tidak mendapat gangguan, dan selalu dalam suasana aman dan damai. Upacara adat ini dilaksanakan sebagai pulih budasnya  jika ada yang tidak baik pekerjaannya dan juga ada bahan-bahan yang salah pasang, sehingga tidak mengganggu ketentraman rumah tangga tersebut. 

Dari tujuan tersebut, masyarakat berharap rumah yang akan mereka tempati kelak menjadi rumah yang penuh cinta dan kerukunan, layaknya rumah yang mereka impikan. Rumah yang diberkati oleh Sangiang Dewata.

Proses dan Tata Pelaksanaan Upacara Adat Noi’an Rumah

Nyemolih Manuk (Menyembelih Ayam)

Upacara adat noi’an rumah dilaksanakan saat “matahari naik”, kira-kira jam 07.00 - 09.00 pagi. Upacara ini diawali dengan nyemolih manuk tepat di halaman atau di depan rumah. Setelah ayam disembelih, darah ayam tersebut dikeluarkan dan dibiarkan menetes ke tanah.

Makna dari penyembelihan ayam ini adalah kurban yang membawa keselamatan di dalam rumah tersebut. Melalui keselamatan itu, setiap orang yang berada di dalam rumah tersebut akan merasa aman, Sangiang Dewata dan roh para leluhur selalu ada menyertai mereka.

Tabur Boras (Tabur Beras)

Setelah upacara nyemolih manuk, kegiatan selanjutnya adalah tabur boras. Dalam upacara ini, beras yang dipakai adalah beras kuning. Beras ini diracik dengan kunyit sehingga berwarna kuning. Ketua adat yang memimpin upacara ini menghamburkan atau melemparkan beras kuning di sekitar pekarangan rumah dan di atas kepala orang-orang yang akan mendiami rumah tersebut.

Makna dari tabur boras adalah “mengundang semangat” atau membangkitkan semangat dari para penghuni rumah. Sangiang Dewata dan roh para leluhurlah yang membangkitkan semangat dari dalam diri penghuni rumah ini, sehingga suasana di dalam rumah terasa lebih hidup dan bahagia.

Kotum’ Bosi (Menggigit Besi)

Kotum’ bosi adalah tahap selanjutnya dari upacara ini setelah tabur boras. Pada tahap ini, salah satu dari anggota keluarga atau penghuni rumah diminta untuk menggigit besi kecil, biasanya orang yang melakukan ini adalah kepala keluarga atau lelaki dewasa yang menghuni rumah tersebut.

Makna dari kotum’ bosi adalah agar semangat yang sudah dibangkitkan oleh Sangiang Dewata dan roh para leluhur sama kuatnya dengan besi yang digigit oleh salah satu penghuni.

Kobat Tongang (Ikat Tongang) dan Naik Tangga

Tongang adalah jenis akar langka yang tumbuh di hutan rimba, yang membelit pohon-pohon. Serat akar tongang ini diambil dan diolah sedemikian rupa, dipintal menjadi tali temali yang kuat sehingga dijadikan kepercayaan dan keagungan karena keampuhan dan kekuatannya. 

Dalam upacara ini, tongang diikatkan pada tiang rumah yang didirikan di sebelah kanan. Namun, sebelum mengikat tongang tersebut, upacara yang lebih dahulu dilakukan adalah menaiki tangga rumah (jika tidak ada tangga, upacara menaiki tangga dapat dilewatkan). Sebelum menaiki tangga, ketua adat atau pemimpin upacara harus memecahkan sebutir telur ayam kampung di anak tangga yang pertama dengan cara menginjak telur ayam kampung dengan tumit. Setelah telur ayam kampung pecah, ketua adat menyiram tangga tersebut dengan air.

Makna dari pemecahan telur ayam kampung ini adalah penyucian atau pembersihan. Maksudnya adalah rumah tersebut sudah benar-benar dibersihkan dan disucikan oleh Sangiang Dewata dan roh leluhur sehingga setelah upacara ini tidak ada lagi “sesuatu” yang kasat mata dan tidak kasat mata dapat tinggal dan mengganggu ketenteraman penghuni rumah tersebut.

Membuka Pintu Rumah

Kegiatan selanjutnya dalam upacara adat noi’an rumah adalah membuka pintu rumah. Di depan pintu, sebelum membuka pintu rumah, ketua adat atau orang yang memimpin upacara adat tersebut mengucapkan sepatah kata dengan menggunakan Bahasa Dayak Blaman yang berbunyi: “Tali lantah tali lanting. Akar kayu memuka’ pintu. Hinang sakin’hinang gorik.Kami menoi’an rumah batara bungsu”. 

Kalimat ini diucapkan oleh pelayan dalam upacara adat noi’an rumah dan kalimat tersebut merupakan doa dari penduduk desa dan penghuni rumah kepada Sangiang Dewata dan roh leluhur agar Sangiang Dewata dan roh leluhur selalu menjaga, melindungi dan mendampingi penghuni rumah tersebut agar tidak sakit dan tidak mendapat gangguan.

Memercik Arai Boras Komak

Arai boras komak adalah air dari beras yang sudah lama direndam selama satu malam sebelum upacara adat noi’an rumah dilaksanakan. Air ini diperciki oleh ketua adat atau pelayan yang memimpin upacara adat di seluruh ruangan yang ada di dalam rumah tersebut. Pemercikan ini dimulai dari ruang tamu, kamar tidur dan dapur. Makna dari upacara memercik arai boras komak ini adalah agar keluarga yang mendiami rumah selalu memperoleh rejeki dan selalu berkecukupan dari Sangiang Dewata.

Pesta

Upacara adat ini diakhiri dengan pesta meriah. Adapun bentuk pesta yang dimaksudkan dalam upacara adat ini adalah beigal  dan panir bida.

Pelayan Dalam Upacara Adat Noi’an Rumah

Upacara adat noi’an rumah memerlukan pelayan sebagai pelaksana dan pemimpin upacara adat ini. Kriteria untuk pelayan dalam upacara adat ini adalah orang yang benar-benar memahami makna dan tata cara upacara adat noi’an rumah. Tokoh yang menjadi pelayan dalam upacara adat noi’an rumah adalah mantir adat yang bekerja sama dengan kepala adat dan tokoh-tokoh adat desa.

