Oleh: Timotius Jelahu
Masa puasa Agama Katolik merupakan kesempatan dimana umat beriman diajak untuk bertobat dari kesalahan, berjuang melawan bujukan dan godaan setan dan membahuri persahataban dengan Allah, sesama manusia dan alam lingkungan. Salah satu pemaknaannya adalah pendalaman iman sesuai dengan tema-tema yang ditentukan. Misalnya, pokok-pokok refleksi APP di Keuskupan Palangkaraya 2019-2022 dalam kesatuan dengan kerangka dasar APP Nasional (2020-2022), yaitu “Gerakan Melindungi dan Mengelola Sumber Hak Ekonomi Masyarakat yang Bermartabat, Berbela Rasa, dan Berkelanjutan.”
Pengantar
Setiap tahun Gereja Katolik menyediakan masa puasa selama 40 hari sebagai kesempatan istimewa untuk melihat dan menilai kembali cara hidup sebagai Pengikut Kristus. Keuskupan Palangkaraya menyiapkan subtema-subtema tertentu untuk pedalaman iman di tingkat lingkungan. Materi pendalaman digodok dan dipersiapkan oleh Komisi Kateketik. Dalam hal ini, penulis terlibat aktif dalam penyusunan bahan pendalaman iman APP di Keuskupan Palangkaraya untuk kurun waktu 2019-2021. Berikut ini adalah uraian beberapa subtema yang diangkat dalam kegiatan APP Keuskkupan Palangka Raya Periode 2019-2021.
Teknologi demi Kebaikan Bersama
Salah satu subtemba APP pada tahun 2019 adalah Gerakan Sadar Teknologi Demi Kebaikab Bersama. Tema ini mengajak umat beriman untuk untuk bersama-sama menyadari pentingnya bertindak benar dalam menggunakan teknologi demi penghormatan terhadap mahluk ciptaan lainnya. Kesadaran itu mesti sampai pada tindakan konkret untuk merawat alam ciptaan yang sedang menderita akibat penggunaan teknologi yang mengabaikan keutuhan ciptaan. Paus Fransiskus menegaskan bahwa bahwa tanggung jawab untuk mengatasi komplesitas krisis ekologi merupakan tanggung jawab semua bangsa dan terlebih umat kristiani. Menjalankan tugas kita dalam dunia ciptaan dan tanggung jawab kita terhadap alam merupakan bagian integral dari iman kita kepada sang Pencipta.
Pembangunan menyediakan berbagai pilihan bagi masyarakat untuk memperoleh tingkat kesejahteraannya melalui pengelolaan sumber daya alam atau membentuk sumber daya buatan dengan sentuhan teknologi. Sementara itu, teknogi terus berubah dan berkembang, bisa menjadi semakin baik bisa juga menjadi semakin buruk. Bisa jadi suatu saat teknologi tidak dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan manusia.
Paus Fransiskus memuji dan bersyukur atas kemajuan teknologi untuk perkembangan umat manusia. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang diarahkan dengan baik dapat menjadi sarana yang sungguh berharga untuk meningkatkan hidup manusia. Tetapi Paus juga mengkhawatirkan kemampuan manusia dalam menggunakan teknologi yang telah diraih manusia “zaman now” karena memberi “kekuasaan yang luar biasa” kepada manusia dalam menggunakan tekhnologi tersebut.
Bapak Uskup Keuskupan Palangka Raya, Mgr. Aloysius M. Sutrisnaatmaka, MSF dalam surat Gembala APP 2019 juga mengajak umat Katolik untuk melihat dan menyadari bahwa Kalimantan telah dirasuki oleh teknologi baru dengan semua dampaknya. Misalnya,hampir semua produk dikemas dalam bahan-bahan plastik yang meninggalkan limbah mencemari lingkungan hidup.
