Oleh: Timotius Jelahu
Penguaan hidup keagamaan dan komunitas lokal menjadi dua hal yang dapat menjadi jalan untuk berhadapan dengan pengalaman penderitaan kolektif. Sejarah peradaban merekam bahwa pandemi dari masa ke masa seakan mengafirmasi gagasan Heidegger tentang keberadaan manusia sebagai keterlemparan di tengah dunia. Catatan sejarah pandemi dari masa ke masa mengingatkan siapa saja bahwa hidup manusia sedemikian rentan dan tanpa kewaspadaan, nyawa menjadi taruhannya.
Sekilas Tentang Pandemi Covid-19
Pada mulanya, dunia berempati dengan penduduk Wuhan-Cina yang bergulat dengan Covid-19 yang mematikan. Kemudian, Cina memang berhasil mengendalikan penyebaran virus di negaranya dan Wuhan perlahan-lahan bangkit. Namun, dalam tempo yang relatif singkat, Covid-19 menyebar ke sudut-sudut belahan bumi.
Sejumlah negara mengambil jalan lock down untuk memutus dan mengendalikan penyebaran virus ini. Bebeberapa negara mengklaim berhasil dan otoritas negara perlahan membuka kembali pintu untuk bisa beraktivitas seperti sediakala. Misalnya, Spanyol yang menerapkan karantina paling ketat di Eropa selama tiga bulan mencabut keadaan darurat hari Minggu (21/06) dan membuka perbatasan bagi pengunjung dari hampir semua negara Eropa, tanpa harus melakukan karantina. Negara lain, Amerika Serikat, tidak menerapkan lock down meskipun tingkat penularan virus di negara terbilang tinggi, yakni 23.000 kasus Covid-19 dalam satu hari.
Republik tercinta, Indonesia, tidak menenerapkan lock down. Beberapa daerah yang mengusulkan dapat merapkan PSBB sesuai dengan tingkat penyebaran virus ini. Pascapemberlakukan PSBB, virus ini belum juga sirna dan bahkan dibeberapa beberapa daerah tertentu jumlah pasien Covid-19 justru meningkat. Publik mengomentari bahwa ‘kegagalan’ meredam laju virus ini lebih disebabkan oleh kehendak lemah dan minimnya komitmen bersama anak bangsa sendiri. Sementara itu, ada juga yang berdalih bahwa diam di rumah tidak dapat memenuhi harapan untuk tetap produktif. Maka, jalan yang ditempuh adalah berdamai dengan situasi dan tetap berjuang di tengah ancaman virus ini demi dapur tetap mengepul dan perut tetap terisi.
Tentu, apresiasi positif untuk mereka yang berjuang tak kenal lelah menyelamatkan nyawa yang sudah di ambang maut dan meredam laju penyebaran virus ini. Masyarakat awam juga tentu sudah berjuang untuk membatasi dan menentukan skala prioritas dalam mobilitas dan beraktivitas di luar rumah. Tidak sedikit juga masyarakat yang penuh tanggung jawab dan taat menerapkan pola hidup sesuai dengan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan. Demikian juga sistem di ruang publik yang ditata sedemikian untuk menjamin setiap orang terhidar dari bahaya maut.
Pandemi Covid-19 dalam Ziarah Peradaban
Ziarah peradaban manusia baru saja melewati Pandemi Covid-19. Tentang kenyataan ini, ada yang menyejajarkan dengan situasi Perang Dunia II. Pada Perang Dunia II, manusia dihantui oleh bom. Paling tidak, Covid-19 telah memberi warna tersendiri bagi manusia dalam beberapa aspek kehidupan.
Pertama, dunia menampilkan perkawinan antara globalisasi dengan digdaya digitalisasi. Bermula di Wuhan-Cina, Covid-19 sedemikian mudah menyebar ke sudut-sudut belahan bumi. Terbukanya sekat dan intensitas mobilitas yang tinggi memungkinkan virus ini dengan cepat menyebar dari satu ruang ke ruang yang lain. Tidak mengherankan, negara-negara terpaksa membatasi mobilitas dan menutup pintu masuk.