Makna Upacara Adat Noi’an Rumah

Upacara adat noi’an rumah mengungkapkan kehendak umat untuk mengkomunikasikan Rahmat Allah serta meyelamatkan sesama melalui semangat kebersamaan dan cinta kasih persaudaraan. Dengan demikian, karya penyelamatan yang telah dimulai oleh Yesus dilanjutkan oleh umat beriman sebagai anggota Gereja.Sehingga apabila umat melaksanakan kegiatan upacara adat noi’an rumah, maka maknanya dihayati sebagai ungkapan iman dan rasa syukur keluarga atas kepemilikan rumah tempat tinggal yang baru.

Dalam suasana penuh syukur tersebut, keluarga yang sudah berhasil mendirikan rumah, mengundang orang-orang yang ada di desa tersebut dan bersama-sama memohon perlindungan kepada Sangiang Dewata dan roh leluhur melalui para mantir adat. Doa-doa yang disampaikan pada intinya adalah memohon agar keluarga yang nantinya mendiami rumah tersebut mendapat rejeki yang berlimpah, aman tenteram, dijauhkan dari segala penyakit dan gangguan  Selain itu, melalui upacara adat noi’an rumah ini, rasa persaudaraan dan kebersamaan orang-orang yang ada di desa semakin dipererat karena semua masyarakat diundang untuk berkumpul dan mengikuti upacara adat noi’an rumah ini.

Sakramentali Pemberkatan Rumah

Sakramentali oleh Konsili Vatikan II dirumuskan sebagai “tanda-tanda suci”, yang memiliki kemiripan dengan sakramen-sakramen (SC 60).  Sakramentali adalah doa permohonan Gereja, agar Allah memberkati dan menguduskan orang atau benda. Daya guna sakramentali terjadi menurut ex opere operantis (berkat tindakan/karya Gereja yaitu Gereja yang memohon).  Oleh karena itu, sakramentali perlu dipahami dalam kerangka hidup liturgi Gereja, bukan sebagai tindakan lepas, yang mempunyai arti dalam dirinya sendiri.

Sakramentali masuk dalam bidang liturgis karena kaitannya dengan sakramen atau dengan perayaan Gerejawi. Namun, segala macam sakramentali dalam lingkungan keluarga juga harus dihubungkan dengan doa Gereja. Sakramentali tidak mempunyai daya Ilahi dari dirinya sendiri tetapi hanya sejauh merupakan perwujudan sikap doa Gereja. Namun, meskipun sakramentali berbeda dengan sakramen, daya guna keduanya mengalir dari sumber yang sama, yaitu mengalir dari misteri paskah, sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus Kristus.  Perayaan sakramentali adalah suatu perayaan kerinduan akan sakramen dan perayaan yang diarahkan kepada perayaan sakramen.  

Melalui sakramentali pemberkatan rumah, Umat Allah menunjukkan kecintaan dan rasa syukurnya kepada Allah Sang Pencipta. Upacara sakramentali pemberkatan rumah ini mendatangkan efek rohani bagi mereka yang tinggal di dalamnya (SC 60)  karena dalam upacara sakramentali pemberkatan rumah ini, yang diberkati adalah orang-orang yang tinggal di dalamnya.  Maksud utama sakramentali pemberkatan rumah adalah menguduskan umat beriman yang tinggal di dalam rumah itu, dan bukan semata menguduskan rumah itu sendiri. Oleh karena itu, jika sebuah rumah sudah pernah diberkati, namun pemilik yang terdahulu sudah pindah, adalah baik jika pemilik baru mengadakan pemberkatan rumah. Hal ini tidak berarti meragukan efek sakramentali yang sudah pernah diberikan, tetapi memohon agar rahmat sakramentali yang memberikan efek pengudusan itu dapat diberikan kepada orang atau keluarga baru yang tinggal di rumah tersebut. Melalui upacara sakramentali pemberkatan rumah, Allah hadir di tengah keluarga dan hidup di dalam hati orang yang berdiam di dalam rumah tersebut.

Relevansi Upacara Adat Noi’an Rumah Dengan Sakramentali Pemberkatan Rumah

Kesamaan 

Upacara adat noi’an rumah dan sakramentali pemberkatan rumah sama-sama mengungkapkan rasa syukur dan memohon perlindungan kepada Sangiang Dewata dan Allah Sang Pencipta atas rejeki dan rahmat yang telah diterima pemilik rumah sehingga rumah tersebut dapat berdiri. Upacara adat noi’an rumah dan sakramentali pemberkatan rumah memiliki makna pembersihan, yakni membersihkan rumah dan orang-orang yang tinggal dalam rumah dari hal-hal yang buruk. Upacara adat noi’an rumah dan sakramentali pemberkatan rumah merupakan bentuk perhatian umat Allah bagi kehidupan orang-orang yang bernaung di dalam sebuah rumah.

Perbedaan

Meskipun upacara adat noi’an rumah dan sakramentali pemberkatan rumah memiliki persamaan, akan tetapi terdapat juga perbedaan antara peristiwa sakramentali pemberkatan rumah dan upacara adat noi’an rumah. Perbedaan upacara adat noi’an rumah dan sakramentali pemberkatan rumah yakni, pertama,  upacara adat noi’an rumah merupakan salah satu adat istiadat dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Suku Dayak Blaman. Upacara ini dilaksakan secara turun temurun oleh nenek moyang dari masyarakat suku tersebut. Sedangkan sakramentali pemberkatan rumah adalah salah satu bentuk doa permohonan Gereja agar Allah menguduskan rumah tersebut, sehingga orang atau keluarga yang berdiam di dalam rumah itu merasakan kehadiran Allah di tengah-tengah mereka. Upacara adat noi’an rumah adalah upacara adat yang hanya dilakukan oleh masyarakat suku Dayak Blaman, sedangkan sakramentali pemberkatan rumah bersifat universal, artinya sakramentali pemberkatan rumah dapat dilaksanakan atau dirayakan oleh Gereja di seluruh dunia. 

