Pesta Sambut Baru: Budaya Pesta atau Dimensi Ritual Keagamaan

Pesta syukur penerimaaan Sakramen Ekaristi (sambut baru) merupakan perayaan iman. Perayaan syukur tersebut dapat menyimpang, yaitu menjadikan perayaan iman sebagai sebuah perayaan profan. Dalam penelitian sederhana ini, kami akan mencari tahu apakah pesta sambut baru membawa pengaruh positif atau negatif dalam bidang sosial, budaya dan pastoral. Dengan mengetahui pengaruh pesta sambut baru terhadap bidang-bidang tersebut, kiranya setiap keluarga, Gereja sebagai pribadi atau institusi dapat menyikapi realitas perayaan syukur ini secara bijaksana. 

Oleh: Timotius T Jelahu, dkk. 

 PENDAHULUAN

Sakramen ekaristi adalah salah satu sakramen terpenting dalam agama katolik. Yesus sendiri sudah mengatakan: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum DarahNya, kamu tidak mempunyai hidup dalam dirimu” (Yoh. 6: 53). Maka keinginan para orang tua agar anaknya menerima sakramen komuni, pada galibnya adalah sebuah keinginan iman, tindakan yang dilatari oleh iman. Dengan suatu anggapan bahwa dengan menerima sakramen ini, anak-anak mereka semakin bersatu dengan Allah.

Salah satu persoalan yang ada di tengah umat berimaan adalah ketika perayaan penerimaan komuni yang merupakan perayaan sakramental direduksi kedalam perayaan profan. Banyak orang yang lebih melihat pestan sykur atas  sambut baru. Dengan demikian, bukanlah sesuatu yang aneh jika pesta sambut baru dilaksanakan secara besar-besaran. Sekilas, kita mendapat kesan betapa antusiasnya para orang tua dengan perayaan sakramental itu. Perayaan sakramental semestinya berpusat di tempat-tempat peribadatan seperti gereja. Namun sesungguhnya kita bisa ‘menangkap’  satu hal lain di balik itu. Yang terjadi adalah kemewahan seremonial di tempat pesta melebihi kemewahan di tempat peribadatan. Di sini kita bisa pertanyakan: entahkah antusiasme persiapan untuk menerima sakramen komuni itu dilandasi oleh sebuah perasaan keimanan ataukah karena ada kaitannya dengan budaya pesta?

Perayaan komuni pertama adalah perayaan sakramental, perayaan liturgi. Harus diingat bahwa “liturgi Gereja adalah sumber dan puncak” (fons et culmen), liturgi kehidupan. Tetapi jika terjadi pergeseran dari perayaan sakramental (komuni pertama) kepada perayaan profane (pesta), dan tidak lagi memperhatikan nilai liturgi semacam ini maka makna komuni pertama ini menjadi amat kurang. Maka dari itu, kami membuat hipotese sederhana agar pembahasan ini tidak membias. Hipotesenya adalah Pesta Sambut Baru lebih mengungkapkan Budaya Pesta daripada mengungkapkan dimensi praktis keagaamaan.

Dalam setiap agama, salah satu dimensi praktis keagamaan yang penting adalah aspek ritual.  Karena itu, ada pun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari tahu apakah pesta sambut baru lebih mengungkapkan budaya pesta dari pada mengungkapkan dimensi praktis keagamaan (aspek ritual). Penelitian ini kiranya menjadi bahan permenungan bersama sekaligus diskursus sosial tentang fenomena komuni pertama. Realitas ini menarik untuk disimak, karena ada pergeseran dari perayaan iman kepada perayaan profan. Selain itu, kiranya penelitian ini juga menjadi titik tolak bagi refleksi teologi pastoral sekaligus tindakan praksis pastoral. Ini merupakan tantangan bagi para pelaku pastoral dewasa ini. Dan akhirnya, semoga penelitian ini memberi manfaat bagi para orang tua untuk bisa merefleksikan esensi dari komuni pertama. Orang  tua diharapkan mengurangi acara pesta setelah perayaan sambut baru di tempat peribadatan, apalagi jika keadaan ekonomi keluarga tidak memungkinkan untuk itu.

Dalam penelitian ini, kami menggunakan beberapa pendekatan. Pendekatan utama yang kami gunakan adalah pendekatan kuantitatif (dengan mengandalkan metode survey). Kami menyebarkan kuesioner (angket) kepada 50 responden yang terdiri dari anak-anak SDK Nita I yang baru saja menerima Komunio Pertama pada tahun 2011 ini sebanyak 30 orang dan orang tua di Lingkungan ST. Petrus, Paroki Nita sebanyak 20 orang. Kami juga menggunakan pendekatan kualitatif dengan mewancarai responden untuk mendapat penjelasan responden atas jawaban yang diberikan dalam kuesioner. Selain itu, penelitian ini juga diperkaya oleh pengamatan kami khususnya ketika kami mengikuti pesta sambut baru dan dalam menyaksikan penyelenggaraan pesta sambut baru. Untuk mendapat penjelasan yang memadai tentang masalah yang diteliti, kami juga mencari berbagai informasi dan penjelasan dari berbagi literatur tersedia dan terjangkau.

 LANDASAN TEORITIS: RITUAL  KEAGAMAAN DAN RITUAL BUDAYA

 Dimensi Ritual Re

Hidup religius disadari tidak lepas pisah dari keberagamaan seseorang, bahkan inisial religius itu diukur dalam aspek kepercayaan, keyakinan, dan penghayatan hidup religius. Stark dan Glock mengidentifikasikan beragam pandangan tentang komitmen religius ini dalam 5 dimensi yakni kepercayaan (belief), praktik (practice), pengetahuan (knowledge), pengalaman (experience), dan pengamalan (consequences). Kelima dimensi ini tak bisa dilepaspisahkan jika seseorang hendak diselidiki komitmen religiusnya. Empat dimensi pertama merupakan konsep independen yang mempengaruhi dimensi yang terakhir dan dimensi yang terakhir merupakan result dari empat dimensi terdahulu.

 Pemahaman tentang Dimensi Ritual Keagamaan

Setiap agama tentu memiliki ritus-ritus tertentu yang dibuat untuk mendekatkan para pemeluknya dengan yang Ilahi. Menurut Dhavamony, tindakan agama tampak dalam ritual keagamaan sehingga ritual juga dianggap sebagai agama dalam tindakan. Dengan demikian, sebuah agama sangat aneh jika tidak memiliki ritual religius.

Menurut Stark dan Glock, aspek ritual merupakan salah satu bagian dari dimensi praktis. Aspek ritual dianggap sebagai aktivitas religius yang bersifat formal, untuk dibedakan dari aspek devosional yang lebih bersifat privat. Aspek ritual berkaitan dengan ritus-ritus dalam Gereja yang umumnya bersifat publik dan diikuti oleh setiap anggota Gereja. Karena itu, komitmen religius seseorang dapat ditunjukkan lewat kehadirannya dalam sejumlah pelayanan ibadat, menerima komuni, ritus pembaptisan, ritual perkawinan, dan sebagainya.