Di sisi lain, virus ini telah melanggengkan digdaya digitalisasi. Perangkat digital turut menentukan bagaimana anak zaman beraktivitas. Ketika ruang gerak fisik dibatasi untuk memutus rantai penyebaran Covid-19, banyak hal yang dapat dikerjakan dengan mengandalkan berbagai kemudahan perangkat digital. Meskipun gerak fisik dibatasi, namun era digitalisasi telah memungkinkan setiap orang untuk bergerak lintas ruang. Bahkan, berbagai aplikasi dan fitur digital juga memberikan peluang-perluag baru dan menjadi tumpuan bagi upaya pencegahan penyebaran Covid-19.
Kedua, iman sebagai keputusan personal. Dalam hidup beragama, ruang sakral yang megah dan luas kini lengang dan sepi. Kebaktian setiap agama beralih ke optimalisasi perangkat digital daripada menghadiri kebaktian bersama di rumah ibadah. Dari ruang terpisah dan jarak yang berjauhan, masing-masing pemeluk agama berjuang untuk tetap khusuk beribadah dan mendengarkan siraman rohani dari pemimpin agama dengan bantuan perangkat digital. Persekutuan tidak hanya sebatas kedekatan jasmani, tetapi lebih pada persekutuan dalam iman.
Dalam situasi seperti, iman seseorang benar-benar menjadi keputusan personal. Iman adalah suatu perjuangan pribadi dalam ‘keterasingan’ dari yang lain. Orang berjuang untuk menguatkan imannya melalui usaha pribadi yang difasilitasi oleh perangkat digital. Hidup religius benar-benar menjadi pilihan dan penghayatan personal.
Ketiga, solidaritas model baru. Sebagai makhluk sosial, dunia seakan berada dalam paradoks. Menerima kehadiran yang lain, tetapi mesti menjaga jarak. Tampak, setiap orang ‘dipaksakan’ oleh Covid-19 untuk memisahkan diri dari yang lain. Meskipun jarak fisik dibatasi, tetapi semua terpanggil untuk solid dalam gerakan solidaritas melawan gempuran pandemi ini.
Bisa jadi Covid-19 telah menjebak setiap pribadi dalam solidaritas yang dibayangi kecurigaan. Panggilan untuk bersama-sama berjuang dalam solidaritas yang sama dihantui kecemasan terinfeksi. Tentu, hal ini tidak akan terjadi kalau setiap orang dengan kesadaran penuh mengedepankan pola hidup sehat dan didukung oleh sistem kesehatan yang memadai.
Keempat, mendengar rintihan ibu bumi. Bumi sebagai ibu yang memberi kehidupan menderita karena campur tangan manusia. Menanggapi kenyataan bahwa bumi tidak lagi menjadi hunian yang nyaman, muncul beragam pandangan yang menjelaskan relasi antara manusia dengan alam. Paling tidak, pandangan ekologis berangkat dari kesadaran (a) alam sebagai korban dari keserakahan sehingga manusia mesti bertanggung jawab dan/atau (b) demi keberlanjutan hidup manusia sendiri alam mesti dirawat.
Umat Beriman: Melampui Ritualisme, Menolak Ilusi
Setelah sekian waktu umat beragama tidak menjalani ibadah bersama di tempat ibadah, kini ada kerinduan untuk kembali beribadah seperti semula. Sebagian umat beragama sudah melewati hari raya besar keagamaan yang dirayakan tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Umat Hindu baru saja melewati Hari Raya Nyepi yang dilaksanan sesuai arahan untuk membatasi kehadiran umat di tempat ibadah. Demikian pula, umat Kristen Katolik dan Kristen Protestan, telah melawati Hari Raya Paskah. Dan kini, umat Islam yang tengah menjalani masa puasa juga mengalami hal yang sama.