Menghadapi ancaman krisis global, kita perlu memelihara proses ekologis yang esensial sebagai bagian dari upaya keseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungan. Diperlukan komitmen untuk memelihara dan melestarikan potensi kekayaan sumber daya alam dan lingkungan. Untuk itu diperlukan kecerdasan ekologis (ecological intelligence), sebagai empati yang mendalam dan kepedulian terhadap lingkungan sekitar, serta berpikir kritis terhadap apa yang terjadi di lingkungan sekitar.
Manusia yang cerdas ekologis menempatkan dirinya sebagai penjaga keutuhan ciptaan. Kecerdasan ekologis menempa manusia menjadi rekan kerja Pencipta yang mampu menata emosi, pikiran, dan tindakan dalam menyikapi alam dan lingkungannya. Hal ini mendorong setiap pribadi untuk berbuat sesuatu dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dengan kata lain, manusia cerdas ekologis selalu berupaya untuk meraih kualitas hidup dan kehidupan dengan berpikir, bertindak dan berperilaku dengan pertimbangan ekologis.
Dalam Kitab Kejadian 11:1-9, dilukiskan tentang penyalahgunaan teknologi oleh manusia, yakni “membangun menara babel.” Akibat dari kesombongan dan mencari nama, maka Tuhan Allah mengacaubalaukan bahasa mereka dan menserakkan mereka ke seluruh bumi (Kej. 11:7). Dengan berpijak pada pewartaan St. Paulus, kita mesti menyadari bahwa teknologi yang kita gunakan saat ini harus dipandang sebagai kasih karunia Tuhan yang diberikan kepada manusia (Korintus, 15:1-11).
Berhadapan dengan kenyataan lingkungan yang rusak, St. Paulus mengingatkan kita untuk bertobat agar dapat bersatu dengan Logos Ilahi, Yesus Kristus. Bagi Paulus, tanggung jawab khusus orang-orang Kristen di hadapan dunia adalah melihat kebaikan dan kehendak Allah. Orang Kristen bertugas untuk bertindak sesuai dengan kehendak Tuhan, memandang dunia seperti yang dikehendaki Allah. Dalam hal ini, orang Kristen dituntut mengubah bentuk dunia dari dalam, menghidupi semua keadaan dunia menurut Roh Yesus. Oleh karena itu, umat Allah harus melakukan tindakan pembaharuan hati dan dengan tingkah laku yang sesuai dengan kehendak Allah.
Segenap ciptaan terlibat dalam persekutuan cinta, yakni persekutuan yang mau mendengar dan memandang ciptaan lain dengan penuh cinta. Saat manusia merasakan jeritan alam yang rusak, serentak manusia mendengarkan jeritan kehidupan manusia lain yang sedang menderita. Jeritan tersebut menandai rusaknya keindahan kesatuan antara keindahan alam, manusia dan Yang Ilahi.
Kesediaan melihat alam yang terluka juga serentak mengarahkan pandangan kita kepada wajah Kristus yang tersalib. Sebagaimana Pengorbanan Kristus di Salib sebagai puncak ketaatan Yesus Kristus kepada Allah Bapa karena dunia yang berdosa ini, maka jika manusia memanfaatkan alam sampai alam mengorbankan dirinya demi manusia, maka manusia pun harus memberikan pengorbanan dirinya kepada alam. Contohnya, jika manusia menghendaki pemanfaatan ekosistem hutan, manusia pun harus mengorbankan niat, tenaga, dan materi untuk memperbaiki hutan yang telah dimanfaatkan.
Aksi nyata yang dapat dihidupi, baik secara individu maupun komunitas dalam menerapkan gaya hidup ekologis, antara lain pertama, perlu mempertimbangkan setiap produk dan jasa yang dihasilkan dengan memastikan bahwa produk dan jasa tersebut tidak mengancam diri sendiri dan keutuhan ciptaan. Kedua, mengutamakan pembangunan industri yang ramah lingkungan (para pengusaha) dan dalam hal konsumsi kita memastikan bahwa produk tersebut ramah lingkungan. Ketiga, mendaur ulang dan mengolah sampah secara tepat agar tidak mencemari lingkungan sekitar bahkan sebisa mungkin dapat memberikan nilai tambah tertentu. Keempat, menjaga hutan, lahan, sungai, mata air, laut dari ancaman kerusakan. Kelima, mendorong komunitas adat, LSM, Pemerintah setempat dan masyarakat untuk melestarikan alam dengan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.