Hal yang terpenting dalam aspek ritual adalah keterlibatan para pemeluk agama dalam kegiatan ritual formal dan kegiatan-kegiatan religius lain yang bersifat publik. Aspek keterlibatan dianggap sebagai harapan dari semua agama terhadap pemeluknya. Karena itu, Stark dan Glock meneliti keterlibatan pemeluk agama di Amerika Serikat mengenai kehadiran mereka dalam kegiatan ibadah (worship), menerima komuni (communion), keterlibatan dalam organisasi religius (organizational participation), dukungan finansial (financial support), dan pewartaan kabar damai/suka cita (saying grace).

 Dimensi Ritual Religius Sambut Baru 

Ketika berbicara tentang pengalaman Sambut Baru (komuni pertama), hidup religius seseorang erat dikaitkan dengan dimensi praktis dari komitmen religius. Pengalaman sambut baru merupakan salah satu hal penting untuk mengungkapkan ekspresi ritual seseorang. Ekspresi ritual tersebut bersifat formal, dalam suasana kebersamaan dan situasi komunal. Hal itu setidaknya mirip dengan budaya pesta di mana suasana kebersamaan, aspek komunal, dan formalnya sangat mencolok. Di sini, peristiwa sambut baru mesti dikaji secara mendalam.

 Komuni Pertama Diantara Sakramen Lainnya: Suatu Tinjaun Teologis

Sakramen adalah tanda. Sebagai tanda, ia mengisyaratkan tentang sesuatu. Sama seperti tanda-tanda alamiah dan tanda-tanda buatan manusia, demikian pun tanda Sakramental menyampaikan suatu pesan. Sakramen pada umumnnya dan sakramen Ekaristi (juga komuni pertama) pada khususnya memiliki pesan tertentu untuk orang yang menerimanya. Namun tidak dapat disangkal lagi bahwa Sakramen Ekaristi memiliki nilai lebih dalam diri umat beriman. Dengan menerima tubuh dan darah Kristus berarti kita menyatu dalam tubuh dan darah Kristus yang tersalib. Sebab Ekaristi adalah sumber dan puncak hidup Kristiani (LG 11 dan Katekismus 1324). Sebagai puncak hidup, kita mesti menggapainya.

Ekaristi dilihat sebagai sumber dan puncak hidup Kristiani karena pencaharian manusia beriman Kristiani akan kebahagiaan hidup akan sempurna jika ia mengalami kekenyangan jiwa. Hal ini akan terwujud jika manusia bisa bersatu dengan Kristus yang tersalib dalam Ekaristi. Bersatu dengan Kristus yang tersalib berarti kita siap menjadi saksi cinta Kristus kepada semua orang. Hal ini membawa konsekuensi pada sikap kita yang selalu memancarkan cinta Kristus. Umat Kristen hidup karena kurban hidup Yesus. Oleh karena itu, hakikat umat Kristen adalah melaksanakan sikap Yesus yang sudah mengurbankan diri. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengikuti perayaan Ekaristi. Selain karena dalam Perayaan Ekaristi kita akan selalu memakan tubuh dan darah Kristus, “ tetapi juga apa yang dilakukan Kristus demi keselamatan kita, karya penyelamatan, menjadi hadir dan terungkap melalui perayaan Ekaristi”

Komuni pertama yang didalamnya anak-anak menerima tubuh dan darah Kristus, merupakan salah satu bentuk keterlibatan anak-anak dalam melaksanakan tugas yang telah digariskan Kristus. Dengan demikian komuni pertama merupakan sakramen yang amat penting bagi umat Katolik termasuk bagi anak-anak. Meskipun demikian, Sakramen yang lain juga memiliki kekhasan masing-masing. Bersama Sakramen komuni pertama, sakramen-sakramen itu telah membentuk kepribadian seseorang menjadi komprehensif, terutama jika ditilik dari sisi imannya. Bersama sakramen Komuni pertama, ketujuah sakramen yang ada dalam Gereja Katolik telah membantu penghayatan kehidupan religius seseorang  “mendekati” imperatif Kristus. Sakramen komuni pertama amat penting, dan hal ini menjadi lebih sempurna jika beberapa sakramen yang menjadi keharusan bagi orang Katolik juga diterimanya.

Pesta Sambut Baru dalam Perbandingan dengan Perayaan Religius Agama Lain yang Dipestakan

Dalam pembahasan ini, kelompok secara khusus mengambil dua perayaan religius dari dua agama besar di NTT sebagai bahan perbandingan, yakni SIDI dalam agama Kristen Protestan dan Sunat dalam agama Islam. Sidi dan Sunat bukan merupakan perayaan  yang menyerupai atau persis serupa dengan perayaan sambut baru dalam agama Katolik. Dengan kata lain, sidi dan sunat bukan merupakan “sambut baru” dalam agama lain. Kelompok  hanya mengangkat sebagai sebuah fenomena perayaan religius yang juga biasa dipestakan. Untuk itu, penjelasan mengenai istilah dan makna dari sidi dan sunat secara singkat akan dijelaskan berikut. Setelah itu, kelompok akan memaparkan fenomena pesta dari kedua pesta itu berdasarkan pengamatan di medan pastoral selama TOP (Tahun Orientasi Pastoral).

Memahami Makna Perayaan Sidi dan Sunat

Sidi

Perayaan sidi merupakan upacara peneguhan setelah seseorang dibaptis. Menurut R. J. Porter peneguhan sidi adalah, peneguhan yang bukan sakramen tapi masih berkaitan dengan sakramen-sakramen terutama sakramen baptis. Penenguhan sidi bagi orang dewasa biasanya langsung diberikan setelah seseorang menerima pembaptisan. Sedangkan pada usia anak-anak setelah baptisan tidak langsung diikuti dengan sidi karena mereka harus mengikuti proses katekisasi, yakni suatu pelajaran sidi bagi anak-anak yang akan mengaku imannya. Usia yang menerima pembelajaran sidi biasanya berkisar antara umur 13-20 tahun. Masa ini dipilih karena secara aktual menjadi saat terjadinya proses pencarian identitas diri sehingga perilakunya bisa berubah-ubah setiap waktu, maka kehadiran Gereja memiliki peranan sangat urgen dalam mendampingi perkembangan dan membangun karakter yang integral. Selanjutnya anank-anak akan menerima peneguhan setelah melewati proses katekisasi ini. Peneguhan sidi adalah moment untuk mengakui iman dihadapan jemaat dan sebagai pernyataan, bahwa janji orangtua ketika anak dibaptis telah ditepati dan sang anak percaya kepada Yesus Kristus secara murni. Selain itu, melalui peneguhan sidi, seseorang juga diterima sebagai anggota jemaat yang bertanggung jawab untuk berpartisipasi dalam pelayanan jemaat, dan diijinkan dalam perjamuan kudus.

