Tampilkan postingan dengan label gereja katolik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label gereja katolik. Tampilkan semua postingan

Katekese Umat

 Oleh: Timotius J

Melalui Katekese Umat, diharapkan para pesera diarahkan pada penemuan akan kebenaran Ilahi yang terdapat dalam Kitab Suci dan membangkitkan tanggapan yang begitu melimpah dalam kesaksian hidup terhadap pesan yang ditujukan Allah kepada manusia melalui Sabda-Nya.

Dalam rangka memaknai perayaan 50 tahun Hierarki Gereja Katolik Indonesia, pada sidang tahunan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tahun 2011 diadakan hari studi tentang katekese.  Salah satu soal yang diangkat adalah soal isi dari katekese. Berhadapan dengan persoalan tersebut, para uskup merekomendasikan langkah pastoral di mana Katekese Umat perlu diperkaya dengan Injil, tradisi dan ajaran Gereja.[1]

Katekese Umat dicetuskan oleh para pakar katekese se-Indonesia pada tahun 1977. Ada tiga aspek pemahaman tentang Katekese Umat.[2] Pertama, Katekese Umat sebagai musyawarah iman. Dalam rumusan Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia (PKKI) II, No. 1, Katekese Umat diartikan sebagai komunikasi iman atau tukar pengalaman iman (penghayatan iman) antara anggota jemaah/kelompok.…”[3] Tentang katekese sebagai musyawarah iman, Josef Lalu melihat Katekese Umat sebagai kristianisasi atau inkulturasi terhadap musyawarah. Dengan mengikuti kearifan masyarakat dalam bermusyawarah, Katekese Umat mengarahkan umat untuk menjadikan kebijaksanaan Injili sebagai pegangan hidup, tidak hanya sebatas pada keutamaan-keutamaan yang diwariskan leluhur.[4]

Kedua, Katekese Umat sebagai analisis sosial dalam terang Injil. Pengertian kedua ini menekankan keberpihakan iman berhadapan dengan pelbagai persoalan sosial kemasyarakatan. Dalam hal ini, Katekese Umat bertujuan untuk membina iman yang sungguh terlibat dalam kenyataan sosial. Proses yang dijalankan dalam Katekese Umat dimulai dengan melihat fenomena ketidakadilan sosial yang diikuti dengan merumpunkan fenomena ketidakadilan dan mencari akar dari ketidakadilan sosial dan juga akibat-akibatnya. Tahapan selanjutnya adalah merefleksikan persoalan ketidakadilan dalam terang iman dengan berpijak pada Kitab Suci dan ajaran Gereja. Dari refleksi tersebut, proses selanjutnya adalah merencanakan aksi dan proses katekese berakhir pada aksi tertentu.[5]

Ketiga, Katekese Umat sebagai komunikasi iman. Dengan melihat katekese sebagai komunikasi iman, maka Katekese Umat menghidupi Konsili Vatikan II yang menekankan dialog dan menghidupi keutamaan eklesiologis Konsili Vatikan II yang menggarisbawahi Gereja Umat Allah. Dalam pelaksanaan Katekese Umat ada dialog pengalaman iman dalam melihat, mendalami dan menafsirkan hidup dalam terang Injil yang diarahkan pada metanoia yang memungkinkan tranformasi dalam hidup beriman.[6]

PKKI II telah merumuskan beberapa tujuan Kateksese Umat. Pertama, supaya dalam terang Injil kita semakin meresapi arti pengalaman-pengalaman kita sehari-hari. Kedua, agar kita dapat bertobat (metanoia) kepada Allah dan semakin menyadari kehadirannya dalam kenyataan hidup sehari-hari. Ketiga, semakin sempurna beriman, berharap, mengamalkan cinta kasih dan semakin dikukuhkan dalam hidup Kristiani. Keempat, semakin bersatu dalam Kristus, semakin menjemaat, semakin tegas mewujudkan tugas Gereja setempat dan mengokohkan Gereja semesta/universal. Kelima, kita sanggup memberi kesaksian tentang Kristus dalam hidup kita di tengah masyarakat.[7]

Proses Katekese Umat terdiri dari tiga langkah, yaitu (1) mengamati dan menyadari pengalaman umat, (2) merefleksikan pengalaman umat dalam terang Sabda Allah dan (3) memikirkan dan merencanakan aksi. Melalui Katekese Umat, para peserta diharapkan supaya dalam terang Injil semakin meresapi arti pengalaman sehari-hari. Katekese Umat memungkinkan umat untuk melihat pengalaman hidup harian dalam terang Injil dan karena itu pengalaman religius bukanlah hal yang terpisah dari kehidupan konkret umat. Dengan kata lain, Katekese Umat menghantar umat untuk menghayati pengalaman hidup harian sebagai pengalam iman.[8]

Dalam Pesan Pastoral Sidang KWI 2011 tentang Katekese, para uskup kembali menegaskan panggilan Gereja untuk mewartakan Kabar Gembira kepada dunia. Tentang panggilan Gereja ini, katekese merupakan bagian integral dari pelaksanaan tugas pewartaan Gereja. Dalam konteks Indonesia, para uskup mengapresiasi karya katekese dengan adanya arah yang jelas sebagaimana dirumuskan dan dikembangkan dalam Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se Indonesia (PKKI) I-IX, yaitu Katekese Umat.[9]

Sembari menghargai upaya yang berkelanjutan dalam mengembangkan Katekse Umat, namun pada pihak lain diakui bahwa tidak sedikit pula para petugas katekese yang tidak mempunyai kemampuan yang memadai dalam menjalankan katekese karena kurangnya pembinaan yang berkelanjutan.[10] Persoalan lain adalah isi katekese seringkali dirasakan kurang memadai.

Di satu pihak, katekese yang memberi tekanan pada tanggapan iman atas hidup sehari-hari seringkali kurang memberi tempat pada aspek doktrinal, sehingga umat seringkali canggung dan takut ketika berhadapan dengan orang-orang yang mempertanyakan iman mereka. Di lain pihak, ketika katekese lebih memberi perhatian pada unsur-unsur doktriner, katekese dirasakan menjadi terlalu sulit bagi umat dan kurang bersentuhan dengan kenyataan hidup sehari-hari. Katekese yang kurang menyentuh hati dan memenuhi harapan ini rupanya merupakan salah satu alasan yang mendorong sejumlah orang Katolik, khususnya anak-anak dan orang muda yang pindah dan lebih tertarik cara doa dan pembinaan Gereja-Gereja lain yang dirasakan lebih menarik. Kenyataan ini menantang kita untuk lebih bersungguh-sungguh menciptakan dan mengembangkan model katekese yang bermutu dan menanggapi harapan.[11]

Salah satu jawaban mengapa para waligereja menempatkan katekese pada momentum peranyaan emas itu adalah "Mewartakan Injil adalah rahmat dan panggilan khas Gereja, merupakan identitasnya yang terdalam" (Evangelii Nuntiandi, No.14). Lebih lanjut dalam rumusan pesan pastoral dari hasil sidang tersebut ditegaskan pada bagian pendahuluan bahwa Gereja mempunyai tugas utama untuk mewartakan, sesuai perintah Kristus: ".... pergilah, jadikanlah segala bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu" (Mat 28:19-20).[12]

