Media Digital dan Pertumbuhan Iman


M
edia digital merupakan ladang pertumbumbuhan iman bila media untuk mengembangkan diri untuk menumbuhkan citra diri yang positif dan memberikan inspirasi bagi khalayak.

Oleh: Timotius J 

Gereja tidak alergi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam berbagai dokumen, nampak jelas sikap Gereja yang menjadikan media sebagai medan sekaligus peluang untuk evangelisasi baru. Misalnya,  Redemtoris Missio art. 37 memosisikan media sebagai aeropogus pertama zaman modern. Dalam hal ini, Gereja terpanggil untuk mengintegrasikan pesan Injil ke dalam kebudayaan baru yang diciptakan oleh komunikasi modern. Kemudian, sarana komunikasi modern dapat dimanfaatkan sebagai sarana komunikasi modern untuk karya pewartaaan dan penggembalaan Gereja (Dokumen Inter Mirificia). Bagi Gereja, media modern menawarkan cara-cara baru untuk menghadapkan manusia dengan pesan injil (Ensiklik Communio er Progressio).

Gambaran Perkembangan Media

Salah satu perkembangan di bidang informasi dan teknologi adalah media massa. Diamini bahwa media massa memiliki fungsi strategis bagi perjalanan peradaban. Dapat disebutkan di sini beberapa fungsi media massa, yaitu penyebar informasi, edukasi, hiburan, penerus nilai-nilai, dan ekonomi. 

Sebelum mengenal internet, khalayak mengenal pengelompokkan beberapa media massa, yaitu media cetak (koran, majalah, dan turunannya), audio (radio, piringan hitam, kaset), dan audio visual (televisi, film). Kini, media-media ini disebut media konvesional untuk dibedakan dengan media digital sebagai buah dari perkembangan teknologi informasi terkini dengan munculnya internet.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi begitu pesat sejak munculnya internet sekitar tahun 1990-an yang dikenal sebagai media baru atau media digital. Salah satu karakteristik dari media baru ini adalah khalayak juga melakukan apa yang dilakukan oleh wartawan atau jurnalis, yakni membuat dan menyebarkan informasi. Hal ini disebut jurnalisme warga (citizen journalism). Perbedaannya yang dapat ditemukan adalah pada media konvesional jurnalis media menulis dengan aturan dan kode etik jurnalistik yang harus dipenuhi, sedangkan jurnalisme warga (citizen jurnalism) lebih bebas dan sering kali kurang “bertanggung jawab”.

Salah satu hal yang diwaspadai adalah pembaca bisa terjebak dan tersesat dalam lautan informasi yang ditawarkan setiap waktu oleh kemudahan perangkat digital. Situasi ini disebut oleh Sudibyo, sebagaimana dikutip Kartikawangi, menciptakan pembebasan dan penguasaan. Artinya, di satu sisi media digital memberikan ruang dan kebebasan kepada siapa pun untuk membuat dan menyebarkan informasi, tetapi di sisi lain informasi tersebut dapat menjadi milik pihak lain dan digunakan sebagai alat untuk menguasai tanpa disadari oleh pemberi informasi.

Di Indonesia, Hootsuite mencatat bahwa pada 2019 terdata lima platform media sosial yang paling banyak digunakan adalah YouTube, whatsapp, Facebook, Instagram, dan line. Disinyalir bahwa media sosial banyak berperan dalam penyebaran informasi palsu karena fasilitas yang dimilikinya. Hal ini tentu menjadi keprihatinan apalagi jika khalayak mudah untuk memercayai hoaks dan informasi palsu (fake) banyak beredar didukung oleh karaktersitik media sosial yang memudahkan penyebarannya hingga diyakini sebagai sebuah kebenaran yang menyesatkan, bahkan membuat kekisruhan dan kegaduhan di tengah masyarakat. Perkembangan media digital ini menggiring pada tahap masyarakat kesulitan mengetahui informasi mana yang benar pada era information overload ini.

Optio Fundamentalis Kristiani

Tindakan bermoral adalah tindakan yang bertanggung jawab. Orang dapat dituntut tanggung jawab jika dalam tindakannya ada kesadaran dan kebebasan. Tindakan bermoral mengandung unsur, pertama, kesadaran pribadi. Tindakan bermoral mengandaikan adanya pertimbangan. Dan, pertimbangan itu datang dari diri sendiri, bukan pertimbangan orang lain. Dengan pertimbangan tertentu orang menjadi tahu, sadar akan apa yang diperbuat dan apa yang harus diperbuat. Seberapa penuh kesadaran yang menyertai tindakan seseorang itulah yang menunjukkan seberapa penuh pula moralitas yang ada. Tindakan-tindakan spontan reaktif cenderung kurang disadari. 

Kedua, kehendak bebas. Selain kesadaran, unsur tindakan bermoral yang lain adalah kehendak bebas, artinya subjek tindakan menghendaki tindakan itu secara bebas. Subjek tindakan dengan sengaja melakukan tindakan itu. Subjek bertindak atas kemauan sendiri, bukan atas paksaan atau pengaruh dari pihak lain. Sebuah tindakan bernilai moral tinggi jika tindakan itu dilakukan atas kehendak sendiri. Jika orang bertindak baik karena terpaksa akan memiliki nilai kebaikan yang lebih rendah dari tindakan yang dilakukan atas kemauan sendiri. 