SIDI atau penguatan dalam Gereja Protestan ini tidak sama dengan sakramen penguatan atau sakramen krisma dalam Gereja Katolik Roma. Sidi atau confirmatio dalam Gereja Protestan itu bukan sakramen dan memang tidak dimaksudkan sebagai sakramen oleh Gereja Protestan sendiri. Gereja katolik juga tidak melihat dan menerima sidi sama dengan sakramen penguatan. Oleh karena itu bagi seorang protestan yang sudah menerima peneguhan sidi dan mau masuk ke Gereja Katolik, ia tidak perlu dibaptis lagi (sejauh baptisannya sudah sah dan diakui oleh Gereja Katolik). Satu hal yang masih perlu dilakukan adalah mengikuti upacara penerimaan resmi menjadi anggota Gereja Katolik dan menerima sakramen penguatan dalam suatu perayaan ekaristi.

 Sunat

Istilah Sunat memiliki padananan arti dengan khitan atau sirkumsisi dalam bahasa Inggris (circumcision), yakni tindakan memotong atau menghilangkan sebagian atau seluruh kulit penutup depan dari penis. Selain pada pria, khitan juga dilakukan pada wanita yakni dengan sedikit memotong kulit yang berada di atas vaginanya. Secara umum kebiasaan sunat telah dilakukan sejak zaman prasejarah. Alasan dari kebiasaan ini diperkirakan oleh para ahli prasejarah sebagai bagian dari ritual korban dan persembahan kepada Yang Mahakuasa, langkah menuju kedewasaan, tanda kekalahan atau perbudakan.

Dalam agama Islam, khitan adalah salah satu syariat yang berasal dari ajaran Nabi Ibrahim. Menurut ajaran agama Islam, selain sebagai cara untuk menjaga kesehatan fisik, khitan juga merupakan salah satu media penyucian diri. Khitanan yang dibuat bisa menandakan seseorang sebagai pengikut Nabi Muhamad SAW dan pelestari syariat Nabi Ibrahim. Khitan yang biasa dilaksanakan dalam agama Islam bisa memberi nilai keindahan pada seseorang dan mengontrol syahwat. Akan tetapi dalam agam Islam ada kalangan yang meyakini khitan ini sebagai suatu perbuatan yang bila dikerjakan akan mendapatkan pahala, dan bila tidak dikerjakan tidak akan mendapatkan hukuman. Berkaitan dengan waktu pelaksanaannya, khitan biasa wajib dilaksanakan pada saat balig. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pada saat balig itulah seseorang wajin melaksanakan sholat. Tanpa khitan, sholat tidak sempurna sebab suci yang merupakan syarat sah sholat tidak terpenuhi. Namun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa seseorang bisa dikhitan pada hari ke tujuh kelahirannya dan tidak wajib menunggu hingga ia mengalami masa balig. Namun ini berlaku  apabila menurut perkiraan medis hal tersebut tidak akan berdampak negatif.

Ritual Budaya: Pesta Sambut Baru Berasal dari Pesta Budaya

Dalam setiap budaya, ritual tradisional juga seringkali ditemukan. Ritual tradisional itu dapat berupa perayaan-perayaan budaya, pesta budaya, dan festival-festival. Hal itu dibuat dengan tujuan-tujuan tertentu, baik untuk mempersatukan masyarakat, ucapan syukur, maupun rekonsiliasi setelah terjadi keregangan/perselisihan.

Dalam pesta budaya, ada hal-hal penting yang mesti dipertunjukkan. Hal-hal tersebut antara lain: keterlibatan anggota masyarakat, penggunaan simbol-simbol budaya, ungkapan personal baik verbal maupun nonverbal. Semua itu disesuaikan dengan intensi acara adat yang dibuat. Walaupun pada umumnya, ritus yang dibuat biasanya memperkokoh kolektivitas dan kerukunan sosial.

Dalam perkembangan, pesta budaya hampir jarang dilakukan. Hal itu lambat laun tersublimasi dalam acara-acara syukuran. Acara-acara syukuran dibuat sama seperti pesta budaya. Akibatnya, peristiwa pernikahan, peristiwa sambut baru, peristiwa kelulusan sekolah, dan peristiwa syukur lain dibuat sama seperti pesta budaya. Dan khusus berkaitan dengan pesta sambut baru, di Maumere peristiwa pesta sambut baru sudah dilihat sebagai sebuah tradisi. Ini menunjukkan bahwa acara syukuran sambut baru sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dan ini cukup sulit untuk dihilangkan. Ini sudah menjadi tradisi masyarakat. Dengan kata lain, pesta syukur sambut baru sudah masuk ke dalam sebuah “pesta”.

Pemahaman umum ini (pesta budaya tersublimasi ke dalam acara-acara syukuran) kemudian menjalar dalam pandangan dan kebiasaan masyarakat sehingga segala jenis acara syukuran ‘harus’ dipestakan. Orang bahkan merasa janggal, aneh, dan malu kalau suatu peristiwa syukur tidak dipestakan. Di sini, budaya pesta akhirnya lahir.

Dalam konteks ini, fokus perhatian ada pada term ‘pesta’. Term pesta umumnya diartikan sebagai sebuah acara sosial yang dimaksudkan terutama sebagai perayaan dan rekreasi. Pesta diselenggarakan sebagai bentuk dari ungkapan kegembiraan dan rasa syukur. Orang bersyukur atas berbagai rejeki, keselamatan, kebahagiaan, keberhasilan dan maupun atas kemenangan yang diperoleh. Dalam pesta orang-orang bergembira. Dengan bergembira pesta menjadi meriah.

Pesta dapat bersifat keagamaan atau berkaitan dengan musim, atau, pada tingkat yang lebih terbatas, berkaitan dengan acara-acara pribadi dan keluarga untuk memperingati atau merayakan suatu peristiwa khusus dalam kehidupan yang bersangkutan. Ketika pesta menjadi suatu budaya, itu berarti pesta telah menjadi kebiasaan dan sedikit ‘terpaksa’ menjadi suatu keharusan (ada nilai keterikatan). Dengan demikian, yang diutamakan dalam budaya pesta adalah pesta itu sendiri.