Di tengah pandemi Covid-19 yang belum bisa diprediksi kapan berakhir ini, kerinduan untuk kembali beribah bersama di tempat ibadah dapat dicermati dari dua hal. Pertama, agama merupakan tempat pelarian untuk mencari ketenangan di tengah kesulitan yang dihadapi dan serentak menjustifikasi ritualisme. Joakim Wachs mengetengahkan bahwa ritual agama merupakan salah aspek kunci dari setiap agama, selain pengalaman keigamaan, kepercayaan, dan komunitas kultis (dalam Koten, 2005: 27-35). Ketika orang berlari pada agama hanya untuk mendapat ketenangan batin semata, maka agama adalah ilusi sebagaimana pandangan Freud atau candu dalam pandangan Marx.
Keuda, kerinduan tersebut adalah pertanda kedewasaan iman. Agama dan tempat ibadah bukan sebagai tempat pelarian untuk mencari ketenangan. Juga, kerinduan tersebut bukan karena otoritas agama memupuk rasa rindu pemeluk agama yang melanggengkan ritualisme. Dalam situasi pandemi ini, otoritas agama telah memberikan kelonggaran dalam melaksanakan ibadah atau ritual. Hal ini serentak mematahkan pendekatan reduksionis Freud bahwa agama sebagai amnesia kronis karena agama tidak hanya terpaku pada kelaziman dalam melaksanakan ritual. Praktik keagamaan adalah sesuatu yang rasional dan tanggap terhadap konteks pemeluknya.
Beragama Lintas Batas
Di tengah wabah ini, umat beragama kiranya peka terhadap penderitaan yang dialami manusia. Berhadapan dengan penderitaan, umat beragama dapat menggumuli apakah wabah ini merupakan tanda bahwa janji Allah belum dipenuhi dan karena itu menggerakan umat beragama untuk menggumuli janji Allah dalam diri penderita? Atau, siapakah yang bertanggung jawab atas penderitaan itu apalagi terjadi di luar kendali manusia? Banyak hal yang bisa digumuli oleh umat beragama berhadapan dengan pengalaman penderitaan, termasuk pandemi Covid-19. Bagaimana pun, di hadapan penderitaan, umat beragama tidak boleh bungkam.
Nilai dan pandangan masing-masing agama dapat menjadi pijakan dalam merawat peradaban dan menghantar para pemeluknya pada cara hidup yang baru. Dalil-dalil agama menjadi inspirasi untuk gerakan bersama menumbuhkan optimisme di tengah wabah ini di mana iman pribadi diarahkan pada harpan akan masa depan yang memungkingkan semua bergerak dalam aksi solidaritas.
Kini, refleksi teologi umat beragama bergerak dari titik yang sama, yakni pandemi Covid-19. Dalam konteks ini, agama-agama mesti mampu menumbuhkan semangat juang dan memiliki ketahanan personal untuk bersatu dalam nafas yang sama menghadapi masa depan dengan optimisme. Dalam gerakan bersama itu, agama harus mampu menjelaskan hidup beragama sebagai sumber inpirasi dalam perang melawan pandemi covid-19 mulai dari komunitas kecil sehingga memberikan aura positif bagi semua umat beragama.
Agama bukanlah ilusi atau candu dan karena itu umat beragama hendaknya tindak melanggengkan ritualisme. Kerinduan beribadah kiranya dibarengi gerakan untuk bersama-sama dengan pihak terkait terlibat melawan musuh yang tidak kelihatan itu. Dalam situasi ini, umat beragama diharapkan untuk mencari dan meneguhkan iman dalam pencarian pribadi. Namun, iman yang personal itu mesti menjadi tanda solidaritas untuk optimis menatap hari esok di tengah penderitaan yang dialami saat ini.
Dalam konteks Negara Indonesia, agama-agama dengan caranya masing-masing telah mengambil jalan untuk mengatasi pandemi ini. Pemimpin agama telah merefleksikan situasi ini dengan meneguhkan iman umat dan serentak mengajak masing-masing pemeluk agama untuk bisa bersolider dalam melawan gempuran pandemi ini. Agama-agama tentu menjalani aksi tertentu berpijak pada dalil masing-masing agama. Namun, paling tidak bahwa dalil-dalil itu bertemu pada titik yang sama yaitu semangat untuk melawan Covid-19 dengan menghentikan sementara ibadah yang dilaksanakan secara bersama-sama.