Ketiga, motivasi luhur. Kebaikan yang dilakukan dengan tulus, tanpa pamrih, akan dinilai sungguh baik. Jadi tujuan kebaikan itu tidak untuk diri sendiri melainkan sungguh demi kebaikan itu sendiri. Moral selalu menunjuk dan berhubungan dengan perbuatan. Maka kesadaran moral itu menjadi nyata dalam keputusan moral ketika menghadapi situasi konkret. Hal ini disebut sebagai kecakapan moral. 

Tindakan moral seseorang didasarkan pada optio fundamentalis, yakni pilihan dasar atau sikap dasar. Pilihan dan sikap dasar ini akan menjadi arah hidup moral seseorang. Tindakan sehari-hari seseorang dapat merupakan uangkapan, peneguhan, pengembangan dan pengawetan optio fundamentalis, jika tindakan sehari-hari tersebut searah dengan pilihan dasarnya. Sebaliknya, jika tindakan sehari-hari tidak sejalan dengan optio fundamentalis, tindakan tersebut akan memperlemah dan mematikan optio fundamentalis. Baik-buruknya tindakan seseorang tidak dapat dilepaskan dari pilihan dasar tersebut. 

Bagi umat beragama, dasar kewajiban moral ialah hubungan manusia dengan Allah. Moralitas kristiani bersumber atas iman kristiani, yaitu iman akan Tuhan Yesus Kristus. Iman akan Tuhan Yesus juga merupakan dasar dari segala bangunan moralitas kristiani. Iman akan Tuhan Yesus inilah yang menjadi pembeda substansial moralitas kristiani dari sistem-sistem moral yang lain. Bagi orang kristen kepenuhan hubungan itu diwujudkan dalam Kristus (bdk 2 Kor 5: ).  Kita telah dilahirkan kembali dalam Kristus, maka kita dipanggil untuk mengikuti Dia sampai mencapai kedewasaan di dalam Dia.

Iman akan Tuhan Yesus merupakan sumber dari mana diketahui apa yang baik dan buruk. Tuhan Yesus merupakan pusat sekaligus kriterium normatif dasar dari moralitas kristiani. Tidak ada moralitas kristiani tanpa Yesus Kristus (1 Ptr 2, 21). 

Media Digital sebagai Ladang Pertumbuhan Iman

Dengan berpijak pada Ensiklik Deus Caritas est 25, Jegalus merangkai karya perutusan Gereja sebagai berikut:

“Gereja adalah sebuah persekutuan (koinonia) orang-orang yang mengimani Yesus Kristus. Anggota-anggota Gereja yang mengikuti Yesus Kristus itu dipanggil untuk mewartakan Injil Yesus Kristus, dan itulah yang kita sebut kerygma. Begitu pewartaan itu diterima, maka dirayakan dan diungkapkan dalam doa, dan itulah yang kita sebut leitourgia. Begitu doa dan liturgi itu berfungsi dengan baik, maka persekutuan beriman itu, baik secara perorangan maupun secara bersama, digerakkan untuk terlibat dalam tindakan nyata melayani sesama dengan semangat kasih, dan itulah yang kita sebut sekarang perutusan diakonia.

Karya perutusan tersebut merupakan panggilan untuk semua anggota Gereja sebagai bentuk keterlibatan Gereja dalam tritugas Kristus sebagai imam, nabi dan raja. Ini merupakan panggilan yang mesti dihayati oleh semua anggota Gereja, baik sebagai klerus, religius dan awam sesuai dengan perutusan masing-masing yang khas. 

Konsili Vatikan II menyatakan bahwa ciri khas dan tugas khusus kaum awam dalam kehidupan Gereja adalah tugas di tengah dunia dan masyarakat. Tugas awam adalah menguduskan dunia, meresapi pelbagai bidang urusan duniawi dengan semangat Kristus, agar semangat dan cara hidup Kristus mengolah seluruh dunia bagaikan ragi, garam, dan terang, sehingga Kerajaan Allah bisa hadir di tengah masyarakat.

Melalui media digital kaum awam dapat merealisasikan fungsi misioner secara nyata dan luas untuk meresapkan semangat Kristus itu ke dalam pelbagai bidang dan urusan duniawi. Dengan memanfaatkan sarana komunikasi modern untuk karya pewartaaan dan penggembalaan Gereja (Dokumen Inter Mirificia), kaum awam kiranya tak jemu-jemu menjadi saksi Kristus melalui media sebagai aeropogus pertama zaman modern. Kemudian, kaum awam juga memaksimalkan media modern yang menawarkan cara-cara baru untuk menghadapkan manusia dengan pesan injil (Ensiklik Communio et Progressio)

Di tengah maraknya perkembangan media digital dewasa ini, setidaknya ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam menjadikan media digital sebagai ladang pertumbumbuhan iman. 

Pertama, menjadi tuan atas media. Menjadi tuan atas media berarti manusia itu yang bertanggung jawab atas hal-hal yang berhubungan dengan media. Berkaitan dengan hal ini, sikap yang tepat dan bijaksana dalam menggunakan media adalah tangguna jawab dari semua pihak. Dalam bermedia, pertimbangan moral dengan memperhatikan unsur tindakan bermoral, yaitu kesadaran pribadi, kehendak bebas dan motivasi luhur perlu mendapat perhatian berhadapan dengan beragam informasi yang ditawarkan. Pribadi manusia kiranya tidak tenggelam dan menjadi korban, tetapi mesti sanggup berdiri tegak dan menjadi tuan atas media. Terkait hal ini, adalah baik setiap pribadi menentukan orientasi dasar dalam bermedia dan jangan sampai ‘dimainkan’ oleh media. 