Walaupun secara internal (maksud dan tujuan) berbeda, pesta budaya dan budaya pesta memiliki beberapa kesamaan. Kesamaan-kesamaan itu antara lain: situasi kolektif dengan kehadiran banyak orang, ada ungkapan-ungkapan personal (ucapan selamat/syukur), dan  ada simbol-simbol yang mempersatukan. Selain itu, aspek eksternal yang juga dianggap penting adalah kesediaan menyantun sumbangan/dana untuk kelangsungan acara. Aspek finansial menjadi kategori terakhir yang menarik jika diteliti, sebab banyak kalangan berpendapat pesta yang telah menjadi budaya telah menimbulkan pemborosan ekonomi.

Berdasarkan pemaparan di atas, sebetulnya ada cukup banyak segi yang kelihatannya sama antara aspek ritual dalam kegiatan religius dengan budaya pesta. Dalam penelitian ini, aspek eksternal (yang kelihatan) adalah bagian yang menjadi fokus penelitian. Karena itu, hubungan yang signifikan dan detail tentu hanya dapat dijelaskan melalui sebuah studi dan penelitian komparatif atas kasus/situasi khusus. 

Mempertimbangkan Dampak Pesta Sambut Baru

Setiap bentuk pesta yang diadakan dalam konteks tertentu,pastinya akan membawa pengaruhpositif maupun yang negatif dalam setiap aspek kehidupan manusia khususnya dalam aspeksosial, budaya, pendidikan, maupun dalam bidang pastoral.Dikatakan demikian karena sebentuk apapun pesta yang dirayakan, pastinya akan selalu berpengaruh menguntungkan maupun merugikan terhadap aspek-aspek yang disebutkan diatas.

Adapun pengaruh positif dari pesta sambut baru bagi kehidupan sosial adalah, bahwa pesta sambut baru membawa kebahagiaan tersendiri bagi anak dan juga membahagiakan bagi segenap anggota keluarga dan sekalian pihak yang merayakannya. Pesta sambut baru juga menjadi momen untuk bersilaturahmi bagi segenap kerabat dan siapa saja yang hadir dalam pesta tersebut. Di sisi lain, dengan diadakannya pesta sambut baru tersebut, maka ada persatuan yang nyata dengan semua orang yang dilibatkan, dan juga ada solidaritas antara pihak-pihak terkait dalam menyukseskan pesta tersebut. Pesta sambut baru juga berpengaruh positif terhadap kebudayaan yang sangat nampak dalam persatuan segenap anggota keluarga yang merayakan pesta dengan segenap suku maupun keluarga besar masing-masing. Artinya bahwa semua pihak dalam suku dilibatkan demi kelancaran pesta tersebut. Dalam bidang pastoral, pesta sambut baru justru memperteguhiman anak dengan sakrmen yang diterimanya dan memampukan anak untuk dapat bersatu dengan Kristus dan gereja.

Di sisi lain fakta menunjukan bahwa setiap pesta yang dirayakan khususnya dalam pesta sambut baru, kelihatannya lebih berpengaruh negatif dalam artian bahwa pesta yang dirayakan itu justru menelan kerugian yang sangat besar. Artinya bahwa biaya yang dikeluarkan untuk pesta tersebut lebih besar daripada pemasukan yang didapatkan saat pesta tersebut. Namun masyarakat kita tetap saja mengadakan pesta tanpa mempedulikan keadaan ekonomi keluarganya masing-masing. Adapun pengaruhnya dalam bidang pendidikan antara lain bahwa masyarakat kita justru menghambur-hamburkan uang dalam jumlah yang sangat banyak hanya untuk merayakan pesta tersebut. Namun, ironisnya bahwa ada begitu banyak anak yang pendidikannya tersendat karena ketiadaan biaya, tetapi orang tua justru lebih terfokus pada pesta daripada masa depan anak.Maka sangatlah disayangkan jika fenomen ini terus menerus dipertahankan. 

Di sisi lain, pesta sambut baru pun berpengaruh dalam bidang Pastoral, misalkan saja, orang lebih menghayati pesta sambut baru yang diadakan ketimbang memfokuskan diri pada perayaan sebuah sakramen. Artinya bahwa, Kelihatannya orang lebih memusatkan perhatiannya hanya kepada pesta dan bukan kepada sakramen yang dirayakan itu. Dan pengaruh negatifnya terhadap aspek sosial dan budaya adalah bahwa, kelihatannya masyarakat kita sudah  menjadikan pesta sambut baru sebagai budayapesta dan bukan sebagai perayaan atau syukuran atas sebuah sakramen yang telah diterima. Dan untuk menyukseskan pesta tersebut, ada begitu banyak biaya yang harus dikeluarkan, bahkan orang relah menghutang dalam jumlah yang sangatbesar hanya untuk merayakan pesta tersebut. Dan lebih parahnya lagi bahwa Pesta sambut baru kelihatannya dijadikan sebagai kesempatan pembalasan belis bagi keluarga yang merayakan pesta tersebut. Jadi, di sini sangat nampak bahwa pesta sambut baru yang sebenarnya adalah syukuran terhadap sakramen iman yang diterima oleh anak, telah berubah menjadi pesta budaya karena sudah tercampur dengan urusan adat. Artinya bahwa masyarakat kita telah menyatukan pesta adat dengan pesta syukuran atas sakramen yang menyelamatkan itu.

HASIL SURVEY DAN ANALISIS DATA TENTANG KORELASI PESTA SAMBUT BARU DENGAN BUDAYA PESTA DAN DIMENSI RITUAL KEAGAMAAN

Jumlah Orang Yang Hadir Misa Sambut Baru dan Pesta Sambut Baru

Tabel 01: Kuantitas Kehadiran Anak dan Orang Tua

Sebanyak 53,3 % responden anak-anak sekolah dasar menyatakan bahwa semua keluarga inti hadir dalam perayaan misa komuni pertama. Ada perbedaan tipis dengan responden yang mengatakan bahwa tidak semua anggota keluarga inti menghadiri misa komuni pertama. Tanggapan orang tua memberikan gambaran yang lebih jelas tentang kehadiran keluarga dan undangan dalam misa dan pesta sambut baru. Dalam misa komuni pertama, 90 % responden menyatakan bahwa kehadiran sanak keluarga dan undangan dalam misa komuni pertama, kurang dari sepuluh orang. Hanya 5 % responden yang  menyatakan kehadiran kerabat dan undangan lebih dari 30 orang. Data menggambarkan dengan sangat jelas bahwa jumlah sanak keluarga dan undangan yang menghadiri misa komuni pertama dan pesta sambut baru memiliki perbedaan yang sangat mencolok. Sebanyak  90 % responden menyatakan bahwa jumlah sanak keluarga dan undangan yang mengikuti pesta sambut baru berjumlah lebih dari 30 orang.