Pelaksanaan Katekese Umat tetap mendasarkan diri pada Sabda Allah untuk menerangi pengalaman hidup sehari-hari dan merenungkan pengalaman hidup sehari hari dalam terang Kasih Allah/ Injil. Merujuk pada FABC, Injil itu "ragi yang menimbulkan perombakan di dunia ini" (FABC V, 8.1.4). Katekese merupakan bagian integral dari pelaksanaan tugas pewartaan Gereja.[13]

Disadari bahwa Sabda Allah mempunyai daya kekuatan untuk pewahyuan dan jawaban iman umat. Kitab Suci ditulis oleh orang-orang yang mempunyai keyakinan iman yang sama, yaitu bahwa Allah terlibat dalam sejarah manusia di mana manusia dipanggil untuk mengalami karya keselamatan Allah. Dengan kata lain, Kitab suci merupakan sebuah tawaran bagi manusia dari segala zaman dan tempat untuk mengenali bagaimana Allah menyapa manusia dalam situasi kehidupan masing-masing. Maka, kitab suci bukan sekedar kumpulan kitab yang berbicara tentang Allah, tetapi Kitab Suci mengajak orang bertemu dengan Allah. Di situ, Allah menyapa dan menawarkan kerahiman kepada manusia.

Konsili Vatikan II menegaskan bahwa Kitab Suci merupakan hukum dan kaidah tertinggi dari iman Gereja. Gereja menyakini sungguh bahwa Kitab Suci diilhamkan oleh Allah dan bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Kitab Suci memberikan dukungan dan kekuatan bagi kehidupan Gereja. Bagi Putra-Putri Gereja, Kitab Suci merupakan suatu peneguhan iman, makanan jiwa, dan sumber hidup spiritual.[14] Singkatnya, Gereja mengakui bahwa kitab suci adalah sabda Allah yang disampaikan kepada umat manusia sebagai “hukum dan kaidah tertinggi dari iman Gereja. Karena itu, Gereja tidak mungkin bertumbuh, berkembang dan diperbaharui tanpa Sabda Allah.

Katekese Umat menghantar seseorang pada pemahaman Kitab Suci yang tepat dan berhasil guna. Melalui Katekese Umat, diharapkan para pesera diarahkan pada penemuan akan kebenaran Ilahi yang terdapat dalam Kitab Suci dan membangkitkan tanggapan yang begitu melimpah dalam kesaksian hidup terhadap pesan yang ditujukan Allah kepada manusia melalui Sabda-Nya.[15] Pada dasarnya berkatekese adalah proses untuk mengantar umat untuk berjumpa dengan Tuhan dan mengalami pertobatan hidup yang terwujud dalam tindakan nyata kepada keluarga dan masyarakat,apapun sarana yang dipakai.

Dalam Seruan Apostolik Evangeliii Gaudium, Paus Fransiskus menegaskan demikian: “Tak hanya homili harus membekali diri dengan Sabda Allah. Seluruh evangelisasi didasarkan pada sabda itu, yang didengarkan, direnungkan, dihayati, dirayakan dan dijadikan kesaksian. Kitab Suci merupakan sumber utama evangelisasi. .... Sungguh penting bahwa Sabda Allah semakin menjadi pusat setiap kegiatan Gereja”[16] Mengutip Konstitusi Dogmatik tentang Wahyu Ilahi, dalam kaitan dengan katekese Paus selanjutnya menyatakan bahwa Sabda yang diwahyukan secara radikal memperkaya katekese dan seluruh daya upaya untuk meneruskan iman.[17]



[1] Komisi Kateketik KWI, Hari Studi Kateketik Para Uskup KWI 2011, Yogyakarta: Kanisius, 2013, hlm. 16. [2] Josef Lalu, “Katekese Umat” dalam Paulus Budi Kleden dan Robert Mirsel (Eds), Menerobos Batas Merobohkan Prasangka, Maumere: Ledalero, 2011, hlm. 405-413. [3] Komisi Kateketik KWI, Katekese dalam Masyarakat yang Tertekan, Yogyakarta: Kanisius, 2010, hlm. 208-209. [4] Josef Lalu, loc., cit. [5] Ibid. [6] Ibid. [7] Komisi Kateketik KWI, Katekese dalam Masyarakat..., op.cit., hlm. 208-209. [8] Josef Lalu, loc., cit. [9] Komisi Kateketik KWI, Hari Studi Kateketik... op.cit., hlm. 13. [10] Ibid., hlm. 14. [11] Ibid. [12] Ibid., hlm. 12. [13] Setiap tahun para Waligereja Mengadakan sidang tahunan dan Pesan Pastoral Sidang KWI 2011 tentang Katekese. Hari studi yang diselenggarakan pada 7-9 November 2011 itu dihadiri oleh para Uskup, perwakilan Koptari, perwakilan Unio Indonesia, koordinator komisi kateketik tiap-tiap regio, wakil lembaga pendidikan kateketik, wakil lembaga pendidikan calon imam, serta para nara sumber yang terdiri dari para katekis lapangan dan ahli teologi serta ahli katekese. Ibid., hlm. 16. [14] Dei Verbum, No. 21 dalam Dokumen Konsili Vatikan II, terj. R. Hardawiryana, Jakarta: Obor, 1993, hlm. 333.[15]The Pontifical Biblical Commision, The Interpretation of the Bible in the Church, penerj. V. Indra Sanjaya,  Yogyakarta: Kanisius, 2003,  hlm. 166. [16] Evangelii Gaudium, No. 174. [17] Ibid., No. 175.

Pemberdayaan Komunitas Basis Gerejawi

 Oleh: Timotius J

Usaha menumbuhkan komunitas-komunitas basis menjadi salah satu cara Gereja berperan dalam membangun masyarakat yang lebih adil, sejahtera, demokratis dan manusiawi.

Kutipan berikut tampaknya menjadi inspirasi untuk memahami pemberdayaan Komunitas Basis Gerejawi (KBG): “Seperti Kristus melaksanakan karya penebusan dalam kemiskinan dan penganiayaan, begitu pula Gereja dipanggil untuk menempuh jalan yang sama, supaya menyalurkan buah-buah keselamatan kepada manusia” (Lg 8). Merujuk pada kutipan ini, pengembangan KBG diarahkan untuk mendatangkan buah-buah keselamatan di tengah situasi kemiskinan dan penganiayaan yang merajalela.

Para peserta Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) pada tahun 2000 mengakui bahwa sebagai bagian integral dari bangsa, umat Katolik Indonesia sepenuhnya ikut menghadapi permasalahan dan tantangan-tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia, seperti reformasi, situasi penuh ketakutan dan penderitaan. Peserta sidang berkeyakinan bahwa KBG merupakan jawaban yang tepat untuk pertanyaaan: “Bagaimana kita umat Katolik sebagai warga masyarakat melibatkan diri dalam pergumulan bangsa ini mewujudkan Indonesia baru yang lebih adil, lebih manusiawi, lebih damai dan memiliki keputusan hukum?”

Merujuk musyawarah paripurna V Federation of Asian Bishops’ Conferences (FABC) di Bandung di mana para uskup se-Asia menyatakkan bahwa Gereja tidak dapat menunaikan misi pelayanannya tanpa bersifat setempat, peserta SAGKI pun berkeyakinan bahwa daya hidup umat Katolik terletak pada basisnya dan pembaharuan Gereja harus berasal dari basis. Dengan mengembangkan komuntas basis, kehidupan beriman dan menggereja kiranya lebih aktif dan lebih siap untuk ikut berperan di tengah masyarakat. Hal senada juga menjadi harapan para Waligereja Indonesia, yaitu kiranya usaha menumbuhkan komunitas-komunitas basis menjadi salah satu cara Gereja berperan dalam membangun masyarakat yang lebih adil, sejahtera, demokratis dan manusiawi.