Kedua, mengenal media. Dalam teori agenda setting dikatakan bahwa pengelola menentukan isi media yang menurut mereka penting dan perlu diketahui oleh khalayak. Contohnya adalah satu peristiwa akan diberitakan secara bereda ole beberapa media dan hal tergantung pada sudut pandang/visi-misi media. 

Terkait hal ini, dalam mempertimbangkan informasi yang ditawarkan, pengguna perlu mengenal mengenal media yang memberikan informasi. Ketika pengguna tidak mengenal, bukan tidak mungkin pengguna akan terjebak dan tersesat dalam bermedia. Pengguna kiranya bukanlah khalayak yang pasif menerima apa yang disajikan media.

Ketiga, perlu adanya informasi/media pembanding. Elihu Katz, Jay G. Blumlerm, dan Michael Gurevitch (1973) mengembangkan teori uses and gratification. Menurut teori ini, khalayak aktif mencari dan menggunakan media sesuai dengan kebutuhan mereka. Jika kebutuhan terpenuhi dan puas dengan informasi yang diperolehnya melalui media tersebut, mereka akan terus menggunakannya.

Selain untuk memperkaya wawasan, pengguna perlu mewaspadai bahaya laten orientasi media. Karena itu, meskipun pengguna memercayai media tertentu sebagai rujukan dalam bermedia, namun pengguna hendaknya juga mencari media lain sebagai pembanding atas informasi yang ditawarkan.

Keempat, memberi inspirasi-menumbuhkan citra positif bermedia. Terkait perkembangan media, Manuel Castells (dalam Kartikawangi) mengemukakan tentang self-mass communication. Individu dapat memproduksi dan menyebarkan informasi sebagaimana media. Khalayak juga melakukan apa yang dilakukan oleh wartawan atau jurnalis, membuat dan menyebarkan informasi.

Semua orang dapat melakukan jurnalisme warga di mana tidak menulis dengan aturan dan kode etik jurnalistik yang harus dipenuhi. Namun, jurnalisme warga mesti dilandasi oleh kebebasan yang bertanggung jawab. Jika tidak, hal itu bertentangan dengan norma moral yang berlaku umum. Adalah baik, menjadikan media sebagai ruang bagi pengguna untuk dapat mengembangkan diri untuk menumbuhkan citra diri yang positif dan memberikan inspirasi bagi khalayak.

Penutup

Tindakan bermoral adalah tindakan yang bertanggung jawab yang didasarkan pada kesadaran pribadi, Kehendak Bebas dan Motivasi Luhur. Dalam bermedia, Optio fundamentalis, yakni pilihan dasar atau sikap dasar, kita ialah hubungan manusia dengan Allah dalam Yesus Kristus. Kita telah dilahirkan kembali dalam Kristus, maka kita dipanggil untuk mengikuti Dia sampai mencapai kedewasaan di dalam Dia. Inilah sikap dasar kita dalam bermedia yang memandu kita sehingga tidak terjebak/tersesat dalam lautan informasi yang disajikan platform media digital yang ada di Android. Semoga! 

Rujukan:

Chandra, Xaverius Bahan Ajar Moral Fundamental, dalam http://repository.wima.ac.id/14415/ diakses 26 Juni 2020.

Dapiyanta, FX. “TINDAKAN BERMORAL”  dalam B.A. Rukiyanto dan Ignatia Esti Sumarah, Semakin Menjadi Manusiawi, Teologi Moral Masa Kini, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma,  2014 , hlm. 1-28. 

Jegalus, Norbertus “TANGGUNG JAWAB AWAM DALAM PERUTUSAN DIAKONIA GEREJA” dalam  LUMEN VERITATIS: Jurnal Filsafat dan Teologi, Volume. 10 Nomor 2 April 2020 

Kartikawangi, D. (2020, May 6). The 2011-2019 Media Literacy Improvement: Strategy and Implementation of Sustainable Community Service Program. MITRA: Jurnal Pemberdayaan Masyarakat, 4(1), 71-81. 


Gadis Palue

Gadis Palue membuatku terkesima. Suaranya indah bak gong yang pernah ditabuh teman-teman dalam suatu pentas budaya Palue. Kakiku ingin sekali ber-tandak sebagaimana yang pernah diperagakan oleh teman-teman dari Palue. 
Oleh: Timotius J

Hari ini, Maumere tidak semanis yang didendangkan dalam lagu Maumere Manise. Di langit, awan pekat menutupi sinar mentari yang sebenarnya sudah meninggi. Rasanya kota kecil ini tak lagi diizinkan menikmati hangatnya sinar surya. Dari arah Laut Flores, angin bertiup lumayan kencang. Pintu-pintu rumah yang menghadap ke laut tampak tertutup. Rupanya bukan karena penghuni rumahnya belum bangun, tetapi ini merupakan sikap jaga-jaga agar pintu rumah tidak rusak dibanting angin. Kata orang, beginilah suasana yang kerap terjadi pada tiap penghujung tahun. Mereka menamainya musim barat.