Pandemi memberikan pengalaman bagaimana agama-agama mempromosikan gerakan bersama agar umat beragama terlibat menggumuli pandemi ini. Agama-gama bergandengan tangan dengan berbagai elemen yang turut berjuang mengatasi penderitaan yang dihadapi oleh umat beriman. Tentu, dalam bencana, agama harus berada bersama meraka yang paling rentan untuk terjebak dalam kungkungan fatalisme, menyuarakan solidaritas, memperkuat optimisme dan menghalau pesimisme.
Memperkuat Komunitas Lokal
Covid-19 mengafirmasi bahwa globalisasi berwajah ganda. Tak dapat dipungkiri bahwa penyebaran virus yang cepat juga karena arus globalisasi. Keterbukaan akses dan mobilitas yang sibuk dari satu negara ke negara lain telah membentangkan karpet merah bagi penyebaran virus ini dari satu kawasan ke kawasan lain. Pada saat yang sama, ketika peradaban global terancam Covid-19, berbagai kalangan menyerukan solidaritas global untuk bersama-sama menghadapi serangan Covid-19.
Konektivitas yang melampaui sekat dan serentak menyatukan ruang-ruang di belahan bumi telah menjadikan dunia sebagai satu komunitas global. Berbarengan dengan menguatnya arus globalisasi sebagai suatu narasi besar, ada kecemasan bahwa komunitas lokal sebagai narasi kecil digilas dan dilahap oleh narasi besar. Mesti disadari bahwa globalisasi dapat juga menjadi ancaman bagi kelangsungan nilai-nilai yang dihidupi komunitas lokal.
Dunia berhadapan dengan kenyataan bahwa krisis atau resesi yang terjadi dalam komunitas global kerap kali diikuti dampak sistemik yang memperburuk keadaan komunitas lokal. Apalagi, komunitas lokal yang kecil kerap kali tunduk pada arah yang dibangun oleh komunitas global. Terkait hal ini, dipertanyakan pemberdayaan komunitas lokal di era globalisasi ini, apakah sudah berjalan sehingga dapat menjamin bahwa komunitas lokal dapat bertahan di tengah badai global. Atau, komunitas lokal kini sudah tidak berdaya dan hanya bergantung pada komunitas global untuk bisa bertahan.
Negara-negara kini sibuk merancang bagaimana memulihkan keterpurukan ekonomi. Sementara itu, Covid-19 juga mengingatkan kita bahwa ruang gerak dan akses antarkomunitas bisa saja dibatasi sewaktu-waktu. Hal yang perlu diperjuangkan adalah bagaimana memberdayakan komunitas lokal agar tetap bertahan di tengah gempuran risiko sistemik dari keberadaan dunia dewasa ini sebagai satu komunitas global.
Ketika akses-akses untuk keluar masuk dibatasi untuk menghambat laju dan melindungi warga negara dari serangan Covid-19, bumi ini seakan berhenti bergerak. Sementara itu, dalam hal-hal tertentu hidup manusia sudah terpola untuk bisa eksis dalam keterbukaan dan mobilitas. Tidak heran, jika negara-negara mulai membuka akses, meskipun dengan risiko tinggi terjadinya gelombang baru lonjakan kasus Covid-19.
Pada era globalisasi ini, pengembangan komunitas didasarkan pada kualitas karakter persahabatan manusia yang melampui batas teritorial dan geografis. Komunitas yang dibangun berorientasi pada ketertarikan dan keahlian tertentu dari pada seputar lokalitas sebagaimana dikemukan Gusfield (dalam McMillan dan Chavis, 1986: 8). Gagasan ini memang lebih fleksibel bila komunitas hanya dibatasi sebagai “masyarakat setempat”. Namun, bahaya akan muncul ketika mengabaikan komunitas sebagai kelompok sosial yang setiap anggotanya sadar akan keanggotaannya dalam kelompok tersebut untuk memproduksi dan mengekspresikan budayanya dengan ciri lokalitas tertentu.