Kuantitas Penerimaan Komunio

Tabel 02: Tingkat Kehadiran Penerimaan Komuni Orang Tua


Sebanyak 70 % responden mengakui bahwa mereka sering mengikuti misa pada hari Minggu. Responden lainnya menyatakan bahwa mereka ‘kadang-kadang’ mengikuti misa pada hari Minggu. Tanggapan responden untuk mengikuti misa sambut baru dan pesta sambut baru sudah bervariasi. Akan tetapi, ada perbedaan yang mencolok antara ketidakhadiran dalam mengikuti misa komuni pertama dan ketidakhadiran dalam mengikuti pesta. Sebanyak 70 % responden merasa ‘biasa-biasa’ dan 30 % merasa malu jika tidak mengikuti misa komuni pertama. Sementara 90 % responden merasa malu jika tidak mengikuti pesta sambut baru. Hanya 10 % responden yang merasa ‘biasa-biasa’ saja kalau tidak mengikuti pesta sambut baru. 

Keterlibatan dalam organisasi

Tabel 03: Keterlibatan Anak dalam Organisasi Gereja


Keterlibatan anak dalam kegiatan di KUB sebelum dan sesudah komuni pertama mengalami sedikit perubahan. Semua responden (100 %), sebelum komuni pertama, mengaku terlibat dalam kegiatan di KUB. Setelah komuni pertama, hanya 3,3 % responden mengaku tidak terlibat dalam kegiatan di KUB. Sementara itu, dalam kegiatan Sekami, hanya 66,7%  responden yang mengikuti Sekami sebelum komuni pertama. Sesudah komuni pertama, persentasi ketidakterlibatan responden naik dari 33,3 % menjadi 36,7 %. Hanya 63,3 % responden yang mengaku terlibat dalam Sekami setelah komuni pertama.

Tabel 04: Keterlibatan Orang Tua dalam Organisasi Gereja (Legio Maria, Santa Ana, Santo Yosef, dll.) dan Pesta Sambut Baru


Dalam tabel 4 di atas, 90% orang tua ‘sering’ terlibat dalam organisasi gereja. Selanjutnya, membandingkan orang yang terlibat dalam misa sambut baru dan pesta sambut baru, akan segera terlihat perbedaan yang sangat mencolok. 90% orang tua mengaku bahwa jumlah kerabat yang mengikuti perayaan misa komuni pertama kurang dari sepuluh orang. Hanya 5% responden menyatakan bahwa anggota keluarga yang mengikuti misa komuni pertama lebih dari 30 orang. Sementara, jumlah orang yang terlibat dalam pesta sambut baru, 90% responden mengatakan lebih dari 30 orang. Hal ini juga tampak dalam keterlibatan sanak keluarga dalam pesta sambut baru. Semua responden (100%) mengatakan bahwa sanak keluarga terlibat aktif dalam penyelenggaraan pesta sambut baru.

Partisipasi Keuangan

Tabel 05: Siapa yang Menginginkan dan Keseringan Menyelenggarakan Pesta Sambut Baru Baru

Tabel 5 memperlihatkan gambaran tentang pesta sambut baru. Sebanyak 20 responden (66,7%) mengatakan bahwa mereka mengadakan pesta sambut baru. Hanya 10 responden (33,3%) yang tidak membuat pesta sambut baru. Tabel 5 juga memperlihatkan gambaran tentang pihak yang menginginkan pesta sambut baru. Sebanyak 19 responden (63,3%) mengatakan bahwa orang tua-lah yang menginginkan agar pesta sambut baru dibuat. Empat orang responden (13,3%) menyatakan bahwa anak yang mengingini pesta itu dibuat. Sementara, 7 responden (23,4%) mengatakan bahwa pesta sambut baru dikehendaki baik oleh anak, maupun oleh orang tuanya.

Tanggapan orang tua di Lingkungan Santu Petrus Ritapiret berbeda dengan tanggapan anak-anak di SDI Nita I. Dari 20 responden di Lingkungan Santu Petrus, ditemukan bahwa mereka pernah menyelenggarakan pesta sambut baru, hanya penyelenggaraannya agak bervariasi. Sebanyak 7 responden (35%) menyelenggarakan pesta sebanyak satu kali. Tujuh responden (35%) menyelenggarakan pesta sebanyak 2 kali. Ada 4 responden (20%) pernah menyelenggarakan 3 kali pesta dan ada 2 responden yang menyelenggarakan pesta lebih dari tiga kali. 

Tabel 06: Partisipasi Keuangan Anak dan Orang Tua


Tabel 6 memaparkan perbandingan partisipasi keuangan anak-anak dan orang tua dalam penyelenggaraan komuni pertama dan pesta sambut baru. Dalam hubungan dengan derma, 90% responden orang tua ‘sering’ memberikan derma pada waktu mengikuti perayaan ekaristi. Hanya 10% responden saja yang menjawab ‘kadang-kadang memberikan derma pada waktu mengikuti perayaan ekaristi.
Dalam nilai nominal, untuk anak-anak, 53,3% responden memberikan derma dengan rentangan nilai Rp1.000,- sampai Rp10.000,- Prosentasi responden yang memberikan derma di bawah Rp1000,- ialah 26,7%. Sementara, 20% responden memberikan derma Rp1.000,-.

Dalam menyukseskan penyelenggaraan komuni pertama, orang tua juga memberikan sumbangan sukarela. Sebagian besar responden (75%) memberikan sumbangan dengan rentangan Rp10.000, 00 sampai Rp50.000,00. Lima belas persen responden memberikan sumbangan dengan nilai yang berkisar antara Rp50.000,00 sampai Rp100.000,00. Sementara, ada 10 % responden  yang memberikan sumbangan dengan nilai berkisar antara Rp1.000,00 sampai Rp10.000,00.

Biaya pesta pun bervariasi. Sebagian besar responden (65%) mengeluarkan biaya pesta dengan jumlah yang berkisar antara 1 juta sampai 4 juta rupiah. Lima belas persen responden mengeluarkan biaya pesta dengan jumlah 5 juta sampai 10 juta rupiah. Sedangkan 5% responden mengeluarkan biaya 8 juta sampai 10 juta rupiah. 

Kebiasaan Memberikan Salam Di Rumah

Tabel 07: Anak Memberikan Salam

Berdasarkan data yang ada dapat diketahui bahwa prosentase keseringan menjalankan doa bersama sebelum dan sesudah makan mengalami perubahan. Prosentase keseringan berdoa bersama waktu makan dan tidur mengalami peningkatan setelah penerimaan komuni pertama. Hal ini terlihat jelas dalam peningkatan prosentase keaktifan dari 83,3% menjadi 86,7 % dalam kegiatan doa makan bersama sedangkan prosentase peningkatan juga terjadi dalam kegiatan doa waktu tidur dari 83,3% berubah menjadi 90%. Perubahan juga terjadi dalam kebiasaan ‘memberi salam’. Sebelum komuni pertama, prosentasi untuk memberi salam 90%. Sesudah komuni pertama, prosentasi ini berubah menjadi 96,7%.