Kedua, perbedaan lain adalah upacara adat noi’an rumah memiliki kekuatan magis yang dipercaya oleh masyarakat setempat, sedangkan sakramentali pemberkatan rumah merupakan tanggapan atas iman yang dimiliki oleh umat Allah yang bersyukur atas tempat tinggal yang boleh diberikan Allah kepadanya. 

Ketiga, pelayan upacara dan tata cara pelaksanaannya. Pelayan upacara dalam noi’an rumah adalah mantir adat. Tata cara pelaksanaan upacara adat noi’an rumah harus dimulai pada pagi hari. Pelayan upacara sakramentali pemberkatan rumah tidak harus seorang klerus atau orang yang telah menerima tahbisan. Awam juga dapat menjadi pelayan dalam upacara sakramentali pemberkatan rumah ini karena awam memiliki imamat umum yang diperoleh dalam sakramen pembaptisan dan penguatan atau krisma.  

Keempat, Tata pelaksanaan sakramentali pemberkatan rumah tidak terikat oleh waktu. Sakramentali pemberkatan rumah dapat dilaksanakan kapan saja, tergantung kesepakatan orang atau keluarga yang mendiami rumah dengan pelayan upacara sakramentali.

Upacara adat noi’an rumah merupakan salah satu warisan nenek moyang suku Dayak Blaman. Melalui upacara adat noi’an rumah, masyarakat suku Dayak Blaman mengungkapkan rasa syukur atas berdirinya sebuah rumah dan memohon perlindungan kepada Sangiang Dewataatau Sang Pencipta. Masyarakat suku Dayak Blaman dewasa ini masih melaksanakan upacara adat noi’an rumah meskipun sudah memiliki agama. Agama bukanlah menjadi penghalang bagi masyarakat untuk terus melaksanakan upacara adat noi’an rumah. Hal tersebut baik, namun permasalahannya adalah masyarakat lebih mementingkan upacara adat noi’an rumah daripada sakramentali pemberkatan rumah.

Pertimbangan untuk Inkulturasi Iman Gereja dalam Konteks Ritus Noi’an Rumah Suku Dayak Blaman

Dalam upaya inkulturasi iman Gereja dalam konteks budaya setempat, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, yakni pertama, manusia sebagai makhluk rohani merupakan benang merah yang mempertemukan agama dan kebudayaan sebagai dua hal yang tidak bertentangan. Keadaan tanpa pertentangan ini terjalin karena antara upacara adat noi’an rumah dan ritus sakramentali pemberkatan rumah sama-sama mengungkapkan sisi rohani manusia yang mengarahkan diri pada realitas meta-empirik.

Kedua, upaya kontekstualisasi ini memiliki dasarnya pada pribadi Allah yang terlebih dahulu mengkontekstualisasikan dirinya melalui peristiwa inkarnasi. Dalam peristiwa inkarnasi tersebut Allah berupaya menyesuaikan diri-Nya dengan peristiwa dan sejarah hidup manusia. Oleh karena itu, ketika manusia berupaya menyesuaikan ajaran iman dengan tata cara kebudayaan setempat maka sama halnya dengan berpartisipasi dalam karya Allah. 

Ketiga, keikutsertaan atau keterlibatan umat dalam tata peribadatan merupakan unsur penting dalam menghayati iman kepercayaan. Masyarakat Dayak Blaman dibimbing untuk memahami bahwa sakramentali pemberkatan rumah memiliki makna sebagaimana upacara adat noi’an rumah. Oleh karena itu, sakramentali pemberkatan rumah pun perlu dihayati karena maknanya membawa orang pada keselamatan dan perlindungan.

Pengalaman religius dimulai dengan kesadaran manusia sebagai makhluk yang mengakui Allah sebagai dasar dan sumber hidupnya.  Maka, sebagai orang beriman dan beragama, khususnya beragama Katolik, pengalaman religius tersebut harus terus ditumbuhkan dengan mengakui Allah sebagai “Pemberi Hidup” dan mensyukuri segala berkat yang telah diberikan Allah kepada manusia. Selain itu, Allah juga sebagai tempat manusia untuk mengadu dan meminta. Banyak cara yang dapat dilakukan manusia untuk menunjukkan pengakuan dan rasa syukurnya atas segala pemberian Allah. Salah satunya adalah upacara sakramentali pemberkatan rumah. Sakramentali pemberkatan rumah merupakan salah satu bentuk ungkapan syukur karena Allah berkenan memberikan tempat tinggal bagi umatnya. Dalam sakramentali pemberkatan rumah, umat juga meminta perlindungan kepada Allah sehingga orang-orang yang tinggal di dalam rumah tersebut merasa aman, damai dan terlindungi.

Penutup 

Selain menjalankan sakramentali pemberkatan rumah, umat Katolik Suku Dayak Blaman juga melakukan upacara  Noi’an rumah adalah salah satu upacara adat ungkapan penuh syukur dan mohon perlindungan dari Sangiang Dewata untuk rumah baru dan orang-orang yang tinggal di dalam rumah tersebut. Mencintai dan menghargai kebudayaan yang merupakan warisan leluhur adalah baik. Karena itu, Gereja dapat menginkulturasikan noian rumah ke dalam kebaktian Kristiani agar Gereja senantiasa bersatu dan terus menyuarakan Injil dalam kehidupan sehari-hari. Gereja harus berupaya sedemikian rupa agar agama dan budaya dapat berjalan beriringan. Untuk memenuhi tuntutan tersebut, maka para pekerja pastoral harus memiliki kreativias dalam melaksanakan tugas dan pewartaannya.

Rujukan

Dokumen Konsili Vatikan II, R. Hardawiryana (Penerj.). Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Konferensi Wali Gereja Indonesia. Iman Katolik. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Martasudjita, E. Sakramen-Sakramen Gereja. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Yakob, Edy. Adat Istiadat dan Seni Budaya Masyarakat Blaman Bulik. Yogyakarta: Kanisius, 2008.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya. Arsitektur Tradisional Di Daerah Provinsi Kalimantan Tengah. Palangka Raya: 1981/1982.