Pelabuhan Sadang Bui tidak sekelam musim barat iniOrang-orang hilir mudik mendekati dermaga yang sudah tua. Di dermaga, KM Sirimau sedang bersandar. Ada banyak penumpang yang turun dan banyak pula yang menaiki tangga kapal. Di sisi kiri dermaga, berjejer beberapa perahu motor. Para penumpang melompat dengan ringan ke dalam perahu-perahu itu. Awak motor sibuk mengangkut barang-barang penumpang ke perahu motor.

Ini merupakan pengalaman perdana bagiku. 

Dengan langkah gemetar, aku mendekat ke sisi kiri dermaga lalu melompat dengan ragu ke perahu. Teman-teman di asrama telah memberitahuku tentang ganasnya laut di sekitar tanjung. Kini aku membayangi diriku bak sebongkah batu yang terjun tanpa hambatan ke dasar laut seandainya perahu ini akan mengalami nasib sial di tempat angker itu. Aku memang tidak tahu berenang, bahkan di bak mandi saja aku pernah tenggelam.

Belum lama berselang, awak motor mengangkat jangkar. Serentak aku menyampaikan salam pisah pada Nusa Bunga sembari membisikkan Kepada Bunda: “Doakan aku Kepada Putera-Mu agar aku bisa kembali menapakkan kaki di tanah tumpah darahku.” 
Perahu membawa diriku ke tengah laut, menjauh dan makin jauh dari daratan. Makin lama, Maumere kelihatan makin kecil dan akhirnya tidak terlihat sama sekali.

Dua jam berlalu, kini aku dipenjarakan rasa jenuh. Perahu mulai oleng lantaran tingginya gelombang. Apalagi angin makin kencang dan rintik-rintik hujan mulai berjatuhan. Aku terkenang St. Fransiskus Xaverius yang konon pernah melintasi perairan ini. Untuk mengusir kejenuhan, aku berniat membaca riwayat ziarahnya di sini. Namun, ternyata aku lupa membawanya.

Seorang penumpang di depanku berteriak: “Oe..., ada ikan Lumba-Lumba di sana.” Aku mengalihkan pandangan ke tempat yang ditunjukkannya. Terlihat beberapa ekor Lumba-Lumba meloncat ke permukaan lalu kembali ke dalam air. Sepertinya mereka datang untuk menyampaikan ucapan selamat datang dan selamat mengarungi laut yang agak ganas di penghujung tahun ini. Motor terus melaju ke arah barat, sementara Lumba-Lumba menuju ke timur.

Lumba-Lumba tak terlihat lagi, maka aku  menoleh ke sisi kanan dan dua bola mataku bersua dengan dua bola mata indah milik gadis hitam manis. Tak pernah kusadari kehadirannya di sampingku. Alis matanya bak lekukan pantai berpasir putih yang memantulkan sinar mentari pagi.

Tak sepatah kata pun terucap dari mulutku. Juga si gadis tetap mengatup mulutnya. Dua pasang mata berbicara dalam diam. Seketika, bumi seakan berhenti berputar. Entah berapa menit berlalu, tergurat senyum menawan di bibirnya. Sebelum aku puas menikmati senyumnya, ia sudah mengalihkan bola matanya ke tempat lain.

Kini perahu melewati perairan di mana ada daratan yang menjorok cukup jauh ke tengah laut. Di kejauhan, samar-samar aku melihat pulau kecil. Dalam hati, aku bertanya: “Mungkihkah itu Palue yang hendak kutuju?” Sementara itu, suasana laut semakin tidak bersahabat. Hujan, angin, dan ombak seakan bersekongkol untuk merenggut perahu beserta seluruh isinya. Air laut sampai-sampai masuk ke dalam badan motor. Keringat dingin mulai mengalir dari pori-pori kulit. Aku agak gugup untuk bertanya pada penumpang lain, tapi aku yakin inilah tempat angker yang telah diperingatkan oleh teman-teman. Si  gadis tetap tenang di tempatnya.

Dalam kecemasan yang kian menjadi-jadi, aku mengutuki masa kecilku yang enggan berlama-lama di air. Aku juga mempersalahkan guru-guru olah raga yang tidak melatih aku berenang. Belasan tahun aku hanya diajar melihat gambar hitam putih di buku olah raga kumal tentang aneka gaya renang. Aku hanya dipaksa menghafal gambar tetapi tidak melatih berenang.

Laju perahu kian lambat dan makin banyak air yang masuk ke dalam badan perahu. Awak motor sibuk mengangkut dan membuang air dengan jerigen. Kalau tidak demikian, bisa-bisa motor ini akan penuh dengan air dan besar kemungkinan motor akan tenggelam. Si gadis tetap tenang di tempatnya. Melihat si gadis, aku tersadar dan pikiran jernihku meneguri diriku. “Seandainya musim barat ini berhasil merenggut perahu ini, aku tetap tidak bisa berbuat apa-apa setelah mempersalahkan diri dan orang lain”, demikian kata hatiku.

Untuk mengurangi rasa panik, aku coba merenungi kisah Sang Guru yang berjalan di atas air. Kala itu hari sudah gelap, para murid sendirian dalam perjalanan menuju Kapernaum. Sementara itu, laut bergelora karena angin kencang. Ketika mereka sudah berjalan sejauh tiga mil, mereka melihat Sang Guru berjalan di atas air mendekati perahu. Ketakutanlah mereka, tetapi Sang Guru berujar: “Aku ini, jangan takut!” Seketika itu juga, perahu itu sampai ke pantai yang mereka tuju.