Mengupayakan Ekonomi yang Berkeadilan
Sepanjang masa puasa tahun ini, umat Keuskupan Palangka Raya diajak untuk bersama-sama merenungkan Sabda Tuhan dan mendalami tema APP “Membangun Kehidupan Ekonomi yang Bermartabat”. Komisi Kateketik Keuskupan Palangka Raya mengajak umat beriman untuk medalami beberapa subtema, yaitu (1) Ekonomi yang Bermartabat: Ekonomi yang Berkeadilan, (2) Tanah sebagai Sumber Ekonomi yang Bermartabat, (3) Manusia sebagai Pelaku Ekonomi yang Bermartabat, (4) Mandiri Mewujudkan Ekonomi yang Bermartabat dan (5) Gerakan Pertobatan dan Aksi Solidaritas.
Istilah 'ekonomi', yang berasal dari bahasa Yunani oikos dan nomos, pada hakikatnya berarti 'tata pengelolaan rumah tangga'. Sebagai tata-kelola, istilah 'ekonomi' menunjuk pada proses atau usaha pengadaan barang dan jasa untuk kebutuhan hidup. Karena sumber daya selalu terbatas, padahal kebutuhan hidup sangat banyak, kemudian istilah 'ekonomi' juga meliputi juga seni memilih secara bijak antara banyaknya kebutuhan di satu pihak dan terbatasnya sumberdaya atau sarana di pihak lain. Setidaknya, kegiatan ekonomi dapat diartikan sebagai upaya yang dilakukan manusia untuk mencapai kesejahteraan atau kemakmuran dalam hidup.
Berbagai bentuk kegiatan ekonomi yang dijalani setiap orang merupakan tugas dan tanggung jawab manusia untuk melanjutkan karya Allah dalam penciptaan. Karena itu, prioritas utama dalam kegiatan ekonomi adalah hidup manusia. Setiap orang berhak atas akses-akses sumber ekonomi dan hak itu harus dijamin dan dipertahankan di atas prinsip keadilan. Manusia sebagai pusat dan tujuan kemajuan ekonomi tidak bisa dan tidak boleh diganti oleh profit, penguasaan, peningkatan modal, apalagi manusia dikorbankan demi profit, akumulasi atau penguasaan sumber ekonomi.
Pola kegiatan ekonomi yang mengakibatkan ketidakadilan dalam masyarakat dan ketidakseimbangan dalam tata alam menunjukkan bahwa hal itu sungguh telah jauh dari tujuan penciptaan. Bagi orang beriman, situasi tersebut terjadi karena doas. Manusia melihat sesamanya sebagai ancaman yang harus ditaklukkan. Manusia dalam sika egoisnya hanya memusatkan pada dirinya sehingga tega menghancurkan alam dan memangsa orang lain, secara khusus orang-orang miskin, kaum perempuan dan anak-anak. Orang kaya memiliki banyak jaminan untuk membentengi hidupnya, tetapi orang miskin hidup tanpa perlindungan apapun.
Kegaitan ekonomi kiranya dapat mendorong dan memberdayakan setiap orang, terutama yang miskin dan lemah, untuk berpartisipasi dalam kehidupan bersama. Martabat luhur manusia yang diciptakan sesuai Citra Allah tidak boleh direndahkan oleh keserakahan untuk menumpuk keuntungan diri sebanyak mungkin. Kiranya aktivitas ekonomi setiap orang diarahkan dan tertuju pada satu tujuan yaitu memelihara dan merawat dan mempertahankan hidup manusia.