PEMBENTUKAN KARAKTER KATEKIS DALAM TERANG EVANGELII GAUDIUM

Oleh: Timotius Jelahu

Evangelii Gaudium yang kiranya dapat menjadi inspirasi dalam mengembangkan perguruan tinggi yang berorientasi pada penguatan karakter seturut nilai-nilai iman Kristiani.  Berangkat dari situasi dunia dewasa ini, Paus Fransiskus  dalam EG menekankan bahwa seorang pewarta Injil tidak pernah boleh seperti orang yang baru pulang dari pemakaman.

Pengantar

STIPAS Tahasak Danum Pambelum (TDP) merupakan institusi Pendidikan Tinggi yang bernaung di bawah Yayasan Tahasak Danum Pambelum Keuskupan Palangkaraya. Para mahasiswa STIPAS TDP diarahkan untuk mengambil bagian secara aktif dalam karya pelayanan Gereja, seperti pengajaran iman dan peribadatan, baik sebagai guru agama Katolik di lembaga pendidikan formal, maupun terlibat dalam karya pastoral di paroki. Artikel ini coba, mengetengahkan pokok pikiran seruan apostolik Evangelii Gaudium yang kiranya dapat menjadi inspirasi dalam mengembangkan Perguruan Tinggi yang berorientasi pada penguatan karakter seturut nilai-nilai iman Kristiani.

Keberadalaan Lembaga Pastoral/Kateketik dalam Karya Evangelisasi Gereja

Gereja universal mengakui pentingnya keterlibatan awam dalam karya pewartaan. Misalnya, dalam Ecclesia in Asia 45 dinyatakan bahwa di mana kehadiran petugas pastoral tertahbis masih belum memadai, kaum awam, dalam hal ini para katekis tampil sebagai garda depan.  Dalam perjalanan Gereja Indonesia, keberadaan katekis/guru agama setempat menjadi andalan untuk terus berkarya secara mandiri ketika Hindia Belanda ditaklukkan oleh Jepang. Pada masa itu, semua misionaris yang berkebangsaan Belanda dan Jerman diinternir. Sementara itu, keberadaan imam pribumi tidak banyak sehingga tidak semua karya pastoral dapat dijalankan. Bapa-Bapa Konsili dalam Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja mengakui dan mengapresiasi barisan para katekis baik pria maupun wanita, yang dijiwai semangat merasul, dengan banyak jerih payah memberi bantuan yang istimewa dan sungguh-sungguh demi penyebarluasan iman dan Gereja.  

Menyadari posisi strategis katekis dalam karya evangelisasi, pembinaan katekis kiranya diselenggarakan sedemikian sehingga mereka dapat menjalankan panggilannya dengan baik. Tentang pembinaan katekis, di dalam Kitab Hukum Kanonik dikemukanan bahwa hendaknya para katekis disiapkan dengan semestinya untuk dapat melaksanakan tugas mereka dengan sebaik-baiknya, yakni supaya dengan diberikan pembinaan yang terus-menerus mereka memahami dengan baik ajaran Gereja dan mempelajari secara teoretis dan praksis norma-norma yang khas untuk ilmu-ilmu pendidikan.  

Demi menjamin pembinaan bagi para katekis, Bapa-Bapa Konsili mengarahkan agar jumlah sekolah-sekolah tingkat keuskupan maupun regio diperbanyak, untuk menampung para calon katekis, yang mendalami ajaran katolik, terutama perihal Kitab suci dan liturgi, maupun mengembangkan metode katekese dan praktik pastoral.  Tidak berhenti di situ, Bapa-Bapa Konsili juga menaruh perhatian akan pentingnya pembinaan lanjutan para katekis:

Kecuali itu hendaklah diselenggarakan pertemuan-pertemuan atau kursus-kursus, untuk pada masa-masa tertentu membantu para katekis menyegarkan diri dalam ilmu-ilmu dan ketrampilan-ketrampilan yang berguna bagi pelayanan mereka, serta memupuk dan meneguhkan hidup rohani mereka. Selain itu, hendaknya mereka, yang membaktikan diri sepenuhnya dalam kegiatan itu, diberi status hidup yang sepantasnya dan jaminan sosial dalam bentuk balas jasa yang adil. 

Ketika pada tahun 2011 diadakan hari Studi Kateketik para Uskup KWI, para uskup mengapresiasi keberadaan Program Studi Kateketik di sejumlah perguruan tinggi. Program studi ini kiranya mempersiapkan, mendidik dan membina tenaga-tenaga cerdas, terampil serta berkomitmen dalam bidang Katekese. Salah satu langkah pastoral yang ditawarkan adalah peningkatan mutu lembaga pendidikan pastoral katekese dan kerja samanya dengan pendidikan calon imam.  

Dewasa ini, dalam Konteks Gereja Katolik Indonesia, Paul Budi Kleden menyodorkan setidaknya tiga  tugas lembaga pendidikan kateketik/pastoral. Pertama, mengakarkan iman Katolik. Lembaga kateketik/pastoral yang memiliki sebagian besar mahasiswa/I awam yang berakar dalam budaya dan bersentuhan langsung dengan pergumulan hidup masyarakat, mempunyai peluang untuk menjadi wadah eksperimentasi tafsiran yang kontekstual atas iman dan pembentukan struktur hidup menggereja yang semakin menjawab perkembangan masyarakat.  Kedua, memberikan kerangka berpikir dan menumbuhkan semangat missioner-dialogal. Lemba pendidikan pastoral/kateketik menjadi simpul yang penting dalam menghubungkan pengalaman pastoral dan refleksi teologis. Ketiga, memasyarakatkan iman. Membuat iman Katolik meresapi kehidupan masyarakat dengan mengembangkan model-model pastoral dan katekese yang menyadarkan umat katolik akan tanggung jawab social-politik. 