Aku teringat pula akan penjelasan eksegetis tentang teks ini. “Jangan takut” artinya  jangan mulai takut dan jangan lanjutkan takut. Demikian dosen Kitab Suci menerangkan teks ini kepada kami dalam suatu kesempatan kuliah. Dengan merenungi ini semua, rasa takut dalam diriku perlahan-lahan sirna dan kini aku bisa menikmati perjalanan yang mencemaskan ini dengan tenang.

Kira-kira lima jam setelah meninggalkan Maumere. Di depanku, terlihat jelas pulau dengan puncak gunung yang berasap. Dari samping kanan,  aku mendengar: “Kak, tidak lama lagi kita akan sampai di Palue. Yang berasap itu puncak gunug api Roka Tenda.”

Tiba-tiba dalam diriku terjadi sesuatu yang aneh. Jantungku berdebar kian kencang, nafas terasa berat, dan seterusnya....

Kini kakiku berdiri di tanah Palue. Si Gadis mendekatiku. Ia mengulurkan tangan sembari memamerkan senyumnya. Si gadis menyebut namanya. Barulah aku tersadar akan jati diri dan maksud kehadiranku di sini. Aku menyorongkan tangan, memperkenalkan diri dengan dua huruf  (fr) di depan namaku. Yah aku hadir di sini untuk membantu pastor paroki selama perayaan natal.
Menuju Palue, 20 Des. ‘08

Penguatan Hidup Keagamaan dan Komunitas Lokal: Berjuang Di Tengah Badai Pandemi Covid-19

 Oleh: Timotius Jelahu

Penguaan hidup keagamaan dan komunitas lokal menjadi dua hal yang dapat menjadi jalan untuk berhadapan dengan pengalaman penderitaan kolektif. Sejarah peradaban merekam bahwa pandemi dari masa ke masa seakan mengafirmasi gagasan Heidegger tentang keberadaan manusia sebagai keterlemparan di tengah dunia. Catatan sejarah pandemi dari masa ke masa mengingatkan siapa saja bahwa hidup manusia sedemikian rentan dan tanpa kewaspadaan, nyawa menjadi taruhannya.

Sekilas Tentang Pandemi Covid-19

Pada mulanya, dunia berempati dengan penduduk Wuhan-Cina yang bergulat dengan Covid-19 yang mematikan. Kemudian, Cina memang berhasil mengendalikan penyebaran virus di negaranya dan Wuhan perlahan-lahan bangkit. Namun, dalam tempo yang relatif singkat, Covid-19 menyebar ke sudut-sudut belahan bumi.

Sejumlah negara mengambil jalan lock down untuk memutus dan mengendalikan penyebaran virus ini. Bebeberapa negara mengklaim berhasil dan otoritas negara perlahan membuka kembali pintu untuk bisa beraktivitas seperti sediakala. Misalnya, Spanyol yang menerapkan karantina paling ketat di Eropa selama tiga bulan mencabut keadaan darurat hari Minggu (21/06) dan membuka perbatasan bagi pengunjung dari hampir semua negara Eropa, tanpa harus melakukan karantina. Negara lain, Amerika Serikat, tidak menerapkan lock down meskipun tingkat penularan virus di negara terbilang tinggi, yakni 23.000 kasus Covid-19 dalam satu hari.

Republik tercinta, Indonesia, tidak menenerapkan lock down. Beberapa daerah yang mengusulkan dapat merapkan PSBB sesuai dengan tingkat penyebaran virus ini. Pascapemberlakukan PSBB, virus ini belum juga sirna dan bahkan dibeberapa beberapa daerah tertentu jumlah pasien Covid-19 justru meningkat. Publik mengomentari bahwa ‘kegagalan’ meredam laju virus ini lebih disebabkan oleh kehendak lemah dan minimnya komitmen bersama anak bangsa sendiri. Sementara itu, ada juga yang berdalih bahwa diam di rumah tidak dapat memenuhi harapan untuk tetap produktif. Maka, jalan yang ditempuh adalah berdamai dengan situasi dan tetap berjuang di tengah ancaman virus ini demi dapur tetap mengepul dan perut tetap terisi.

Tentu, apresiasi positif untuk mereka yang berjuang tak kenal lelah menyelamatkan nyawa yang sudah di ambang maut dan meredam laju penyebaran virus ini. Masyarakat awam juga tentu sudah berjuang untuk membatasi dan menentukan skala prioritas dalam mobilitas dan beraktivitas di luar rumah. Tidak sedikit juga masyarakat yang penuh tanggung jawab dan taat menerapkan pola hidup sesuai dengan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan. Demikian juga sistem di ruang publik yang ditata sedemikian untuk menjamin setiap orang terhidar dari bahaya maut.

Pandemi Covid-19 dalam Ziarah Peradaban

Ziarah peradaban manusia baru saja melewati Pandemi Covid-19. Tentang kenyataan ini, ada yang menyejajarkan dengan situasi Perang Dunia II. Pada Perang Dunia II, manusia dihantui oleh bom. Paling tidak, Covid-19 telah memberi warna tersendiri bagi manusia dalam beberapa aspek kehidupan.

Pertama, dunia menampilkan perkawinan antara globalisasi dengan digdaya digitalisasi. Bermula di Wuhan-Cina, Covid-19 sedemikian mudah menyebar ke sudut-sudut belahan bumi. Terbukanya sekat dan intensitas mobilitas yang tinggi memungkinkan virus ini dengan cepat menyebar dari satu ruang ke ruang yang lain. Tidak mengherankan, negara-negara terpaksa membatasi mobilitas dan menutup pintu masuk.