Kehidupan manusia adalah sesuatu yang diterima sebagai anugerah. Allah pemberi kehidupan juga menopang kehidupan manusia dan makhluk lain yang mengitari kehidupannya. Allah menganugerahi hidup kepada manusia sekaligus melengkapi hidup manusia dengan ciptaan lain yang dapat menopang hidupnya. Karena itu, setiap orang berhak atas akses-akses sumber ekonomi dan hak itu harus dijamin dan dipertahankan di atas prinsip keadilan.
Setiap upaya atau usaha ekonomi harus bermuara pada kesejahteraan semua manusia. Pencapaian kesejahteraan umum sebagai tujuan pokok usaha ekonomi menjadikan usaha membangun ekonomi itu bermartabat dalam dua arti: Pertama, usaha tersebut tertuju kepada kepentingan manjusia. Upaya ekonomi menjadi bermartabat ketika diabadikan demi kepentingan manusiawi. Usaha ekonomi ada demi manusia agar manusia dapat hidup secara manusiawi. Kedua, usaha itu bermartabat jika manusia itu sendiri menjadi pelalkunya. Hal itu merupakan manifestasi kebebasan dan otonomi manusia. Manusia seyogianya secara mandiri dan bebas mengupayakan kesejahteraan hidupnya sendiri atau hidup bersama.
Kitab Suci mengingatkan bahwa kondisi awal yang dikehendaki Pencipta adalah menghormati keluhuran martabat manusia dalam semangat kekeluargaan, seraya terus menjaga keseimbangan hidup seluruh ciptaan. Kita diberi tanggung jawab serta kesanggupan untuk memperlakukan manusia sesuai martabatnya, dan merawat serta menjaga seluruh alam dalam keseimbangan.
Yesus tidak menolak kekayaan dan usaha memperbanyak kekayaan. Dia memuji hamba yang menggandakan talentanya dan mengecam hamba yang malas. Allah turut dimuliakan, apabila dapat mengembangkan kekayaan alam dan bakat masing-masing pribadi demi kesejahteraan bersama. Namun, Dia mengingatkan adanya bahaya kerakusan akan harta dan uang yang menghancurkan relasi antarsaudara. Hidup manusia tidak semata-mata diukur berdasarkan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Manusia adalah ciptaan dengan banyak kebutuhan lain yang lebih luas daripada kebutuhan ekonomi. Manusia dipanggil untuk "menjadi kaya di hadapan Allah."
Kadang, manusia melihat sesamanya sebagai ancaman yang harus ditaklukkan. Manusia tidak boleh dikorbankan dalam pengejaran kepentingan ekonomi. Martabat luhur manusia yang diciptakan sesuai citra Allah direndahkan oleh keserakahan untuk menumpuk keuntungan diri sebanyak mungkin. Sejatinya, kegiatan ekonomi dapat mendorong dan memberdayakan setiap orang, terutama yang miskin dan lemah, untuk berpartisipasi dalam kehidupan bersama.
Semua pihak kiranya dapat bergandengan mendukung dan meneguhkan kehendak baik masing-masing piak dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tentu, para Pemimpin Gereja yang Kudus selalu siap sedia dan dengan dengan setia mewartakan Sabda untuk menjadi bekal dalam setiap usaha memenuhi kebutuhan hidup umat beriman. Sementara itu, para pengambil kebijakan kiranya dapat menjalankan tugas dan tanggungjawabnya yang berpijak pada kehendak baik untuk mengupayakan penghormatan atas hak asisi setiap manusia dengan mencipatkan kesejahteraan bagi semua orang.