SAGKI 2000 memahami komunitas basis sebagai cara hidup berdasarkan iman, jumlah anggotanya tidak terlalu banyak, komunikasi terbuka antar-anggota dalam semangat persaudaraan, membangun solidaritas dengan sesama, khususnya dengan saudara yang miskin dan tertindas. Inspirasi dasar pemahaman demikian adalah teladan hidup jemaat perdana sehingga komunitas basis merupakan Gereja mini yang hidup dinamis dalam pergumulan iman. Dengan cara seperti ini, diyakini bahwa kehadiran Gereja bisa lebih mengakar, lebih kontekstual dan mampu menjalankan perannya untuk menjadi terang dan menggarami dunia seturut irama zaman.

Gerakan membangun soliditas internal tentu tidak berarti mengerdilkan KBG menjadi komunitas eksklusif yang menutup terhadap kelompok-kelompok lain. Soliditas adalah daya yang kiranya memampukan KBG untuk membangun 'dialog kehidupan', 'dialog karya', dan 'dialog iman'. Tanpa ada keterbukaan dan dialog dengan kelompok lain, mimpi untuk mewujudkan Indonesia baru yang damai dan harmonis adalah sesuatu yang sulit diwujudnyatakan mengingat kenyataan dunia adalah tenunan yang  kaya warna dan beragam pola.

Peserta sidang menyadari bahwa membangun komunitas basis bukanlah hal mudah. Ada banyak tantangan yang mungkin dihadapi seperti faktor-faktor geografis, intervensi dari luar, budaya paternalistik dan individualistik, isu SARA, ketidakadilan jender, kekurangan pendidikan dan konflik budaya. Selain itu, masalah lain adalah soal komunikasi antara pastor dengang awam, perbedaan kebijakan paroki dan keuskupan, dan struktur Gereja yang tidak luwes dan feodal.

Berhadapan dengan masalah-masalah di atas, peserta sidang menganjurkan adanya perubahan dari pola spiritualitas yang terlalu individualisitis dan hanya vertikal ke pola religiositas yang memerdekakan, dari sikap yang mendominasi ke pola kesetaraan martabat manusia, dari pola eksklusif ke keterbukaan terhadap saudara seiman maupun umat lain, dari liturgi yang ritualistik ke liturgi yang berpihak kepada kaum miskin, dari Gereja yang legalistik ke Gereja yang spiritual-profetis, dari sikap eksploitasi ke pelestarian lingkungan hidup, dari sikap sibuk sendiri ke sikap tanggap terhadap situasi bangsa dan negara.

Gerakan pertumbuhan komunitas basis adalah suatu gerakan bagi Gereja untuk memaknai panggilannya seturut peran dan tugasnya masing-masing demi pemberdayaan kaum marginal, sehingga setiap manusia sungguh dihargai menurut martabat sebagai gambaran wajah Allah. Panggilan ini merupakan panggilan bagi semua orang sebagai tanggapan atas panggilan Roh Allah sendiri.

Diolah dari berbagai sumber

MASA PUASA AGAMA KATOLIK: REFLEKSI IMAN MEMAKNAI MASA PUASA

Oleh: Timotius Jelahu 

Masa puasa Agama Katolik  merupakan kesempatan dimana umat beriman diajak untuk bertobat dari kesalahan, berjuang melawan bujukan dan godaan setan dan membahuri persahataban dengan Allah, sesama manusia dan alam lingkungan. Salah satu pemaknaannya adalah pendalaman iman sesuai dengan tema-tema yang ditentukan. Misalnya, pokok-pokok refleksi APP di Keuskupan Palangkaraya 2019-2022 dalam kesatuan dengan kerangka dasar APP Nasional  (2020-2022), yaitu “Gerakan Melindungi dan Mengelola Sumber Hak Ekonomi Masyarakat yang Bermartabat, Berbela Rasa, dan Berkelanjutan.” 

Pengantar

Setiap tahun Gereja Katolik menyediakan masa puasa selama 40 hari sebagai  kesempatan istimewa untuk melihat dan menilai kembali cara hidup sebagai Pengikut Kristus. Keuskupan Palangkaraya menyiapkan subtema-subtema tertentu untuk pedalaman iman di tingkat lingkungan. Materi pendalaman digodok dan dipersiapkan oleh Komisi Kateketik. Dalam hal ini, penulis terlibat aktif dalam penyusunan bahan pendalaman iman APP di Keuskupan Palangkaraya untuk kurun waktu 2019-2021. Berikut ini adalah uraian beberapa subtema yang diangkat dalam kegiatan APP Keuskkupan Palangka Raya Periode 2019-2021.

Teknologi demi Kebaikan Bersama

Salah satu subtemba APP pada tahun 2019 adalah Gerakan Sadar Teknologi Demi Kebaikab Bersama. Tema ini mengajak umat beriman untuk untuk bersama-sama menyadari pentingnya bertindak benar dalam menggunakan teknologi demi penghormatan terhadap mahluk  ciptaan lainnya. Kesadaran itu mesti sampai pada tindakan konkret untuk merawat alam ciptaan yang sedang menderita akibat penggunaan teknologi yang mengabaikan keutuhan ciptaan. Paus Fransiskus menegaskan bahwa bahwa tanggung jawab untuk mengatasi komplesitas krisis ekologi merupakan tanggung jawab semua bangsa dan terlebih umat kristiani. Menjalankan tugas kita dalam dunia ciptaan dan tanggung jawab kita terhadap alam merupakan bagian integral dari iman kita kepada sang Pencipta. 

Pembangunan menyediakan berbagai pilihan bagi masyarakat untuk memperoleh tingkat kesejahteraannya melalui pengelolaan sumber daya alam atau membentuk sumber daya buatan dengan sentuhan teknologi. Sementara itu, teknogi terus berubah dan berkembang, bisa menjadi semakin baik bisa juga menjadi semakin buruk. Bisa jadi suatu saat teknologi tidak dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan manusia. 

Paus Fransiskus memuji dan bersyukur atas kemajuan teknologi untuk perkembangan umat manusia. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang diarahkan dengan baik dapat menjadi sarana yang sungguh berharga untuk meningkatkan hidup manusia. Tetapi Paus juga mengkhawatirkan kemampuan manusia dalam menggunakan teknologi yang telah diraih   manusia “zaman now” karena memberi “kekuasaan yang luar biasa” kepada manusia dalam menggunakan tekhnologi tersebut. 

Bapak Uskup Keuskupan Palangka Raya, Mgr. Aloysius M. Sutrisnaatmaka, MSF dalam surat Gembala APP 2019 juga mengajak umat Katolik untuk melihat dan menyadari bahwa Kalimantan telah dirasuki oleh teknologi baru dengan semua dampaknya. Misalnya,hampir semua produk dikemas dalam bahan-bahan plastik yang meninggalkan limbah mencemari lingkungan hidup.