STIPAS TDP Keuskupan Palangkaraya: Sayap Penopang Iman Gereja

Gagasan awal yang mendorong pendirian sekolah tinggi adalah perlunya tenaga Pastoral Kateketik untuk Keuskupan Palangkaraya, khususnya di bidang Pendidikan. Pada masa itu, ketersediaan tenaga pastoral Kateketik belum memenuhi syarat untuk diangkat menjadi tenaga tetap pemerintah maupun honorer. 

STIPAS didirikan untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak akan tenaga pastoral kateketik untuk Keuskupan Palangkaraya, khususnya di bidang pendidikan. Tidak tersedianya tenaga pastoral yang memeuhi syarat untuk diangkat menjadi tenaga tetap pemerintah maupun honorer di yayasan/keuskupan menjadi pendorong kuat didirikannya STIPAS.  

Masalah tersebut juga tersurat dalam Surat Keputusan Pendirian Sekolah Tinggi yang diterbitkan oleh Keuskupan Palangkaraya. Point pertama yang menjadi pertimbangan untuk mendirikan Sekolah Tinggi Pastoral adalah perlunya tenaga pastoral kateketik Keuskupan Palangkaraya dan tidak tersedianya tenaga Pastoral kateketik yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi tenaga tetap pemerintah maupun keuskupan.  Karena itu, tujuan awal pendirian STIPAS adalah untuk membantu pemerintah dalam rangka mendukung tersedianya tenaga-tenaga guru agama Katolik yang beriman, professional, handal, dan berdedikasi tinggi dalam melayani siswa-siswa di sekolah dan masyarakat dan mendidik awam Katolik untuk berperan serta dalam karya pastoral Gereja di Kalimantan Tengah. 

Selanjutnya, di dalam Statuta gagasan itu ditegaskan kembali dengan memberikan beberapa landasan pendirian Sekolah Tinggi, seperti keinginan luhur untuk melanjutkan karya penyelamatan Allah, dengan ketulusan hati, melanjutkan tugas dan kewajiban untuk membentuk manusia Indonesia melalui Pendidikan dan Pengajaran Tinggi berdasarkan falsafat Negara Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Tridarma Perguruan Tinggi yang bercirikan iman Katolik.  

Lebih lanjut, tujuan umum Perguruan Tinggi dirumuskan demikian: “Menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran atas dasar iman Katolik yang berpangkal pada kebudayaan Indonesia dengan cara ilmiah, yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku”. Sementara itu, ada dua Tujuan Khusus, yakni (1) bersama pemerintah khususnya Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah mendukung dan menciptakan tenaga-tenaga guru agama Katolik yang beriman professional, handal dan berdedikasi Tinggi dalam melayani umat dan siswa-siswa di sekolah dan (2) mendidik kaum awam Katolik untuk berperan serta dalam karya pastoral Gereja Kalimantan Tengah. 

Untuk merealiasikan itu, STIPAS TDP menyelenggarakan program pastoral dengan maksud, pertama, meningkatkan kualitas Pengajaran, spiritualitas dan kesejahterahaan hidup guru agama. Kedua, menyiapkan tenaga-tenaga guru agama Katolik untuk memenuhi kebutuhan pemerintah dan masyarakat Kalimantan Tengah dalam sector pendidikan formal. Ketiga, menyiapkan awam yang ahli, trampil dan mampu menggerakkan serta menghidupkan Komunitas Basis yang mandiri, setia Kawan dan Misioner. 

Seiring dengan tercapainya maksud awal dari pendidiran lembaga ini, keberadaan lembaga ini bukan lagi sekedar untuk mengejar target untuk memenuhi kebutuhan akan tersedianya guru agama Katolik sesuai dengan tuntutan pemerintah. Lebih dari itu, lembaga pendidikan ini bergerak menjadi lembaga untuk kaderisasi awam katolik. Hal ini bisa terbaca dalam Renstra 2011-2015 berikut ini: 

Di masa yang akan datang STP TAHASAK DANUM PAMBELUM KEUSKUPAN PALANGKA RAYA berharap untuk menjadi salah satu sumber penyeimbang di tengah masyarakat melalui pengembangan karakter pribadi para kandidat (personal character building) dalam sistem pendidikan kristiani dengan focus pada kedisiplinan pribadi dan sosial yang dibingkai dengan nuansa kristiani yang bernafaskan kasih dan pengorbanan diri.  

Lebih lanjut, ditegaskan demikian:

STP TAHASAK DANUM PAMBELUM KEUSKUPAN PALANGKA RAYA berupaya keras untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas, mampu berdiri setara dalam pergaulan masyarakat global, selalu berperan aktif mendukung perputaran roda kehidupan berbangsa dan menggereja dalam hidup dan karyanya sebagai seorang pekerja pastoral.  

Meskipun demikian, keberadaan STIPAS TDP tidak bisa dipisakah dari karya pewartaan dan pertumbuhan/perkembangan Gereja. Uskup Palangkaraya, Mgr. Aloysius menyatakan bahwa para katekis menjadi mitra handal untuk berpastoral.  Karena itu, STIPAS juga merupakan sayap penopang iman Gereja.

…seminari dan STIPAS diharapkan dapat menjadi penopang kekuatan GEreja. Tenaga pastoral tertahbis dan non-tertahbis memang masih sangat diperlukan agar Gereja dapat berkembang secara memadai. Umat yang ada di pedalaman, yang masih jauh dari kota memerlukan pembinaan iman, peningkatan dan pemberdayaan social ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Kiranya dalam waktu yang relative singkat, Keuskupan dapat memulai dua sayap penopang kehidupan beriman demi perkembangan Gereja di masa mendatang. Mudah-mudahan para seminaris yang nantinya menjadi imam akan mampu membawa damai yang merupakan tanda kasih dan karunia Allah bagi umat beriman yang dilayani. Sedangkan para mahasiswa STIPAS juga dibekali dengan pelbagai keterampilan agar di tengah situasi yang masih cukup memprihatinkan dapat membawa berkat dan kasih karunia Allah di mana pun mereka bertugas. 