Aksi Solidaritas Gereja Katolik
Kitab Suci melukiskan bahwa dosa manusia terjadi karena manusia mengikuti godaan setan untuk bertindak melanggar perintah Allah atau ingin menyamai Allah. Manusia menentang larangan Allah, membiarkan dirinya sendiri digodai ular dan mengulurkan tangannya memetik buah kehidupan, dan jatuh menjadi mangsa kematian. Dengan tindakan ini, manusia berusaha melewati batas-batasnya sebagai makhluk ciptaan seraya menantang Allah, satu-satunya Tuhan dan sumber kehidupannya. Maka, dosa pada hakikatnya adalah manusia tidak mampu melawan godaan iblis dan serentak melanggar perintah Allah.
Dosa mengakibatkan dua luka ganda, yaitu luka bagi si pendosa sendiri dan luka bagi sesama ciptaan yang lain. Bahwa dosa selalu merupakan sebuah tindakan pribadi, -karena dosa adalah tindakan bebas dari seorang pribadi individual-, namun corak sosial setiap dosa juga tak diragukan. Setiap dosa individual, dalam cara tertentu, mempengaruhi makhluk ciptaan yang lain (Kompendium Ajaran Sosial Gereja, No. 115-117).
Lebih dari itu, dosa-dosa tertentu (oleh objek dosa itu sendiri) merupakan sebuah serangan langsung terhadap sesama. Dosa-dosa seperti itu dikenal sebagai dosa-dosa sosial. Dosa sosial adalah setiap dosa yang dilakukan melawan keadilan yang selayaknya ada dalam relasi antarindividu dan individu dengan masyarakat. Yang juga termasuk dosa sosial adalah setiap dosa melawan hak-hak pribadi manusia mulai dengan hak untuk hidup, setiap dosa melawan keutuhan fisik individu, setiap dosa melawan kebebasan orang-orang lain, setiap dosa melawan martabat dan kemuliaan sesama dan juga setiap dosa melawan kesejahteraan umum dan tuntutan-tuntutannya (Kompendium Ajaran Sosial Gereja, No. 115-117).
Semangat dasar gerakan Aksi Puasa Pembangunan (APP) Nasional adalah pertobatan dan solidaritas. Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa pertobatan adalah suatu perubahan tingkah laku atau mentalitas atau cara berada (Bdk. Mrk 13: 3, 5; Yes 30: 15). Secara khsusus pertobatan menuntut pemulihan relasi manusia dengan Allah, sesama baik pribadi maupun bersama-sama. Sebab Allah-lah yang menguasai hati para penguasa dan hati semua orang, yang menurut janji-Nya sendiri dan dengan kekuatan rohani dapat merobah hati yang keras menjadi hati yang taat (Bdk. Yeh 36: 26).
Jalan pertobatanlah yang diharapkan dapat menjembatani kesenjangan yang ada agar semakin bertumbuhnya kesadaran untuk berbagi. Dalam Kitab Suci banyak diceritakan tentang buah dari pertobatan yang diwujudnyatakan dalam kehidupan bersama. Sebagai contoh adalah kisah tentang pertobatan Zakheus.
Zakheus berubah total setelah berjumpa dengan Yesus. Meskipun ia tetap sebagai pemungut cukai, ia tidak lagi korupsi, merampas dan menyalahgunakan jabatan dan kuasanya untuk memperkaya diri. Sebaliknya, ia berbagi harta miliknya dengan orang miskin. Ia mengembalikan hak harta benda orang lain yang telah dirampasnya (bdk. Luk 19: 1-10). Pertobatan selama empat puluh hari yang kita lakukan selama masa Prapaskah ini hendaknya tidak hanya bersifat batin perorangan melainkan hendaknya bersifat lahir dan sosial kemasyarakatan (Sacro sanctum Concilium 110). Pertobatan semakin menjadi nyata ketika berani terlibat dalam realitas kehidupan untuk mewujudkan kesejahteraan hidup bersama dalam semangat persaudaraan dan solidaritas.
Zakheus si pemungut cukai dapat menjadi contoh dan inspirasi bagi kita. Ketika bertobat, ia makin solider. Nama Zakheus berasal dari bahasa Yunani: Zakkhaios, Ibrani: Zakkay. Artinya, bersih, tidak bersalah, saleh. Ia adalah kepala pemungut cukai di Yerikho. Tidaklah diragukan bahwa ia menyalahgunakan kedudukannya untuk memperkaya diri sendiri.