Menghadapi ancaman krisis global, kita perlu memelihara proses ekologis yang esensial sebagai bagian dari upaya keseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungan. Diperlukan komitmen untuk memelihara dan melestarikan potensi kekayaan sumber daya alam dan lingkungan. Untuk itu diperlukan kecerdasan ekologis (ecological intelligence), sebagai empati yang mendalam dan kepedulian terhadap lingkungan sekitar, serta berpikir kritis terhadap apa yang terjadi di lingkungan sekitar. 

Manusia yang cerdas ekologis menempatkan dirinya sebagai penjaga keutuhan ciptaan. Kecerdasan ekologis menempa manusia menjadi rekan kerja Pencipta yang mampu menata emosi, pikiran, dan tindakan dalam menyikapi alam dan lingkungannya. Hal ini mendorong setiap pribadi untuk berbuat sesuatu dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dengan kata lain, manusia cerdas ekologis selalu berupaya  untuk meraih kualitas hidup dan kehidupan dengan berpikir, bertindak dan berperilaku dengan pertimbangan ekologis. 

Dalam Kitab Kejadian 11:1-9, dilukiskan tentang penyalahgunaan teknologi oleh manusia, yakni “membangun menara babel.” Akibat dari kesombongan dan mencari nama, maka Tuhan Allah mengacaubalaukan bahasa mereka dan menserakkan mereka ke seluruh bumi (Kej. 11:7). Dengan berpijak pada pewartaan St. Paulus, kita mesti menyadari bahwa teknologi yang kita gunakan saat ini harus dipandang sebagai kasih karunia Tuhan yang diberikan kepada manusia (Korintus, 15:1-11). 

Berhadapan dengan kenyataan lingkungan yang rusak, St. Paulus mengingatkan kita untuk bertobat agar dapat bersatu dengan Logos Ilahi, Yesus Kristus. Bagi Paulus, tanggung jawab khusus orang-orang Kristen di hadapan dunia adalah melihat kebaikan dan kehendak Allah. Orang Kristen bertugas untuk bertindak sesuai dengan kehendak Tuhan, memandang dunia seperti yang dikehendaki Allah. Dalam hal ini, orang Kristen dituntut mengubah bentuk dunia dari dalam, menghidupi semua keadaan dunia menurut Roh Yesus. Oleh karena itu, umat Allah harus melakukan tindakan pembaharuan hati dan dengan tingkah laku yang sesuai dengan kehendak Allah. 

Segenap ciptaan terlibat dalam persekutuan cinta, yakni persekutuan yang mau mendengar dan memandang ciptaan lain dengan penuh cinta. Saat manusia merasakan jeritan alam yang rusak, serentak manusia mendengarkan jeritan kehidupan manusia lain yang sedang menderita. Jeritan tersebut menandai rusaknya keindahan kesatuan antara keindahan alam, manusia dan Yang Ilahi.

Kesediaan melihat alam yang terluka juga serentak mengarahkan pandangan kita kepada wajah Kristus yang tersalib. Sebagaimana Pengorbanan Kristus di Salib sebagai puncak ketaatan Yesus Kristus kepada Allah Bapa karena dunia yang berdosa ini, maka jika manusia memanfaatkan alam sampai alam mengorbankan dirinya demi manusia, maka manusia pun harus memberikan pengorbanan dirinya kepada alam. Contohnya, jika manusia menghendaki pemanfaatan ekosistem hutan, manusia pun harus mengorbankan niat, tenaga, dan materi untuk memperbaiki hutan yang telah dimanfaatkan. 

Aksi nyata yang dapat dihidupi, baik secara individu maupun komunitas dalam menerapkan gaya hidup ekologis, antara lain pertama, perlu mempertimbangkan setiap produk dan jasa yang dihasilkan dengan memastikan bahwa produk dan jasa tersebut tidak mengancam diri sendiri dan keutuhan ciptaan. Kedua, mengutamakan pembangunan industri yang ramah lingkungan (para pengusaha) dan dalam hal konsumsi kita memastikan bahwa produk tersebut ramah lingkungan. Ketiga, mendaur ulang dan mengolah sampah secara tepat agar tidak mencemari lingkungan sekitar bahkan sebisa mungkin dapat memberikan nilai tambah tertentu. Keempat, menjaga hutan, lahan, sungai, mata air, laut dari ancaman kerusakan. Kelima, mendorong komunitas adat, LSM, Pemerintah setempat dan masyarakat untuk melestarikan alam dengan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.

Mengupayakan Ekonomi yang Berkeadilan

Sepanjang masa puasa tahun ini, umat Keuskupan Palangka Raya diajak untuk bersama-sama merenungkan Sabda Tuhan dan mendalami tema APP “Membangun Kehidupan Ekonomi yang Bermartabat”.  Komisi Kateketik Keuskupan Palangka Raya mengajak umat beriman untuk medalami beberapa subtema, yaitu (1) Ekonomi yang Bermartabat: Ekonomi yang Berkeadilan, (2) Tanah sebagai Sumber Ekonomi yang Bermartabat, (3) Manusia sebagai Pelaku Ekonomi yang Bermartabat, (4) Mandiri Mewujudkan Ekonomi yang Bermartabat dan  (5) Gerakan Pertobatan dan Aksi Solidaritas. 

Istilah 'ekonomi', yang berasal dari bahasa Yunani oikos dan nomos, pada hakikatnya berarti 'tata pengelolaan rumah tangga'. Sebagai tata-kelola, istilah 'ekonomi' menunjuk pada proses atau usaha pengadaan barang dan jasa untuk kebutuhan hidup. Karena sumber daya selalu terbatas, padahal kebutuhan hidup sangat banyak, kemudian istilah 'ekonomi' juga meliputi juga seni memilih secara bijak antara banyaknya kebutuhan di satu pihak dan terbatasnya sumberdaya atau sarana di pihak lain. Setidaknya, kegiatan ekonomi dapat diartikan sebagai upaya yang dilakukan manusia untuk mencapai kesejahteraan atau kemakmuran dalam hidup. 

Berbagai bentuk kegiatan ekonomi yang dijalani setiap orang merupakan tugas dan tanggung jawab manusia untuk melanjutkan karya Allah dalam penciptaan. Karena itu, prioritas utama dalam kegiatan ekonomi adalah hidup manusia. Setiap orang berhak atas akses-akses sumber ekonomi dan hak itu harus dijamin dan dipertahankan di atas prinsip keadilan. Manusia sebagai pusat dan tujuan kemajuan ekonomi tidak bisa dan tidak boleh diganti oleh profit, penguasaan, peningkatan modal, apalagi manusia dikorbankan demi profit, akumulasi atau penguasaan sumber ekonomi.

Pola kegiatan ekonomi yang mengakibatkan ketidakadilan dalam masyarakat dan ketidakseimbangan dalam tata alam menunjukkan bahwa hal itu sungguh telah jauh dari tujuan penciptaan. Bagi orang beriman, situasi tersebut terjadi karena doas. Manusia melihat sesamanya sebagai ancaman yang harus ditaklukkan. Manusia dalam sika egoisnya hanya memusatkan pada dirinya sehingga tega menghancurkan alam dan memangsa orang lain, secara khusus orang-orang miskin, kaum perempuan dan anak-anak. Orang kaya memiliki banyak jaminan untuk membentengi hidupnya, tetapi orang miskin hidup tanpa perlindungan apapun.