Menimbang Pembentukan Karakter Katekis Seturut Evangelii Gaudium (EG)

Situasi Global Dewasa Ini dalam Terang  EG

Bagi Paus Fransiskus bahaya besar dalam dunia yang diliputi oleh konsumerisme  adalah kesedihan dan kecemasan yang lahir dari hati yang puas diri namun tamak, pengejaran akan kesenangan yang semberono dan hati nurani yang tumpul. Ketika kehidupan batin kita terbelenggu dalam kepentingan dan kepeduliannya sendiri, tak ada lagi ruang bagi sesama, tak ada tempat bagi si miskin papa. 

Bahaya besar tersebut merupakan dampak dari tersebut pesoalan global dalam bidang ekonomi, yaitu ekonomi pengucilan dan ketidaksetaraan. Ekonomi pengucilan dan ketidaksketaraan itu digambarkan dengan pertanyaan dari Paus Fransiskus, yakni sebagai berikut:

 “Bagaimana bisa terjadi bahwa bukan suatu berita ketika seorang tunawisman tua meninggal karena kedinginan, tetapi menjadi berita ketika pasar saham turun dua poin? …. Dapatkah kita terus menonton saja ketika makanan dibuang, sementara orang Kelaparan?”  

Dengan pertanyaan seperti ini, Paus menghantar kita pada realitas dunia dewasa ini yang terperangkap dalam kehidupan ekonomi pengucilan dan serentak masalah ketidaksetaraan. Pada titik ini, dunia mengejar pertumbuhan ekonomi semata demi ekonomi tetapi di pihak lain menutup mata situasi yang dehumanisasi di mana manusia lain dikorbankan dan diabaikan. Secara gamblan, Paus menyatakan:

Budaya kesejahteraan telah mematikan perasaan kita; kita bergairah ketika pasar menawarkan sesuatu yang baru untuk dibeli; dan pada saat yang sama mereka yang hidupnya terhambat karena kurangnya kesempatan tampak hanya sekedar sebuah tontonan belaka; mereka tak mampu menggerakkan hati kita.  

Sebenarnya yang sedang terjadi di tengah dunia adalah krisis di mana dunia memberi kekuasaan kepada keuangan, tetapi di pihak lain ekonomi menunjukkan ketidakseimbangannya dan, terutama, kurangnya perthatian nyata pada manusia; manusia direduksi pada salah satu kebutuhan saja: konsumsi.”  Lebih lanjut, Paus mengatakan bahwa mekanisme ekonomi dewasa ini meningkatkan konsumsi berlebihan, namun jelas konsumerisme tak terkendali yang bergandengan dengan ketidaksetaraan terbukti dua kali lipat merusak struktur social.”  Pengejaran ekonomi demi pertumbuhan ekonomi dan keberadaan manusia dikerdilkan sebatas pada aspek konsumsi justu semakin mendatangkan kerusakan tatanan sosial. 

Selain persoalan ekonomi pengucilan dan ketidaksetaraan, pesoalan lain adalah persoalan budaya. Dalam Budaya dominan dewasa ini, prioritas diberikan kepada yang lahiriah, langsung, terlihat, dan cepat, dangkal dan sementara … Di banyak negara, globalisasi berarti kemerosotan yang berlangsung begitu cepat dari akar budaya mereka sendiri dan invansi cara berpikir dan berntindak yang dimiliki budaya lain yang secara ekonomi maju, tetapi secara etis lemah.  

Paus melihat realitas dunia yang tak dapat dipungkiri bahwa kita sedang hidup dalam masyarakat berbasis informasi yang menyerbu kita tanpa pandang bulu dengan data –semuanya diperlakukan sama pentingnya- dan yang mengarah ke kedangkalan luar biasa di bidang diskresi moral. Pembaruan informasi yang tak terkendalikan dan semata tunduk pada keserentarakan justru menghancurkan tatanan budaya ketika penganut budaya tidak sanggup memilah dan mengkritisi berbagai tawaran dari berbagai penjuru dunia. Untuk itu, Paus menekankan petingnya untuk memberikan pendidikan yang mengajarkan berpikir kritis dan mendorong pengembangan nilai-nilai moral yang dewasa. 

Di tengah kemerosotan nilai-nilai budaya yang pudar, institusi keluarga pun menjadi rapuh. Paus mengetengahkan bahwa perkawinan cenderung dipandang sebagai bentuk kepuasan emosional belaka yang dapat dibangun atau diubah sekehendaknya sendiri. Bagi Paus, hal ini tidak terlepas dari individualisme zaman pasca-modern dan globalisasi yang menyukai cara hidup yang melemahkan perkembangan dan stabilitas hubungan antar pribadi dan merintangi ikatan-ikatan keluarga.  

Berhubungan dengan praktek religious, tampaknya yang terjadi dalam  dalam inkulturasi iman adalah kebuntuan pada cara umat Katolik mewariskan iman Katolik kepada orang muda. Tak dapat dipungkiri bahwa banyak orang merasa kecewa dan tak lagi mengidentifikasi diri dengan tradisi Katolik.  Selain itu, iman Katolik sedang ditantang oleh penyebaran gerakan-gerakan agama baru di mana beberapa diantaranya mengarah ke fundamentalisme, sementara yang lain mengusung spiritualitas tanpa Allah. 

Mengayunkan Langkah: Membentuk Katekis yang Berkarakter

Seruan Paus bagi pewarta Injil adalah Seorang pewarta injil tidak pernah boleh seperti orang yang baru pulang dari pemakaman!   Mengutip Evangelii Nuntiandi, Paus melanjutkan, semoga dunia zaman kita …mampu menerima kabar baik dari bukan dari pewarta yang murung, putus asa, tidak sabar atau kuatir, tetapi dari para pelayan Injil yang hidupnya semarak dengan semangat, yang telah lebih dahulu menerima sukacita Kristus. 