Kendati reputasinya di mata orang Yahudi sebagai pemungut cukai (bekerja sama dengan penjajah Roma), maka dia ditolak oleh orang-orang Yahudi: “Ia menumpang di rumah orang berdosa.” Namun, Zakheus memiliki pribadi yang menarik. Zakheus spontan dan mudah bertindak memberi pernyataan-pernyataan yang luar biasa dan ada kejujuran yang mendalam di sini. Juga tidak menghalangi dia untuk mengakukan kesalahan dan dosanya secara terbuka.
Sesuai dengan namanya, Zakheus adalah orang yang bersih, tidak bersalah, orang benar. Bahwa Zakheus adalah pemungut cukai, namun ia mudah untuk bertobat. Ada keterbukaan hati Zakheus yang ditunjukkan dengan keinginan melihat Yesus, memanjat pohon dan menyambut Yesus di rumahnya. Meskipun ia seorang penting, kedudukannya tidak menghalangi dia untuk memanjat sebatang pohon dan menyambut Yesus dengan penuh suka cita.
Pengalaman perjumpaan dengan Yesus telah mendatangkan tranformasi yang luar biasa bagi Zakheus, yaitu bertobat dan semakin solider. Zakheus mengungkapkan pertobatannya dengan megembalikan apa dirampah empat kali lipat dan membagikan setengah dari miliknya kepada orang miskin. Ini adalah gerakan solidaritas yang melampui batas wajar: "Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat."
Setelah berjumpa dengan Yesus, Zakheus berubah total. Meskipun ia tetap pemungut cukai, ia tidak lagi korupsi, merampas dan menyalahgunakan jabatan dan kuasanya untuk memperkaya diri. Sebaliknya, ia berbagi harta miliknya dengan orang miskin. Ia mengembalikan hak harta benda oranng lain yang telah dirampasnya (bdk. Luk 19: 1-10).
Nilai yang dipetik dari perjumpaan dengan Tuhan Yesus adalah: kejujuran, solidaritas, berbagi dengan orang miskin (orang yang membutuhkan) setengah dari harta miliknya. Semangat dasar gerakan Aksi Puasa Pembangunan (APP) Nasional adalah pertobatan dan solidaritas. Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa pertobatan adalah suatu perubahan tingkah laku atau mentalitas atau cara berada (Bdk. Mrk 13: 3, 5; Yes 30: 15). Secara khusus pertobatan menuntut pemulihan relasi manusia dengan Allah, sesama baik pribadi maupun bersama-sama. Sebab Allah-lah yang menguasai hati para penguasa dan hati semua orang, yang menurut janji-Nya sendiri dan dengan kekuatan rohani dapat mengubah hati yang keras menjadi hati yang taat (Bdk. Yeh 36: 26). Jalan pertobatanlah yang diharapkan dapat menjembatani kesenjangan yang ada dan semakin tumbuhnya kesadaran untuk berbagi.
Penutup
Masa puasa, selain seabagi kesempatan untuk menyadari dan memperbaiki sikap yang tidak berkenan kepada Tuhan, kiranya masa puasa juga menjadi kesempatan istimewa bagi Umat beriman untuk menimba sabda mendengar dan merenungkan Sabda sebagai bekal yang menguatkan dan meneguhkan dalam setiap perjuangan memenuhi kebutuhan sesuai rencana dan kehendak Sang Pencipta. Pertobatan selama masa Prapaskah hendaknya tidak hanya bersifat batiniah perorangan melainkan hendaknya bersifat lahir dan sosial kemasyarakatan juga (SC 110). Pertobatan semakin menjadi nyata ketika kita berani terlibat dalam realitas kehidupan untuk mewujudkan kesejahteraan bersama dalam semangat persaudaraan dan solidaritas.