Di sisi lain, virus ini telah melanggengkan digdaya digitalisasi. Perangkat digital turut menentukan bagaimana anak zaman beraktivitas. Ketika ruang gerak fisik dibatasi untuk memutus rantai penyebaran Covid-19, banyak hal yang dapat dikerjakan dengan mengandalkan berbagai kemudahan perangkat digital. Meskipun gerak fisik dibatasi, namun era digitalisasi telah memungkinkan setiap orang untuk bergerak lintas ruang. Bahkan, berbagai aplikasi dan fitur digital juga memberikan peluang-perluag baru dan menjadi tumpuan bagi upaya pencegahan penyebaran Covid-19.

Kedua, iman sebagai keputusan personal. Dalam hidup beragama, ruang sakral yang megah dan luas kini lengang dan sepi. Kebaktian setiap agama beralih ke optimalisasi perangkat digital daripada menghadiri kebaktian bersama di rumah ibadah. Dari ruang terpisah dan jarak yang berjauhan, masing-masing pemeluk agama berjuang untuk tetap khusuk beribadah dan mendengarkan siraman rohani dari pemimpin agama dengan bantuan perangkat digital. Persekutuan tidak hanya sebatas kedekatan jasmani, tetapi lebih pada persekutuan dalam iman.

Dalam situasi seperti, iman seseorang benar-benar menjadi keputusan personal. Iman adalah suatu perjuangan pribadi dalam ‘keterasingan’ dari yang lain. Orang berjuang untuk menguatkan imannya melalui usaha pribadi yang difasilitasi oleh perangkat digital. Hidup religius benar-benar menjadi pilihan dan penghayatan personal.

Ketiga, solidaritas model baru. Sebagai makhluk sosial, dunia seakan berada dalam paradoks. Menerima kehadiran yang lain, tetapi mesti menjaga jarak. Tampak, setiap orang ‘dipaksakan’ oleh Covid-19 untuk memisahkan diri dari yang lain. Meskipun jarak fisik dibatasi, tetapi semua terpanggil untuk solid dalam gerakan solidaritas melawan gempuran pandemi ini.

Bisa jadi Covid-19 telah menjebak setiap pribadi dalam solidaritas yang dibayangi kecurigaan. Panggilan untuk bersama-sama berjuang dalam solidaritas yang sama dihantui kecemasan terinfeksi. Tentu, hal ini tidak akan terjadi kalau setiap orang dengan kesadaran penuh mengedepankan pola hidup sehat dan didukung oleh sistem kesehatan yang memadai.

Keempat, mendengar rintihan ibu bumi. Bumi sebagai ibu yang memberi kehidupan menderita karena campur tangan manusia. Menanggapi kenyataan bahwa bumi tidak lagi menjadi hunian yang nyaman, muncul beragam pandangan yang menjelaskan relasi antara manusia dengan alam. Paling tidak, pandangan ekologis berangkat dari kesadaran (a) alam sebagai korban dari keserakahan sehingga manusia mesti bertanggung jawab dan/atau (b) demi keberlanjutan hidup manusia sendiri alam mesti dirawat.

Umat Beriman: Melampui Ritualisme, Menolak Ilusi

Setelah sekian waktu umat beragama tidak menjalani ibadah bersama di tempat ibadah, kini ada kerinduan untuk kembali beribadah seperti semula. Sebagian umat beragama sudah melewati hari raya besar keagamaan yang dirayakan tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Umat Hindu baru saja melewati Hari Raya Nyepi yang dilaksanan sesuai arahan untuk membatasi kehadiran umat di tempat ibadah. Demikian pula, umat Kristen Katolik dan Kristen Protestan, telah melawati Hari Raya Paskah. Dan kini, umat Islam yang tengah menjalani masa puasa juga mengalami hal yang sama.

Di tengah pandemi Covid-19 yang belum bisa diprediksi kapan berakhir ini, kerinduan untuk kembali beribah bersama di tempat ibadah dapat dicermati dari dua hal. Pertama, agama merupakan tempat pelarian untuk mencari ketenangan di tengah kesulitan yang dihadapi dan serentak menjustifikasi ritualisme. Joakim Wachs mengetengahkan bahwa ritual agama merupakan salah aspek kunci dari setiap agama, selain pengalaman keigamaan, kepercayaan, dan komunitas kultis (dalam Koten, 2005: 27-35). Ketika orang berlari pada agama hanya untuk mendapat ketenangan batin semata, maka agama adalah ilusi sebagaimana pandangan Freud atau candu dalam pandangan Marx.

Keuda, kerinduan tersebut adalah pertanda kedewasaan iman. Agama dan tempat ibadah bukan sebagai tempat pelarian untuk mencari ketenangan. Juga, kerinduan tersebut bukan karena otoritas agama memupuk rasa rindu pemeluk agama yang melanggengkan ritualisme. Dalam situasi pandemi ini, otoritas agama telah memberikan kelonggaran dalam melaksanakan ibadah atau ritual. Hal ini serentak mematahkan pendekatan reduksionis Freud bahwa agama sebagai amnesia kronis karena agama tidak hanya terpaku pada kelaziman dalam melaksanakan ritual. Praktik keagamaan adalah sesuatu yang rasional dan tanggap terhadap konteks pemeluknya.