Kegaitan ekonomi kiranya dapat mendorong dan memberdayakan setiap orang, terutama yang miskin dan lemah, untuk berpartisipasi dalam kehidupan bersama. Martabat luhur manusia yang diciptakan sesuai Citra Allah tidak boleh direndahkan oleh keserakahan untuk menumpuk keuntungan diri sebanyak mungkin. Kiranya aktivitas ekonomi setiap orang diarahkan dan tertuju pada satu tujuan yaitu memelihara dan merawat dan mempertahankan hidup manusia. 

Kehidupan manusia adalah sesuatu yang diterima sebagai anugerah. Allah pemberi kehidupan juga menopang kehidupan manusia dan makhluk lain yang mengitari kehidupannya. Allah menganugerahi hidup kepada manusia sekaligus melengkapi hidup manusia dengan ciptaan lain yang dapat menopang hidupnya. Karena itu, setiap orang berhak atas akses-akses sumber ekonomi dan hak itu harus dijamin dan dipertahankan di atas prinsip keadilan. 

Setiap upaya atau usaha ekonomi harus bermuara pada kesejahteraan semua manusia. Pencapaian kesejahteraan umum sebagai tujuan pokok usaha ekonomi menjadikan usaha membangun ekonomi itu bermartabat dalam dua arti: Pertama, usaha tersebut tertuju kepada kepentingan manjusia. Upaya ekonomi menjadi bermartabat ketika diabadikan demi kepentingan manusiawi. Usaha ekonomi ada demi manusia agar manusia dapat hidup secara manusiawi. Kedua, usaha itu bermartabat jika manusia itu sendiri menjadi pelalkunya. Hal itu merupakan manifestasi kebebasan dan otonomi manusia. Manusia seyogianya secara mandiri dan bebas mengupayakan kesejahteraan hidupnya sendiri atau hidup bersama. 

Kitab Suci mengingatkan bahwa kondisi awal yang dikehendaki Pencipta adalah menghormati keluhuran martabat manusia dalam semangat kekeluargaan, seraya terus menjaga keseimbangan hidup seluruh ciptaan. Kita diberi tanggung jawab serta kesanggupan untuk memperlakukan manusia sesuai martabatnya, dan merawat serta menjaga seluruh alam dalam keseimbangan.

Yesus tidak menolak kekayaan dan usaha memperbanyak kekayaan. Dia memuji hamba yang menggandakan talentanya dan mengecam hamba yang malas. Allah turut dimuliakan, apabila dapat mengembangkan kekayaan alam dan bakat masing-masing pribadi demi kesejahteraan bersama. Namun, Dia mengingatkan adanya bahaya kerakusan akan harta dan uang yang menghancurkan relasi antarsaudara. Hidup manusia tidak semata-mata diukur berdasarkan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Manusia adalah ciptaan dengan banyak kebutuhan lain yang lebih luas daripada kebutuhan ekonomi. Manusia dipanggil untuk "menjadi kaya di hadapan Allah."

Kadang, manusia melihat sesamanya sebagai ancaman yang harus ditaklukkan. Manusia tidak boleh dikorbankan dalam pengejaran kepentingan ekonomi. Martabat luhur manusia yang diciptakan sesuai citra Allah direndahkan oleh keserakahan untuk menumpuk keuntungan diri sebanyak mungkin. Sejatinya, kegiatan ekonomi dapat mendorong dan memberdayakan setiap orang, terutama yang miskin dan lemah, untuk berpartisipasi dalam kehidupan bersama. 

Semua pihak kiranya dapat bergandengan mendukung dan meneguhkan kehendak baik masing-masing piak dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tentu, para Pemimpin Gereja yang Kudus selalu siap sedia dan dengan dengan setia mewartakan Sabda untuk menjadi bekal dalam setiap usaha memenuhi kebutuhan hidup umat beriman. Sementara itu, para pengambil kebijakan kiranya dapat menjalankan tugas dan tanggungjawabnya yang berpijak pada kehendak baik untuk mengupayakan penghormatan atas hak asisi setiap manusia dengan mencipatkan kesejahteraan bagi semua orang. 

Aksi Solidaritas Gereja Katolik

Kitab Suci melukiskan bahwa dosa manusia terjadi karena manusia mengikuti godaan setan untuk bertindak melanggar perintah Allah atau ingin menyamai Allah. Manusia menentang larangan Allah, membiarkan dirinya sendiri digodai ular dan mengulurkan tangannya memetik buah kehidupan, dan jatuh menjadi mangsa kematian. Dengan tindakan ini, manusia berusaha melewati batas-batasnya sebagai makhluk ciptaan seraya menantang Allah, satu-satunya Tuhan dan sumber kehidupannya. Maka, dosa pada hakikatnya adalah manusia tidak mampu melawan godaan iblis dan serentak melanggar perintah Allah.

Dosa mengakibatkan dua luka ganda, yaitu luka bagi si pendosa sendiri dan luka bagi sesama ciptaan yang lain. Bahwa dosa selalu merupakan sebuah tindakan pribadi, -karena dosa adalah tindakan bebas dari seorang pribadi individual-, namun corak sosial setiap dosa juga tak diragukan. Setiap dosa individual, dalam cara tertentu, mempengaruhi makhluk ciptaan yang lain (Kompendium Ajaran Sosial Gereja, No. 115-117).

Lebih dari itu, dosa-dosa tertentu (oleh objek dosa itu sendiri) merupakan sebuah serangan langsung terhadap sesama. Dosa-dosa seperti itu dikenal sebagai dosa-dosa sosial. Dosa sosial adalah setiap dosa yang dilakukan melawan keadilan yang selayaknya ada dalam relasi antarindividu dan individu dengan masyarakat. Yang juga termasuk dosa sosial adalah setiap dosa melawan hak-hak pribadi manusia mulai dengan hak untuk hidup, setiap dosa melawan keutuhan fisik individu, setiap dosa melawan kebebasan orang-orang lain, setiap dosa melawan martabat dan kemuliaan sesama dan juga setiap dosa melawan kesejahteraan umum dan tuntutan-tuntutannya (Kompendium Ajaran Sosial Gereja, No. 115-117).

Semangat dasar gerakan Aksi Puasa Pembangunan (APP) Nasional adalah pertobatan dan solidaritas. Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa pertobatan adalah suatu perubahan tingkah laku atau mentalitas atau cara berada (Bdk. Mrk 13: 3, 5; Yes 30: 15). Secara khsusus pertobatan menuntut pemulihan relasi manusia dengan Allah, sesama baik pribadi maupun bersama-sama. Sebab Allah-lah yang menguasai hati para penguasa dan hati semua orang, yang menurut janji-Nya sendiri dan dengan kekuatan rohani dapat merobah hati yang keras menjadi hati yang taat (Bdk. Yeh 36: 26).

Jalan pertobatanlah yang diharapkan dapat menjembatani kesenjangan yang ada agar semakin bertumbuhnya kesadaran untuk berbagi. Dalam Kitab Suci banyak diceritakan tentang buah dari pertobatan yang diwujudnyatakan dalam kehidupan bersama. Sebagai contoh adalah kisah tentang pertobatan Zakheus. 