Tabel 08: Orang Tua Mengungkapkan Damai


Kebiasaan memberikan salam sudah menjadi bagian dari kehidupan keluarga. Sebanyak 75% responden orang tua mengaku sering memberi salam damai. Hanya 5% responden saja yang mengaku tidak pernah memberikan salam damai. Ternyata, keseringan memberi salam tidak berbanding lurus dengan kebiasaan doa bersama dalam keluarga. Hanya 45% responden yang mengaku sering doa bersama. 50% responden mengaku ‘kadang-kadang’ doa bersama. Bahkan, ada 5% responden yang tidak pernah berdoa bersama dalam keluarga.

Dalam hubungan dengan pesta sambut baru, 65% responden tidak menganggap pesta sambut baru itu sebagai keharusan. Selain itu, responden juga tidak setuju (75%) kalau pesta sambut baru dipakai sebagai ajang pelunasan belis. 90% responden menyatakan ‘setuju’ jika gereja melarang pesta sambut baru. Hanya 10% responden yang menyatakan ketidaksetujuannya jika gereja melarangnya. Selain itu, 65% responden menyatakan ‘setuju’ jika dalam penyelenggaraan pesta sambut baru itu ada doa bersama keluarga.

TANGGAPAN KRITIS DATA SURVEY

Ada beberapa hal positif yang kelompok temukan dalam penelitian sederhana ini. Pertama, keluarga inti terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan rohani di komunitas basis. Orang tua selalu mengikuti doa bersama di komunitas basis. Anak-anak juga ikut terlibat dalam kegiatan rohani di kelompok. Selain itu, anak-anak juga terlibat dalam kegiatan Sekami. Kedua, keluarga juga berpartisipasi dalam keuangan dengan memberi derma setiap minggu. Anak-anak juga memberikan derma setiap minggu. Ketiga, sudah menjadi kebiasaan dalam keluarga untuk memberikan salam damai. Semua responden, baik orang tua maupun anak-anak, mempunyai kebiasaan untuk memberikan salam damai. 

Ssetelah membandingkan antara perayaan iman (ekaristi) dan pesta sambut baru yang dibuat oleh keluarga-keluarga. Ada beberapa catatan penting yang mau dikemukakan. Pertama, dari segi kehadiran, orang lebih banyak ‘menghadiri’ pesta daripada misa komuni pertama. Perbedaannya sangat mencolok. Soal kehadiran keluarga inti dalam perayaan komuni pertama, tanggapan anak-anak sangat menarik untuk dicermati. Soalnya, ada perbedaan tipis antara ‘semua keluarga inti hadir’ dan ‘tidak semua  keluarga inti itu hadir’.  Hal ini juga diperkuat oleh tanggapan orang tua. Sebanyak 90% orang tua mengatakan bahwa  yang hadir misa komuni pertama, kurang dari 10 orang. Jumlah kehadiran dalam misa komuni pertama ‘kalah jumlah’ jika dibandingkan dengan kehadiran dalam pesta sambut baru. Sebanyak 90% responden menjawab bahwa jumlah keluarga dan undangan yang hadir dalam pesta sambut baru itu lebih dari 30 orang. Data ini mau menunjukkan kecenderungan orang untuk lebih memilih pesta sambut baru daripada misa komuni pertama.

Kedua, dalam diri responden, ada kecenderungan besar ‘merasa malu’ kalau tidak menghadiri pesta sambut baru (90%) daripada mengikuti misa komuni pertama (30%). Tampaknya, responden lebih mengutamakan pesta sambut baru daripada misa komuni pertama.

Ketiga, membandingkan keterlibatan dalam misa komuni pertama dengan pesta sambut baru, akan jelas terlihat bahwa responden lebih berkonsentrasi dalam urusan pesta sambut baru daripada misa komuni pertama. 90% orang tua mengaku bahwa jumlah kerabat yang mengikuti perayaan misa komuni pertama kurang dari sepuluh orang. Sementara, jumlah orang yang terlibat dalam pesta sambut baru, 90% responden mengatakan lebih dari 30 orang. Hal ini juga tampak dalam keterlibatan sanak keluarga dalam pesta sambut baru. Semua responden (100%) mengatakan bahwa sanak keluarga terlibat aktif dalam penyelenggaraan pesta sambut baru.

Keempat, pesta sambut baru menjadi acara besar karena melibatkan keluarga besar dan undangan dalam jumlah yang banyak dan pesta sambut baru, pada umumnya, dikehendaki oleh orang tua. Semua responden mengakui keterlibatan aktif dari keluarga besar. Hal ini berdampak pada besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh keluarga penyelenggara pesta. Untuk menjelaskan lebih lanjut, kami akan memperlihatkan karakteristik responden.  

Tabel 09: Karakteristik Responden

 


Dari data di atas, terlihat jelas bahwa sebagian besar responden berprofesi sebagai petani (65%). Bisa dibayangkan, besarnya tanggungan keluarga-keluarga petani itu dalam menyelenggarakan pesta sambut baru. Padahal, untuk acara yang sederhana saja, pesta sambut baru membutuhkan biaya 1 juta sampai empat juta rupiah.
Kelima, responden lebih cenderung memperhatikan kebersamaan dalam kelompok ( doa di komunitas basis, doa dengan keluarga besar) dan mengabaikan doa-bersama dalam keluarga inti. Hanya 45% responden yang mengaku sering doa bersama. 50% responden mengaku ‘kadang-kadang’ doa bersama. Bahkan, ada 5% responden yang tidak pernah berdoa bersama dalam keluarga. Data ini mau menunjukkan bahwa responden (orang tua) lebih mementingkan ‘keharmonisan’ dengan keluarga atau kelompok.

Menimbang Persoalan Di Balik Pesta Sambut Baru

Ekonomi

Pesta sambut baru memiliki dampak secara ekonomi terutama pemborosan dari segi finansial. Sebagai contoh, dalam dua tahun terakhir saja, pesta sambut baru yang diadakan di wilayah Keuskupan Maumere menelan dana dengan jumlah cukup fantastis yakni sekitar Rp 17,5 miliar. Dana ini sebagian besar dihitung berdasarkan konsumsi makan dan minum selama pesta sambut baru. Daging terutama babi lebih dominan  disembelih  dibandingkan dengan ayam, kambing dan anjing. Keluarga tertentu bahkan menyembelih sapi. Padahal pada musim tanam tahun 2009, gagal panen terjadi di semua wilayah Kabupaten Sikka. Selain itu, jumlah penduduk miskin tahun 2009, berjumlah 32.000 kepala keluarga.