EG menekankan pembaruan dalam Pewartaan. Dalam Bahasa Paus Fransiskus: “Kapanpun kita berusaha kembali kepada sumber dan memulihkan kesegaran asali Injilm jalan-jalan baru muncul, lorong-lorong kreativitas baru terbuka, dengan berbagai bentuk ungkapan, tanda-tanda dan kata-kata yang lebih fasih dengan makna baru bagi dunia dewasa ini. Setiap bentuk pewartaan Injil yang autentik selalu ‘baru.’” Meski demikian, dalam pembaruan pewartaan, ini pesan mesti kembali pada pijakan yang sama bahwa Allah yang telah menyatakan kasih-Nya yang amat besar dalam Kristus yang disalib dan bangkit.  

Paus Fransiskus mengajak setiap orang “untuk berani dan kreatif dalam tugas dengan memikirkan kembali tujuan, struktur, gaya dan metode evangelisasi dalam komunitas mereka masing-masing. Identifikasi tujuan tanpa penelitian komunitas basis yang memadai terhadap sarana-sarana untuk mencapainya hanya menghasilkan Ilusi belaka. Berkaitan dengan hal ini, yang penting adalah tidak berjalan sendiri, melainkan saling bergantung sebagai saudara, dan khususnya di bawah kepemimpinan para Uskup dalam pterimbangan pastoral yang bijaksana dan realistis.” 

Sampai dengan tahun 2016 visi yang diemban oleh STIPAS Tahasak Danum Pambekum Keuskupan palangkaraya adalah terwujudnya lembaga STIPAS yang menghasilkan tenaga pastoral sekolah dan pastoral  umat yang  beriman, profesional, mandiri,  berdedikasi tinggi, dan terlibat aktif dalam pelestarian budaya dan lingkungan hidup.  Berangkat dari visi tersebut, Perguruan Tinggi tersebut bertekad untuk:

Ikut serta bersama komponen bangsa lainnya untuk meningkatkan partisipasinya membangun komunitas intelektual yang handal, mampu menguasai, serta trampil memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, untuk mendukung terwujudnya warga masyarakat bangsa yang adil dan makmur berlandaskan Iman kristiani yang sedang menghadapi berbagai krisis dan perubahan besar, muaranya diharapkan akan melahirkan masyarakat baru yang jauh lebih baik sesuai dengan bidang kerja dan amanat yang diembannya.  

Jika gagasan awal pendirian Perguruan Tinggi ini pertama-tama untuk memenuhi permintaan pemerintah dan yayasan/keuskupan bagi tersedianya guru agama yang memenuhi kualifikasi Strata Satu, kini keberadaan Perguruan Tinggi ini bertekat untuk menjadi rumah untuk menyiapkan generasi yang berkarakter seturut iman Kristiani. Bahwa sampai saat ini, Perguruan Tinggi ini masih menjadi wadah untuk mempersiapkan guru Agama Katolik, tetapi perhatian kini bukan semata-mata untuk sekedar mengejar target untuk “memenuhi kuota.” Perhatian akan pembentukan karaktek menjadi hal yang diutamakan sehingga diharapkan menghasilkan lulusan dengan kedisiplinan pribadi dalam nuansa Kristiani yang syarat bernafaskan kasih dan pengorbanan diri dan mampu mengembangkan potensi dasarnya, mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dan dapat menggunakan teknologi komunikasi dan informasi serta peduli dan tanggap terhadap masalah yang dihadapi masyarakat. 

Bapak Uskup Palangkaraya, menegaskan bahwa Peranan Asrama untuk mencerdaskan anak-anak pedalaman dan mengkader pemimpin umat dan masyarakat mendapat perhatian besar sejak awal misi. Hal ini masih kini diterukan oleh pelbagai tarekat. Masa depan GEreja dan pemimpin masyarakat akan banyak bergantung dari penanaman nilai-nilai di dalam asrama: kedisiplinan. Kejujuran , kerja keras. Ketertiban, semangat persaudaraan dan cinta kasih.  Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, STIPAS TDP menjalankan pola pembinaan kampus dan asrama sebagai satu paket pembinaan. Para calon katekis wajib tinggal di asrama yang disiapkan lembaga. Ada empat unit asrama yang disiapkan, dua unit untuk putra dan dua unit untuk putri. Dengan demikian, proses pembinaan dan pendampingan lebih terarah dan berkesinambungan antara kampus dan rumah studi (asrama) yang difokuskan pada pembinaan akademis, bimbingan konseling, pengembangan minat dan bakat, dan pegembangan soft skills.  

Selain pembinaan berbasis asrama, lembaga pendidikan tinggi ini menyelenggarakan pembinaan sadar konteks. Nama lembaga ini pun diambil dari kearifan tradisi setempat, yakni Tahasak Danum Pambelum yang berarti sumber air kehidupan. Demikian pun lambang lembaga juga diambil dari kekhasan budaya setempat, seperti perisai (alat perang untuk melindungi diri dari serangan musuh yang dalam bahasa setempat disebut telabang), tempayan (tempat untuk mengisi air untuk orang Dayak Kalimantan Tengah) dan tujuh Aliran Sungai yang menunjukkan tujuh sungai besar yang berada di wilayah Keuskupan Palangkaraya yang memberikan kesuburan kepada alam sekitarnya.   

Sebagai bentuk pembinaan katekis yang sadar konteks, para mahasiswa dilibatkan dalam berbagai karya pastoral nyata. Keterlibatan para mahasiswa dalam berbagai karya pastoral nyata merupakan kesempatan belajar mengabdi dan melayani sesuai dengan kebutuhan konteks pastoral. Karena itu, dosen-dosen yang menangani komisi-komisi di keuskupan melibatkan mahasiswa dalam menjalankan kegiatan-kegiatan tertentu, seperti pendampingan rekoleksi untuk anak, remaja dan kaum muda, pelatihan bagi para pembina Sekami, merekam lagu dan gerak untuk kegiatan Bina Iman Anak dan Remaja. Mereka juga dilibatkan dalam berbagai kegiatan di lingkungan bersama umat dan pada semester ketujuh  mejalani praktek pastoral (KKN) selama enam bulan di paroki.  Keterlibatan dalam karya pastoral nyata kemudian direfleksikan dalam bentuk laporan dan skripsi mahasiswa merupakan hasil penelitian dalam konteks pastoral Keuskupan Palangkaraya. 