Zakheus berubah total setelah berjumpa dengan Yesus. Meskipun ia tetap sebagai pemungut cukai, ia tidak lagi korupsi, merampas dan menyalahgunakan jabatan dan kuasanya untuk memperkaya diri. Sebaliknya, ia berbagi harta miliknya dengan orang miskin. Ia mengembalikan hak harta benda orang lain yang telah dirampasnya (bdk. Luk 19: 1-10). Pertobatan selama empat puluh hari yang kita lakukan selama masa Prapaskah ini hendaknya tidak hanya bersifat batin perorangan melainkan hendaknya bersifat lahir dan sosial kemasyarakatan (Sacro sanctum Concilium 110). Pertobatan semakin menjadi nyata ketika berani terlibat dalam realitas kehidupan untuk mewujudkan kesejahteraan hidup bersama dalam semangat persaudaraan dan solidaritas.

Zakheus si pemungut cukai dapat menjadi contoh dan inspirasi bagi kita. Ketika bertobat, ia makin solider. Nama Zakheus berasal dari bahasa Yunani: Zakkhaios, Ibrani: Zakkay. Artinya, bersih, tidak bersalah, saleh. Ia adalah kepala pemungut cukai di Yerikho. Tidaklah diragukan bahwa ia menyalahgunakan kedudukannya untuk memperkaya diri sendiri. 

Kendati reputasinya di mata orang Yahudi sebagai pemungut cukai (bekerja sama dengan penjajah Roma), maka dia ditolak oleh orang-orang Yahudi: “Ia menumpang di rumah orang berdosa.” Namun, Zakheus memiliki pribadi yang menarik. Zakheus spontan dan mudah bertindak memberi pernyataan-pernyataan yang luar biasa dan ada kejujuran yang mendalam di sini. Juga tidak menghalangi dia untuk mengakukan kesalahan dan dosanya secara terbuka. 

Sesuai dengan namanya, Zakheus adalah orang yang bersih, tidak bersalah, orang benar.  Bahwa Zakheus adalah pemungut cukai, namun ia mudah untuk bertobat. Ada keterbukaan hati Zakheus yang ditunjukkan dengan keinginan melihat Yesus, memanjat pohon dan menyambut Yesus di rumahnya. Meskipun ia seorang penting, kedudukannya tidak menghalangi dia untuk memanjat sebatang pohon dan menyambut Yesus dengan penuh suka cita. 

Pengalaman perjumpaan dengan Yesus telah mendatangkan tranformasi yang luar biasa bagi Zakheus, yaitu bertobat dan semakin solider. Zakheus mengungkapkan pertobatannya dengan megembalikan apa dirampah empat kali lipat dan membagikan setengah dari miliknya kepada orang miskin. Ini adalah gerakan solidaritas yang melampui batas wajar: "Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat."

Setelah berjumpa dengan Yesus, Zakheus berubah total. Meskipun ia tetap pemungut cukai, ia tidak lagi korupsi, merampas dan menyalahgunakan jabatan dan kuasanya untuk memperkaya diri. Sebaliknya, ia berbagi harta miliknya dengan orang miskin. Ia mengembalikan hak harta benda oranng lain yang telah dirampasnya (bdk. Luk 19: 1-10). 

Nilai yang dipetik dari perjumpaan dengan Tuhan Yesus adalah: kejujuran, solidaritas, berbagi dengan orang miskin (orang yang membutuhkan) setengah dari harta miliknya. Semangat dasar gerakan Aksi Puasa Pembangunan  (APP) Nasional adalah pertobatan dan solidaritas. Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa pertobatan adalah suatu perubahan tingkah laku atau mentalitas atau cara berada (Bdk. Mrk 13: 3, 5; Yes 30: 15). Secara khusus pertobatan menuntut pemulihan relasi manusia dengan Allah, sesama baik pribadi maupun bersama-sama. Sebab Allah-lah yang menguasai hati para penguasa dan hati semua orang, yang menurut janji-Nya sendiri dan dengan kekuatan rohani dapat mengubah hati yang keras menjadi hati yang taat (Bdk. Yeh 36: 26). Jalan pertobatanlah yang diharapkan dapat menjembatani kesenjangan yang ada dan semakin tumbuhnya kesadaran untuk berbagi.

Penutup

Masa puasa, selain seabagi kesempatan  untuk menyadari dan memperbaiki sikap yang tidak berkenan kepada Tuhan, kiranya masa puasa juga menjadi kesempatan istimewa bagi Umat beriman untuk menimba sabda mendengar dan merenungkan Sabda sebagai bekal yang menguatkan dan meneguhkan dalam setiap perjuangan memenuhi kebutuhan sesuai rencana dan kehendak Sang Pencipta. Pertobatan selama masa Prapaskah hendaknya tidak hanya bersifat batiniah perorangan melainkan hendaknya bersifat lahir dan sosial kemasyarakatan juga (SC 110). Pertobatan semakin menjadi nyata ketika kita berani terlibat dalam realitas kehidupan untuk mewujudkan kesejahteraan bersama dalam semangat persaudaraan dan solidaritas.


Globalisasi dan Suka Cita Natal Bagi Keluarga

Oleh: Timotius J

Natal menjadi inspirasi untuk menguatkan harapan dan optimisme akan hakikat asali keluarga sebagai basis dan sumber suka cita bagi setiap pribadi.

Natal pada era globalisasi adalah kabar suka cita di tengah meningkatnya fenomena dehumanisasi. Pada tahun 2014, jumlah kasus aborsi mencapai 2-2,5 juta. Selain kasus aborsi, HIV/AIDS juga meningkat. Terhitung sejak Januari hingga September 2014, total kasus HIV 22,869  dan AIDS 1,876. Faktor risiko terbesar adalah hubungan seksual dan HIV/AIDS didominasi usia produktif, yaitu 20-49 tahun.

Sejatinya, globalisasi adalah peluang emas humanisasi. Dengan terbukanya sekat antarruang di belahan bumi, nilai-nilai berpadu di atas satu panggung kehidupan.  Di mana pun seseorang merangkai jejaknya, ia senantiasa berada dalam kesatuan dengan nilai-nilai yang ada di belahan lain bumi yang satu ini. Di sini, globalisasi adalah kisah pembauran nilai. Nilai-nilai silih berganti datang tanpa diundang dan akan segera pergi jika tidak diapresiasi sewajarnya.

Dengan menawarkan aneka nilai, masing-masing pribadi tidak lagi terperangkap dalam satu nilai tunggal. Kwalitas suatu nilai senantiasa ditentukan oleh nilai-nilai lain sebagai indikator pembanding. Dengan demikian, masing-masing pribadi dapat memilih dan memiliki nilai yang terbaik. Jika, nilai yang dipegang ternyata tidak memungkinkan dirinya berkembang ke arah yang lebih manusiawi, nilai itu dapat ditanggalkan dan dengan segera diganti oleh nilai lain yang selalu tersedia.

Humanisasi yang diusung globalisasi adalah suatu pemurnian orientasi hidup sebagai milik khas dan unik setiap pribadi. Globalisasi menuntut setiap pribadi memilah dengan jeli dan jernih setiap tawaran nilai. Maka, komitmen menukik lebih dalam adalah suatu keniscayaan untuk menimbang apakah suatu nilai pantas dipertahankan sebagai fondasi hidup atau tidak.

Pribadi yang sanggup menjalani tantangan di atas akan menjadi tuan atas globalisasi; pribadi yang bertahan akan menangkap peluang positif yang ditawarkan. Sebaliknya, seseorang akan menjadi mangsa dan korban jika tidak memiliki kesanggupan untuk memastikan ke mana langkah mesti diarahkan. Pribadi yang tidak memiliki ketahanan yang cukup akan terombang-ambing dan serentak dipermainkan oleh nilai-nilai yang datang silih berganti.