Sosial

Secara sosial ada tiga hal yang dipakai untuk mengukur dampak sosial dari pesta sambut baru. Pertama, keterlibatan keluarga besar. Keluarga merupakan suatu lembaga sosial yang memiliki struktur dan tata aturan hidupnya tersendiri. Dalam konteks Nusa Tenggara, lembaga keluarga inti atau bati serentak merupakan salah satu bagian dari struktur sosial yang lebih besar, yang lazim disebut sebagai kaum keluarga atau kaum kerabat. Keluarga adalah lembaga sosial yang mempunyai struktur sosial. Komponen-komponen struktur sosial mencakup manusia-manusia. sementara, struktur merujuk kepada pengaturan pribadi-pribadi dalam relasi-relasi yang terumus dan teratur secara lembaga. Fungsi sosial dari setiap corak suatu sistem ialah relasinya dengan struktur dan kelanjutan serta stabilitasnya, bukan relasinya dengan kebutuhan-kebutuhan biologis individu-individu.[3] Pesta sambut baru dimengerti dalam kerangka ini. Hal ini dilihat sebagai kelanjutan dari fungsi sosial sebagai bagian dari sistem kekerabatan keluarga besar. Keluarga menjalin relasinya dengan struktur sosial dan mempertahankan kelanjutan serta stabilitas relasi itu. Dengan demikian, partisipasi keluarga besar dalam sebuah pesta sambut baru merupakan suatu yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Kedua,  praktik “investasi” dan “balas budi” dalam pesta. Keterlibatan seseorang dalam mengikuti pesta sambut baru dapat dilihat sebagai upaya “investasi”. Upaya investasi ini semacam tabungan jangka panjang dalam hubungan dengan kesalingan memberi. Ada semacam perhitungan dari masing-masing pribadi atau keluarga tertentu untuk pesta yang akan diadakan pada masa yang akan datang. Dengan kata lain, kehadiran seseorang dalam acara sambut baru dapat dilihat sebagai investasi serentak tindakan balas budi.

Ketiga, soal simbol status sosial. Pesta sambut baru juga dipandang sebagai simbol status sosial di dalam masyarakat. Semakin besar pesta yang dibuat, semakin tinggi pula prestise keluarga tersebut. Hal ini tampak dalam konsumi keluarga saat acara sambut baru yang sangat berlebihan.  Prestise sosial itu juga nampak dalam pemberian-pemberian adat berupa kuda, gading dan uang.


Pastoral

Pesta sambut baru tentunya memiliki persoalan pastoral. Dalam arti ada tegangan antara seruan Gereja untuk hidup hemat dan tidak mempestakan sakramen dengan kecendrungan umat mengungkapkan syukur dalam pesta. Ada berbagai kebijakan yang ditempuh untuk mengurangi budaya pesta sambut baru. kami mengangkat satu contoh: di Paroki  Thomas Morus - Maumere, Romo Yakobus Soba, Pr selaku Pastor Paroki pernah memberikan komuni pertama pada malam hari guna menghindari adanya pesta. Langkah ini ternyata tidak efektif karena keluarga menunda  acara pesta sambut baru anaknya pada hari yang lain. Persoalan ini hanya satu dari sekian banyak persoalan pastoral yang berhubungan dengan pesta sambut baru. Ini tetap menjadi agenda pastoral bagi Keusukupan Maumere yang berusaha menerapkan pola hidup umat bagi umatnya.

 PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, kami menyimpulkan bahwa pesta sambut baru lebih mengungkapkan budaya pesta daripada mengungkapkan dimensi praksis keagamaan. Ada beberapa faktor yang mengindikasikan adanya budaya pesta ini. Pertama, umumnya responden mengatakan bahwa mereka membuat pesta sambut baru atau komuni pertama mereka dipestakan. Contoh yang paling mencolok adalah dari 20 responden (orang tua), semuanya pernah mengadakan pesta sambut baru; bukan hanya satu kali, bahkan ada yang lebih dari tiga kali. Walaupun 65% responden bekerja sebagai petani, pesta sambut baru tetap dilaksanakan. Kedua, adanya keterlibatan keluarga besar dalam pesta sambut baru. Semua responden orang tua mengakui keterlibatan aktif keluarga besar dalam penyelenggaraan pesta. Akan tetapi, kehadiran dan keterlibatan keluarga besar hanya terbatas dalam penyelenggaraan pesta saja. Ketiga, ‘keharmonisan’ dengan keluarga besar sangat kental, sehingga secara psikologis orang akan menjadi ‘malu’ jika tidak mengikuti pesta daripada tidak mengikuti misa sambut baru. Ada semacam praktik ‘balas budi’ dalam menghadiri pesta sambut baru.

 Rekomendasi

Pertama, untuk aspek budaya. Permasalahan mengenai budaya pesta di tengah kehidupan umat beriman berkaitan  erat dengan konteks budaya yang dipunyai oleh masyarakat setempat. Kebudayaan  menjadi  latar yang mempengaruhi  pergerakan kehidupan masyarakat di mana para penghuninya  berdiam. Dalam hubungan dengan fenomena pesta yang dihidupi oleh masyarakat di wilayah Keuskupan Maumere, aspek kebudayaan dengan sendirinya turut berpengaruh bagi adanya kebiasaan pesta tersebut. Pada satu sisi kita tidak  serta merta mempersalahkan budaya karena unsur kebudayaan sesungguhnya mempunyai gradasi nilai yang baik bagi  keadapan  kehidupan masyarakat tertentu. Meskipun  demikian masyarakat  senatiasa menyaring dan mengkritisi nilai-nilai kebudayaan tertentu, mana yang bermutu bagi kehidupan dan yang merugikan kehidupan masyarakat.

Dalam realitas kehidupan masyarakat di wilayah Maumere pesta telah menjadi  semacam budaya yang sedang merambat dalam penghayatan hidup iman umat Masumere. Pesta telah menjadi sebuah kebiasaan atau lebih konkretnya semacam budaya yang tak  pernah pisah dari kehidupam umat beriman di wilayah ini. Melihat realitas  seperti ini lahir perasaan prihatin yang  mendalam dan semacam perjuangan untuk merekonstruksi kembali makna dan nilai budaya yang dimiliki  oleh masyarakat setempat. Rekonstruksi nilai  dan makna budaya masyarakt merupakan sebuah  keharusan agar masyarakat semakin memahami hakikat dasar dari  kebudayan yang dihidupinya. Dalam hubungan dengan kebiasaan  pesta komuni  pertama  kita dapat menawarkan semacam catatan kritis untuk mengevalusi nilai budaya dalam  kehidupan  bersama di tengah masyarkat. Budaya kebersamaan dalam sebuah kelompok suku  dan keluarga besar merupakan hal wajar yang terjadi dalam kehidupan bersama.  Di sana ada nilai persaudaraan  dan kebersamaan  yang sejati yang dihidupi bersama dalam kelompok. Meskipun demikian keluhuran dan sejatinya budaya persaudaraan dan kebersamaan harus mempunyai wadah dan ruang mengungkapan  yang tepat dan benar. Dalam hubungan dengan  pesta komuni  pertama nilai kebersamaan dan persaudaraan  yang dibangun  hendaknya  diaplikasikan  dalam kebersamaan menghayati nilai sakramental komuni  pertama, dan bukannya hanya meluluh ada bersama dalam  ruang pesta  komuni pertama.