Berhadapan dengan situasi global sebagaimana digambarkan oleh Paus Fransiskus, setidaknya ada beberapa hal yang perlu dipertimbangakan dalam  pembinaan dalam rangka penguatan karakter. Pertama, Spiritualitas Misioner. Proses pembinaan perlu menekankan perhatian pada spiritualitas yang tepat. Setidaknya, pembinaan kiranya memampukan para katekis menghayati spiritualitas yang tepat. Tentang penghayatan spiritualitas para pewarta dewasa ini, Paus melukiskan demikian:

Saat ini kita sedang menyaksikan dalam diri banyak pekerja pastoral, termasuk para biarawan-biarawati, perhatian akan kebebsan pribadi dan hidup santai, yang menjadikan mereka melihat karya mereka sebagai tambahan belaka pada hidup merek, seolah-seolah karya itu bukanlah bagia dari identitas mereka sendiri. …. Banyak pekerja pastoral, meskipun mereka berdoa, mengidap semacam rasa rendah diri yang membawa mereka menisbikan atau menyembunyikan identitas Kristiani dan keyakinan mereka. 

Kedua, keeegoisan dan kemalasan rohani. Tentang hal ini Paus Fransiskus k mengguggat komitmen para pewarta sabda untuk membawa garan dan terang ke dunia. Secara khusus Paus mengetengahkan soal betapa sulit menemukan para katekis paroki terlatih yang mau bertahan dalam karya pelayanan ini untuk beberapa tahun.  Lebih jauh, pewartaan Sabda dihantui oleh apatisme pastoral. Apatisme pastoral ini tampak dalam berapa hal, yakni (1) pewarta sabda menceburkan diri ke dalam proyek-proyek yang tidak realistis dan tidak puas hanya dengan melakukan apa yang secara realistis dapat mereka lakukan; (2) lekat dengan proyek atau impiah kosong kesuksesan; (3) kehilangan kontak nyata dengan orang-orang dan tidak memanusiawikan karya pastoral dengan memberikan perhatian lebih besar pada organisasi daripada orang-orang, sehingga lebih peduli pada peta jalan dari pada dengan perjalanan itu sendiri; (4) kelumpuhan rohani karena tak mampu menunggu; ingin menguasai irama kehidupan. 

Ketiga, pesimisme yang mandul. Para calon pewarta sekiranya dibimbing ke jalan yang penuh optimis. Karena itu, pola pembinaan sekiranya menguatkan para calon untuk tidak memiliki “sikap menyerah kalah yang mengubah kita menjadi orang-orang pesimis yang suka mengeluh dan kecewa, “orang bermuka muram”. Bahwa kemenangan Kristiani selalu merupakan salib, namun salib yang pada saat yang mana merupakan panji kemenangan yang dibawa dengan kelembutan bertempur melawan serangan-serangan kejahatan.” 

Penutup

Evangelii Gaudium yang kiranya dapat menjadi inspirasi dalam mengembangkan perguruan tinggi yang berorientasi pada penguatan karakter seturut nilai-nilai iman Kristiani. Gereja universal mengakui pentingnya keterlibatan awam dalam karya pewartaan.  Berangkat dari situasi dunia dewasa ini, Paus Fransiskus  dalam EG menekankan pembaruan dalam Pewartaan. Seruan Paus bagi pewarta Injil adalah Seorang pewarta injil tidak pernah boleh seperti orang yang baru pulang dari pemakaman. Sekiranya kteberadaan STIPAS tidak semata berjuang untuk memenuhi targe pemerintah, melainkan sebagai wadah untuk kaderisasi awam katolik. Dalam konteks ini, pola pembinaan diarahkan pada penguatan Karakter yang memusatkan pola pembinaan berbasis asarama dan berjalan bersama akan konteks setempat sehingga Perguruan Tinggi ini menjadi rumah untuk menyiapkan generasi yang berkarakter seturut iman Kristiani. 

Rujukan

Boelaars, Huub J. W. M. Indonesianisasi Dari Gereja Katolik Di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 2005.

Ecclesia in Asia, No. 45, penerj. R Hardawiryana, Jakarta: Dokpen KWI, 2001.

Dokumen Konsili Vatikan II, Ad Gentes,  penerj. R Hardawiryana, Jakarta: Obor 1993.

Jelahu, Timotius Tote. “STIPAS Tahasak Danum Pambelum: Melahirkan Katekis Berkarakter” dalam Jurnal Sepakat, Vol. 1, No. 2, Juni 2015.

Kitab Hukum Kanonik, penerj. V Kartosiwoyo, dkk., Jakarta: Obor, 1983.

Komisi Kateketik KWI. Hari Studi Kateketik Para Uskup KWI 2011. Yogyakarta: Kanisius, 2013.

Kleden, Paul Budi. “Tantangan dan Peluang Lembaga Pendidikan Kateketik/Pastoral dalam Konteks Gereja Katolik Indonesia Dewasa Ini” dalam Berbagai, Jurnal Asosiasi Perguruan Tinggi Agama Katolik, Vol. 1, No. 1, Januari 2012.

Paus Fransiskus. Evangelii Gaudium, penerj. F.X Adisusanto dan Bernadeta Harini Tri Prasasti. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2014.

Poerwadi. Petrus (Peny.). Permanere in Gratia Dei –Kenangan Lustrum I Tahbisan Uskup Palangkaraya. Palangkaraya: Keuskupan Palangkaraya.

Sekolah Tinggi Pastoral Tahasak Danum Pambelum Keuskupan Palangkaraya. Statuta dan Rencana Induk Pengembangan. Palangkaraya: 2002.

Sekolah Tinggi Pastoral Tahasak Danum Pambelum Keuskupan Palangkaraya. Rencana Strategis 2011-2015. Palangkaraya: 2011.

Sutrisnaatmaka, AM. Syukur Atas Kasih Karunia Allah-Kisah Perjalanan Panggilan 30 Tahun Imamat dan 10 Tahun Episkopat. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2011.