Kasus-kasus dehumanisasi yang ada merupakan tanda betapa lemahnya ketahanan personal manusia abad ini. Ketika ketahanan personal rapuh, manusia mudah terjerambat dalam kegelapan. Tanpa memandang jauh ke depan, orang terjebak dalam ketergesaan dan kemendesakan untuk memiliki apa yang ditawarkan tanpa memberikan ruang kepada mata batin untuk menimbang. Manusia terseliau kemasan dan pesona apik atas tawaran yang datang walaupun  kwalitasnya belum tentu dapat dipertanggunjawabkan.  

Berhadapan dengan kenyataan ini, proyek yang mesti diupayakan adalah penguatan kapasitas personal. Setiap pribadi mesti dibekali dengan nilai-nilai primer yang pantas dan wajar sebelum memasuki arena hidup sehingga memungkinkan yang bersangkutan melangkah dengan pasti, sorot matanya tenang menatap dunia dan wajahnya berseri menghadapi perubahan dan pergeseran yang cepat.

Keluarga merupakan benteng utama dan pertama yang diandalkan untuk menjalankan misi itu. Teori sosial mengakui peran penting keluarga dalam proses sosialisasi individu ke dalam masyarakat. Melalui sosialisasi, keluarga menjadi institusi yang tak tergantikan dalam membentuk kepribadian. Di dalam keluarga, individu-individu menginternalisasi nilai-nilai, norma-norma dan adat istiadat yang ada sehingga menjadi sesuatu yang mempribadi.

Gereja Katolik selalu menggarisbawahi vitalnya panggilan setiap keluarga dalam penguatan kapasitas personal. Hal ini dapat disimak dalam Sinode Para Uskup di Roma pada bulan Oktober 2012 dan sinode yang terakhir Oktober 2014. Bagi Gereja Katolik, keluarga adalah Gereja domestik untuk pembentukan pribadi manusia melalui transmisi iman. Merujuk Konsili Vatikan II, keluarga merupakan persekutuan hidup dan kasih antara suami dan isteri yang bermuara pada kelahiran dan pendidikan anak. Kelahiran dan pendidikan anak merupakan tujuan dan sekaligus tanggung jawab persatuan cinta antara suami dan isteri sebagai mitra kerja Allah (Gaudium et Spes, 48 dan 50).

Natal adalalah pengalaman suka cita berjumpa dengan Allah dalam keluarga, demikian pesan natal yang disampaikan oleh KWI dan PGI. Lebih lanjut, KWI dan PGI berpandangan bahwa Allah hadir di dalam keluarga, terlahir sebagai Yesus dalam keluarga yang dibangun oleh pasangan saleh Maria dan Yusuf. Karena itu, natal adalah kesempatan untuk memahami betapa luhurnya keluarga dan bernilai-nya hidup sebagai keluarga karena di situlah Tuhan yang dicari dan dipuji hadir. Keluarga sepatutnya menjadi bait suci di mana kesalahan diampuni dan luka-luka disembuhkan.

Peristiwa Yesus lahir di tengah keluarga adalah antitesis atas setiap gejala desakralisasi institusi keluarga oleh pribadi yang terlarut dalam jejaring kenikmatan semu di luar ruma. Natal menjadi inspirasi untuk menguatkan harapan dan optimisme akan hakikat asali keluarga sebagai basis dan sumber suka cita bagi setiap pribadi. Pengalaman perjumpaan dalam keluarga akan memungkinkan masing-masing pribadi menjadi pewarta suka cita di tengah arus globalisasi.

Mengupayakan Ekonomi yang Berkeadilan

Oleh: Timotius J

Setiap orang berhak atas akses-akses sumber ekonomi dan hak itu harus dijamin dan dipertahankan di atas prinsip keadilan. Manusia sebagai pusat dan tujuan kemajuan ekonomi tidak bisa dan tidak boleh diganti oleh profit, penguasaan, peningkatan modal, apalagi manusia dikorbankan demi profit, akumulasi atau penguasaan sumber ekonomi.

Setiap tahun Gereja Katolik menyediakan masa puasa selama 40 hari sebagai  kesempatan istimewa untuk melihat dan menilai kembali cara hidup sebagai Pengikut Kristus. Pada masa ini, umat beriman diajak untuk bertobat dari kesalahan, berjuang melawan bujukan dan godaan setan dan membahuri persahataban dengan Allah, sesama manusia dan alam lingkungan.

Sepanjang masa puasa tahun ini, umat Keuskupan Palangka Raya diajak untuk bersama-sama merenungkan Sabda Tuhan dan mendalami tema APP “Membangun Kehidupan Ekonomi yang Bermartabat”. Tema APP tahun 2020 ini merupakan bagian dari tema kerangka dasar APP Nasional tiga tahunan (2020-2022), yaitu “Gerakan Melindungi dan Mengelola Sumber Hak Ekonomi Masyarakat yang Bermartabat, Berbela Rasa, dan Berkelanjutan.”

Komisi Kateketik Keuskupan Palangka Raya mengajak umat beriman untuk medalami beberapa subtema, yaitu (1) Ekonomi yang Bermartabat: Ekonomi yang Berkeadilan, (2) Tanah sebagai Sumber Ekonomi yang Bermartabat, (3) Manusia sebagai Pelaku Ekonomi yang Bermartabat, (4) Mandiri Mewujudkan Ekonomi yang Bermartabat dan  (5) Gerakan Pertobatan dan Aksi Solidaritas.

Istilah 'ekonomi', yang berasal dari bahasa Yunani oikos dan nomos, pada hakikatnya berarti 'tata pengelolaan rumah tangga'. Sebagai tata-kelola, istilah 'ekonomi' menunjuk pada proses atau usaha pengadaan barang dan jasa untuk kebutuhan hidup. Karena sumber daya selalu terbatas, padahal kebutuhan hidup sangat banyak, kemudian istilah 'ekonomi' juga meliputi juga seni memilih secara bijak antara banyaknya kebutuhan di satu pihak dan terbatasnya sumberdaya atau sarana di pihak lain. Setidaknya, kegiatan ekonomi dapat diartikan sebagai upaya yang dilakukan manusia untuk mencapai kesejahteraan atau kemakmuran dalam hidup.

Berbagai bentuk kegiatan ekonomi yang dijalani setiap orang merupakan tugas dan tanggung jawab manusia untuk melanjutkan karya Allah dalam penciptaan. Karena itu, prioritas utama dalam kegiatan ekonomi adalah hidup manusia. Setiap orang berhak atas akses-akses sumber ekonomi dan hak itu harus dijamin dan dipertahankan di atas prinsip keadilan. Manusia sebagai pusat dan tujuan kemajuan ekonomi tidak bisa dan tidak boleh diganti oleh profit, penguasaan, peningkatan modal, apalagi manusia dikorbankan demi profit, akumulasi atau penguasaan sumber ekonomi.