Kedua, untuk aspek sosial ekonomi. Ketika berbicara  dalam  ranah sosial ekonomi alur pemikiran kita terarah pada hal-hal sekitar masalah, uang, kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan hidup. Realitas pesta yang terjadi di dalam ruang kehidupam masyarakat seputaran wilayah Sikka telah melahirkan pembicaraan dalam bidang sosial ekonomi kemasyarakatan. Hal ini penting mengingat kebiasaan pesta telah memepengaruhi ruang  sosial ekonomi masyarakat. Pesta berkaitan dengan aliran pergerakan uang, serentak mempengaruhi ruang ruang kehidupan sosial masyarakat. Dalam hubungan dengan kebiasaan pesta komuni pertama asda beberapa catatan kritis yang menjadi bahan pertimbangan dan evaluasi bagi semua pihak yang mengambil bagian dalam rasa prihatin tentang kebiasaan pesta.

Pesta komuni pertama telah meninggalkan kisah yang cukup memprihatinkan dalam aspek ekonomi maupun kehidupan sosial. Melihat problematika ini maka perlu dibuat evaluasi seperlunya untuk memperbaiki keprihatinan sosial ekonomi dalam kehidupan masyarakat. Pada aspek ekonomi beberapa hal yang perlu dicermati secara cermat adalah perihak aliran dana yang terserap bagi kelangsungan sebuah hajatan komuni pertama. Data membuktikan bahwa pesta komuni pertama telah menelan dana konsunsi yang banyak dan terkesan boros. Di sini dapatlah diketahiu bahwa pesta komuni pertama telah melahirkan keprihatinan baru perihal kebiasaan boros dalam kehidupan masyarakat. Langkah-langkah penanggulanan  yang dapat direncanakan dan dilaksanakan adalah berjuang melakukan penyederhanan anggaran dana  pesta komuni pertama.

Ketiga, untuk bidang pastoral. Hajatan komuni pertama merupakan kelanjutan dari perayaan syukur keluarga di gereja. Keluarga melanjutkan perayaan syukur sakramental ini dengan menyiapkan perayaan bersama dengan anggota keluarga di rumah. Pesta syukur keluarga ini bukan sebuah hal yang kurang baik melainkan juga mempunyai nilai-nilai tambahan yang cukup positif. Meskipun demikian pesta  komuni pertama sedari awal  harus dimengerti sebagai sebuah perayaan iman yang mesti disadari sebagai sebuah penghayatan iman umat dalam relasinya dengan Tuhan. Hal ini penting mengingat telah terjadi pergeseran  nilai komuni pertama dari  perayaan iman umat kepada sebuah  hajatan pesta keluarga. Realitas telah membicarakan dan membuktikan bahwa komini pertama dialami bukan sebagai perayaan iman tetapi meluluh sebuah hajatan pesta yang harus dibuat untuk melengkapi kebersamaan dan perasaan syukur keluarga.

Permasalahan seputar pesta komuni pertama telah menyenyuh juga ranah  pastoral gereja. Berhadapan  dengan permasalahan ini para agen pastoral parokial hendaknya berjuang mengatsi persoalan ini. Salah satu  hal yang belum mendapat perhatian yang besar adalah  seputar pengenalan sakramen komuni pertama secara mendalam  bagi umat di  paroki  dan juga bagi para peserta baru  komuni  pertama.  Di sini  dibutuhakan sosialisasi sakramen komuni  pertama  secara lebih  lengkap dan  mendetail sehingga umat sedikitnya  dicerahkan pemikirannya  perihal makna dan hakekat sakramen komuni pertama. Hal  penting yang juga perlu dilaksanakan dalam kehidupan berpastoral adalah  merancang  strategi pastoral yang lebh memvokuskan perhatian pada  penanaman nilai-nilai iman dalam diri umat beriman secara khusus anak-anak. Strategi pastoral harus dirancang sedemikian  mungkin agar umat beriman  semakin memahami  dan menghayati  nilai-nailai iman sakramen komuni pertama  ketimbang hanya memikirkan perihal  pesta yang mengorbankan  banyak hal  yang terkadang tidak menguntungkan.

Rujukan:

Pieris, Aloysius. Berteologi Dalam Konteks Asia. Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Tule, Philiupus. Ilmu Perbandingan Agama, (ms). Maumere: STFK Ledalero.

Stark, Rodney dan Charles Y. Glock. American Piety: The Nature of Religious Commitment. California: University of California Press, 1974..

Dhavamony, Mariasusai. Phenomenology of Religion.. Sudiarja et. al. (Penerj.), Fenomenologi Agama (online). Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Gray,Tim. Sacraments in Scriptura. J. Waskito (Penerj.). Malang: Dioma, 2007.

Kirchberger, Georg. Allah Menggugat Sebuah Dogmatik Kristiani. Maumere: Ledalero, 2007.

Pdt. Haposan Sianturi buletin-narhasem.blogspot.com/.../artikel-all-about-sidi-5w1h-dan-p,diakes pada 10 Januari 2012

M. syarifuddin. blogspot.com/2009/06/manfaat-khitan.html., diakses pada 10 Januari 2012

Muhammad Niam, www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com...task, diakses pada 10 Januari 2012

Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (ed.). Teori-Teori Kebudayaan (online). Yogyakarta: Kanisius, 2005.

Urbanus Xaverius Landa Avélandobolo, “Merayakan Pesta dan Habitus Baru” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Komuni_Pertama, diakses pada 18 Januari 2012.

 http://www.komisikepolisianindonesia.com/secondPg.php?cat=umum&id=2026, diakses pada 18 Januari 2012.

http://www.komisikepolisianindonesia.com/secondPg.php?cat=umum&id=2026.

http://www.komisikepolisianindonesia.com/secondPg.php?cat=umum&id=2026, diakses tanggal  ...Januari 2012.

Renwarin,P. R. “Sekilas tentang Perkawinan Adat: Suatu Tinjauan Sosio-antropologis”, dalam SAWI No. 8, Thn. 1993, pp. 85-86.

Surat Gembala keuskupan Maumere masa Adven tahun 2011.


Catatan: Makalah ini merupakan bagian dari tugas Mata Kuliah Ilmu Perbandingan Agama di STFK Ledalero, Tahun 2010/2011