Beragama Lintas Batas

Di tengah wabah ini, umat beragama kiranya peka terhadap penderitaan yang dialami manusia. Berhadapan dengan penderitaan, umat beragama dapat menggumuli apakah wabah ini merupakan tanda bahwa janji Allah belum dipenuhi dan karena itu menggerakan umat beragama untuk menggumuli janji Allah dalam diri penderita? Atau, siapakah yang bertanggung jawab atas penderitaan itu apalagi terjadi di luar kendali manusia? Banyak hal yang bisa digumuli oleh umat beragama berhadapan dengan pengalaman penderitaan, termasuk pandemi Covid-19. Bagaimana pun, di hadapan penderitaan, umat beragama tidak boleh bungkam.

Nilai dan pandangan masing-masing agama dapat menjadi pijakan dalam merawat peradaban dan menghantar para pemeluknya pada cara hidup yang baru. Dalil-dalil agama menjadi inspirasi  untuk gerakan bersama menumbuhkan optimisme di tengah wabah ini di mana iman pribadi diarahkan pada harpan akan masa depan yang memungkingkan semua bergerak dalam aksi solidaritas.

Kini, refleksi teologi umat beragama bergerak dari titik yang sama, yakni pandemi Covid-19. Dalam konteks ini, agama-agama mesti mampu menumbuhkan semangat juang dan memiliki ketahanan personal untuk bersatu dalam nafas yang sama menghadapi masa depan dengan optimisme. Dalam gerakan bersama itu, agama harus mampu menjelaskan hidup beragama sebagai sumber inpirasi dalam perang melawan pandemi covid-19 mulai dari komunitas kecil sehingga memberikan aura positif bagi semua umat beragama.

Agama bukanlah ilusi atau candu dan karena itu umat beragama hendaknya tindak melanggengkan ritualisme. Kerinduan beribadah kiranya dibarengi gerakan untuk bersama-sama dengan pihak terkait terlibat melawan musuh yang tidak kelihatan itu. Dalam situasi ini, umat beragama diharapkan untuk mencari dan meneguhkan iman dalam pencarian pribadi. Namun, iman yang personal itu mesti menjadi tanda solidaritas untuk optimis menatap hari esok di tengah penderitaan yang dialami saat ini.

Dalam konteks Negara Indonesia, agama-agama dengan caranya masing-masing telah mengambil jalan untuk mengatasi pandemi ini. Pemimpin agama telah merefleksikan situasi ini dengan meneguhkan iman umat dan serentak mengajak masing-masing pemeluk agama untuk bisa bersolider dalam melawan gempuran pandemi ini.  Agama-agama tentu menjalani aksi tertentu berpijak pada dalil masing-masing agama. Namun, paling tidak bahwa dalil-dalil itu bertemu pada titik yang sama yaitu semangat untuk melawan Covid-19 dengan menghentikan sementara ibadah yang dilaksanakan secara bersama-sama.

Pandemi memberikan pengalaman bagaimana agama-agama mempromosikan gerakan bersama agar umat beragama terlibat menggumuli pandemi ini.  Agama-gama bergandengan tangan dengan berbagai elemen yang turut berjuang mengatasi penderitaan yang dihadapi oleh umat beriman. Tentu, dalam bencana, agama harus berada bersama meraka yang paling rentan untuk terjebak dalam kungkungan fatalisme, menyuarakan solidaritas, memperkuat optimisme dan menghalau pesimisme.

Memperkuat Komunitas Lokal

Covid-19 mengafirmasi bahwa globalisasi berwajah ganda. Tak dapat dipungkiri bahwa penyebaran virus yang cepat juga karena arus globalisasi. Keterbukaan akses dan mobilitas yang sibuk dari satu negara ke negara lain telah membentangkan karpet merah bagi penyebaran virus ini dari satu kawasan ke kawasan lain. Pada saat yang sama, ketika peradaban global terancam Covid-19, berbagai kalangan menyerukan solidaritas global untuk bersama-sama menghadapi serangan Covid-19.

Konektivitas yang melampaui sekat dan serentak menyatukan ruang-ruang di belahan bumi telah menjadikan dunia sebagai satu komunitas global. Berbarengan dengan menguatnya arus globalisasi sebagai suatu narasi besar, ada kecemasan bahwa komunitas lokal sebagai narasi kecil digilas dan dilahap oleh narasi besar. Mesti disadari bahwa globalisasi dapat juga menjadi ancaman bagi kelangsungan nilai-nilai yang dihidupi komunitas lokal.

Dunia berhadapan dengan kenyataan bahwa krisis atau resesi yang terjadi dalam komunitas global kerap kali diikuti dampak sistemik yang memperburuk keadaan komunitas lokal. Apalagi, komunitas lokal yang kecil kerap kali tunduk pada arah yang dibangun oleh komunitas global. Terkait hal ini, dipertanyakan pemberdayaan komunitas lokal di era globalisasi ini, apakah sudah berjalan sehingga dapat menjamin bahwa komunitas lokal dapat bertahan di tengah badai global. Atau, komunitas lokal kini sudah tidak berdaya dan hanya bergantung pada komunitas global untuk bisa bertahan.