Pandemi Covid-19 berdampak pada menurunnya produktivitas anak bangsa. Karena itu, sejak bulan April pemerintah sudah menyalurkan bantuan sosial dan juga telah diperpanjang hingga Desesember 2020. Menteri Sosial, Juliari Batubara, dalam rapat kerja bersama komisi VIII DPR, Rabu (24/6/2020), melaporkan kenaikan anggaran bantuan sosial pemerintah dari Rp 62,8 triliun menjadi Rp 106,5 triliun. Tentu saja, snak bangsa tidak sepenuhnya bergantung pada bansos pemerintah. Sebagai contoh, pada bulan Mei lalu viral di media sosial seorang ibu di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, menolak bantuan sosial pemerintah dengan alasan masih mampu memenuhi kebutuhan di tengah pandemi Covid-19.
Pandemi ini kiranya menyadarkan semua kalangan akan pentingnya pemberdayaan komunitas lokal. Muara dari pemberdayaan adalah masyarakat lokal akan selalu siap dan mampu berdiri tegak di tengah pandemi. Pemberdayaan diarahkan pertama-tama untuk memastikan bahwa komunitas lokal tetap bisa produktif meskipun ruang gerak dan akses dengan komunitas global dibatasi.
Setidaknya, warga komunitas lokal diberdayakan untuk memiliki keterampilan cadangan yang sewaktu-waktu berguna untuk bertahan hidup. Selain itu, perlu juga lembaga perbankan menggalakkan literasi keuangan hingga ke tingkat komunitas lokal agar budaya menabung menjadi bagian dari hidup warga komunitas lokal. Sebagai suatu sistem, keberlangsungan komunitas global mengandaikan komunitas-komunitas lokal dapat bersinergi satu dengan yang lain. Namun, penguatan jejaring dengan komunitas global tanpa pemberdayaan komunitas lokal justru akan membahayakan komunitas global. Membangun komunitas global yang kuat tanpa penguatan komunitas lokal akan melahirkan kepincangan.
Memang pada era globalisasi ini, membangun komunitas lokal yang kuat juga tidak bisa tanpa dihubungkan dengan sistem global. Interkoneksi dan interdependensi harus bermuara pada penguatan komunitas lokal. Mendewakan komunitas global dengan mengabaikan pemberdayaan komunitas lokal adalah upaya menggali lubang kuburan bagi komunitas lokal.
Penutup
Covid-19 mengingatkan bahwa gerak-gerik manusia mesti mempertimbangkan keselamatan bumi. Rekayasa ilmiah tidak sepenuhnya mampu menguasai alam. Intervensi manusia atas alam hanya bersifat sementara dan berhadapann dengan daya alam yang tak terkendali. Covid-19 membawa pesan bahwa kesanggupan akal budi manusia tidak sepenuhnya dapat menguasai alam. Maka, memposisikan diri sebagai tuan atas alam perlu dilihat kembali.
Pandemi ini dapat menjebak setiap orang pada pesimisme dan fatalisme. Lalu, apakah umat beragama mengutuk mereka yang kehilangan harapan atau mempromosikan optimisme untuk bisa keluar dari jebakan pandemi ini? Dalam situasi wabah ini, umat beragama tentu tidak kehilangan orientasi bagaimana beragama.
Dalam menghadapi bencana dan wabah yang tak mudah diprediksi, negara tentu tidak gagap dalam mengambil keputusan sehingga semua warga negara tidak tenggelam dalam kekhawatiran. Selain itu, negara memastikan warganya memiliki ketahanan personal untuk melewati berbagai bencana. Ketika negara menyangsikan ketahanan warganya, taruhannya adalah keberlanjutan peradaban bangsa. Dengan demikian, permberdayaan komunitas, entah itu parokial maupun sektoral mesti digiatkan sehingga masyarakat tetap produktif dan berdiri tegak di hadapan bencana yang mungkin akan terjadi di masa mendatang.