Negara-negara kini sibuk merancang bagaimana memulihkan keterpurukan ekonomi. Sementara itu, Covid-19 juga mengingatkan kita bahwa ruang gerak dan akses antarkomunitas bisa saja dibatasi sewaktu-waktu. Hal yang perlu diperjuangkan adalah bagaimana memberdayakan komunitas lokal agar tetap bertahan di tengah gempuran risiko sistemik dari keberadaan dunia dewasa ini sebagai satu komunitas global.

Ketika akses-akses untuk keluar masuk dibatasi untuk menghambat laju dan melindungi warga negara dari serangan Covid-19, bumi ini seakan berhenti bergerak. Sementara itu, dalam hal-hal tertentu hidup manusia sudah terpola untuk bisa eksis dalam keterbukaan dan mobilitas. Tidak heran, jika negara-negara mulai membuka akses, meskipun dengan risiko tinggi terjadinya gelombang baru  lonjakan kasus Covid-19.

Pada era globalisasi ini, pengembangan komunitas didasarkan pada kualitas karakter persahabatan manusia yang melampui batas teritorial dan geografis. Komunitas yang dibangun berorientasi pada ketertarikan dan keahlian tertentu dari pada seputar lokalitas sebagaimana dikemukan Gusfield (dalam McMillan dan Chavis, 1986: 8). Gagasan ini memang lebih fleksibel bila komunitas hanya dibatasi sebagai “masyarakat setempat”. Namun, bahaya akan muncul ketika mengabaikan komunitas sebagai kelompok sosial yang setiap anggotanya sadar akan keanggotaannya dalam kelompok tersebut untuk memproduksi dan mengekspresikan budayanya dengan ciri lokalitas tertentu.

Pandemi Covid-19 berdampak pada menurunnya produktivitas anak bangsa. Karena itu, sejak bulan April pemerintah sudah menyalurkan bantuan sosial dan juga telah diperpanjang hingga Desesember 2020.  Menteri Sosial, Juliari Batubara, dalam rapat kerja bersama komisi VIII DPR, Rabu (24/6/2020), melaporkan kenaikan anggaran bantuan sosial pemerintah dari Rp 62,8 triliun menjadi Rp 106,5 triliun. Tentu saja, snak bangsa tidak sepenuhnya bergantung pada bansos pemerintah. Sebagai contoh, pada bulan Mei lalu viral di media sosial seorang ibu di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, menolak bantuan sosial pemerintah dengan alasan masih mampu memenuhi kebutuhan di tengah pandemi Covid-19.

Pandemi ini kiranya menyadarkan semua kalangan akan pentingnya pemberdayaan komunitas lokal. Muara dari pemberdayaan adalah masyarakat lokal akan selalu siap dan mampu berdiri tegak di tengah pandemi. Pemberdayaan diarahkan pertama-tama untuk memastikan bahwa komunitas lokal tetap bisa produktif meskipun ruang gerak dan akses dengan komunitas global dibatasi.

Setidaknya, warga komunitas lokal diberdayakan untuk memiliki keterampilan cadangan yang sewaktu-waktu berguna untuk bertahan hidup. Selain itu, perlu juga lembaga perbankan menggalakkan literasi keuangan hingga ke tingkat komunitas lokal agar budaya menabung menjadi bagian dari hidup warga komunitas lokal. Sebagai suatu sistem, keberlangsungan komunitas global mengandaikan komunitas-komunitas lokal dapat bersinergi satu dengan yang lain. Namun, penguatan jejaring dengan komunitas global tanpa pemberdayaan komunitas lokal justru akan membahayakan komunitas global. Membangun komunitas global yang kuat tanpa penguatan komunitas lokal akan melahirkan kepincangan.

Memang pada era globalisasi ini, membangun komunitas lokal yang kuat juga tidak bisa tanpa dihubungkan dengan sistem global. Interkoneksi dan interdependensi harus bermuara pada penguatan komunitas lokal. Mendewakan komunitas global dengan mengabaikan pemberdayaan komunitas lokal adalah upaya menggali lubang kuburan bagi komunitas lokal.

Penutup

Covid-19 mengingatkan bahwa gerak-gerik manusia mesti mempertimbangkan keselamatan bumi. Rekayasa ilmiah tidak sepenuhnya mampu menguasai alam. Intervensi manusia atas alam hanya bersifat sementara dan berhadapann dengan daya alam yang tak terkendali. Covid-19 membawa pesan bahwa kesanggupan akal budi manusia tidak sepenuhnya dapat menguasai alam. Maka, memposisikan diri sebagai tuan atas alam perlu dilihat kembali.

Pandemi ini dapat menjebak setiap orang pada pesimisme dan fatalisme. Lalu, apakah umat beragama mengutuk mereka yang kehilangan harapan atau mempromosikan optimisme untuk bisa keluar dari jebakan pandemi ini? Dalam situasi wabah ini, umat beragama tentu tidak kehilangan orientasi bagaimana beragama.

Dalam menghadapi bencana dan wabah yang tak mudah diprediksi, negara tentu tidak gagap dalam mengambil keputusan sehingga semua warga negara tidak tenggelam dalam kekhawatiran. Selain itu, negara memastikan warganya memiliki ketahanan personal untuk melewati berbagai bencana. Ketika negara menyangsikan ketahanan warganya,  taruhannya adalah keberlanjutan peradaban bangsa. Dengan demikian, permberdayaan komunitas, entah itu parokial maupun sektoral mesti digiatkan sehingga masyarakat tetap produktif dan berdiri tegak di hadapan bencana yang mungkin akan terjadi di masa mendatang.