Pola kegiatan ekonomi yang mengakibatkan ketidakadilan dalam masyarakat dan ketidakseimbangan dalam tata alam menunjukkan bahwa hal itu sungguh telah jauh dari tujuan penciptaan. Bagi orang beriman, situasi tersebut terjadi karena doas. Manusia melihat sesamanya sebagai ancaman yang harus ditaklukkan. Manusia dalam sika egoisnya hanya memusatkan pada dirinya sehingga tega menghancurkan alam dan memangsa orang lain, secara khusus orang-orang miskin, kaum perempuan dan anak-anak. Orang kaya memiliki banyak jaminan untuk membentengi hidupnya, tetapi orang miskin hidup tanpa perlindungan apapun.

Kegaitan ekonomi kiranya dapat mendorong dan memberdayakan setiap orang, terutama yang miskin dan lemah, untuk berpartisipasi dalam kehidupan bersama. Martabat luhur manusia yang diciptakan sesuai Citra Allah tidak boleh direndahkan oleh keserakahan untuk menumpuk keuntungan diri sebanyak mungkin. Kiranya aktivitas ekonomi setiap orang diarahkan dan tertuju pada satu tujuan yaitu memelihara dan merawat dan mempertahankan hidup manusia.

Kehidupan manusia adalah sesuatu yang diterima sebagai anugerah. Allah pemberi kehidupan juga menopang kehidupan manusia dan makhluk lain yang mengitari kehidupannya. Allah menganugerahi hidup kepada manusia sekaligus melengkapi hidup manusia dengan ciptaan lain yang dapat menopang hidupnya. Karena itu, setiap orang berhak atas akses-akses sumber ekonomi dan hak itu harus dijamin dan dipertahankan di atas prinsip keadilan.

Setiap upaya atau usaha ekonomi harus bermuara pada kesejahteraan semua manusia. Pencapaian kesejahteraan umum sebagai tujuan pokok usaha ekonomi menjadikan usaha membangun ekonomi itu bermartabat dalam dua arti: Pertama, usaha tersebut tertuju kepada kepentingan manjusia. Upaya ekonomi menjadi bermartabat ketika diabadikan demi kepentingan manusiawi. Usaha ekonomi ada demi manusia agar manusia dapat hidup secara manusiawi. Kedua, usaha itu bermartabat jika manusia itu sendiri menjadi pelalkunya. Hal itu merupakan manifestasi kebebasan dan otonomi manusia. Manusia seyogianya secara mandiri dan bebas mengupayakan kesejahteraan hidupnya sendiri atau hidup bersama.

Kitab Suci mengingatkan bahwa kondisi awal yang dikehendaki Pencipta adalah menghormati keluhuran martabat manusia dalam semangat kekeluargaan, seraya terus menjaga keseimbangan hidup seluruh ciptaan. Kita diberi tanggung jawab serta kesanggupan untuk memperlakukan manusia sesuai martabatnya, dan merawat serta menjaga seluruh alam dalam keseimbangan.

Yesus tidak menolak kekayaan dan usaha memperbanyak kekayaan. Dia memuji hamba yang menggandakan talentanya dan mengecam hamba yang malas. Allah turut dimuliakan, apabila dapat mengembangkan kekayaan alam dan bakat masing-masing pribadi demi kesejahteraan bersama. Namun, Dia mengingatkan adanya bahaya kerakusan akan harta dan uang yang menghancurkan relasi antarsaudara. Hidup manusia tidak semata-mata diukur berdasarkan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Manusia adalah ciptaan dengan banyak kebutuhan lain yang lebih luas daripada kebutuhan ekonomi. Manusia dipanggil untuk "menjadi kaya di hadapan Allah."

Kadang, manusia melihat sesamanya sebagai ancaman yang harus ditaklukkan. Manusia tidak boleh dikorbankan dalam pengejaran kepentingan ekonomi. Martabat luhur manusia yang diciptakan sesuai citra Allah direndahkan oleh keserakahan untuk menumpuk keuntungan diri sebanyak mungkin. Sejatinya, kegiatan ekonomi dapat mendorong dan memberdayakan setiap orang, terutama yang miskin dan lemah, untuk berpartisipasi dalam kehidupan bersama.

Semua pihak kiranya dapat bergandengan mendukung dan meneguhkan kehendak baik masing-masing piak dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tentu, para Pemimpin Gereja yang Kudus selalu siap sedia dan dengan dengan setia mewartakan Sabda untuk menjadi bekal dalam setiap usaha memenuhi kebutuhan hidup umat beriman. Sementara itu, para pengambil kebijakan kiranya dapat menjalankan tugas dan tanggungjawabnya yang berpijak pada kehendak baik untuk mengupayakan penghormatan atas hak asisi setiap manusia dengan mencipatkan kesejahteraan bagi semua orang.

Masa puasa, selain seabagi kesempatan  untuk menyadari dan memperbaiki sikap yang tidak berkenan kepada Tuhan, kiranya masa puasa juga menjadi kesempatan istimewa bagi Umat beriman untuk menimba sabda mendengar dan merenungkan Sabda sebagai bekal yang menguatkan dan meneguhkan dalam setiap perjuangan memenuhi kebutuhan sesuai rencana dan kehendak Sang Pencipta. 

Guru Agama Katolik Memiliki Kompetensi Tertentu

Oleh: Timotius J

Guru Agama Katolik juga mesti memiliki kompetensi sebagai seorang guru, yaitu kompetensi profesional, kompetensi kepribadian kompetensi pedagogik, dan  kompetensi sosial.

Bimbingan Masyarakat Katolik Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Tengah menyelenggarakan Kegiatan Pembinaan Guru Agama Katolik Tingkat SD dan SMP Se-Provinsi Kalimatan Tengah. Pada kegiatan yang dilaksanakan pada tanggal 21 s.d 23 Oktober 2019 tersebut, hadir sebagai nara sumber  antara lain Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Tengah, Pembimas Katolik Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Tengah, Ketua Komisi Kateketik Keuskupan Palangka Raya dan Dosen STIPAS Tahasak Danum Pambelum Keuskupan Palangkaraya.

Kepala Kantor Kanwil Kemenag Provinsi Kalimantan Tengah, Drs. H. Masrawan, M.Ag menyampaikan materi pembinaan dengan judul “Kedisiplinan Guru Agama.”  Dalam pemaparannya, Kakanwil mengarahkan Guru Agama (juga Agama Katolik) agar mengabdikan diri sesuai sistem dan etika profesi sebagai ASN seabgaimana tertuang dalam a) UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, b) PP No. 53 Tahun 2010 tentang Dislipin PNS, dan c) PP No. 19 Tahun 2017 tentang Guru.

Sejalan dengan ketentuan yang berlaku, Guru Agama memiliki kewajiban untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, yaitu antara lain 1) menyusun  program tahunan dan program semester, 2) merencanakan pembelajaran dengan  membuat RPP, 3) melaksanakan pengajaran di ruang kelas, 4)  mengevaluasi  dengan membuat soal ulangan, 5) membimbing dan mendampingi dalam praktek, dan 6)  memberi  nilai kepada peserta didik.

Guru Agama (Katolik) sebagai ASN juga dituntut untuk loyal kepada pemerintah yang mengangkatnya dan hendaknya para guru Agama harus hati-hati dan bersikap bijak atas berita di media sosial. Guru Agama Katolik (dan guru agama yang lain) tidak hanya mengajar agama di sekolah namun juga mengajar umat di Gereja/ masyarakat, misalnya dengan tidak membuat atau meneruskan ujaran kebencian, fitnah kepada siapapun dan pemerintah.

Bapak Pujanto, SS, Pembimas Katolik Kemenag Prov. Kalteng, pertama-tama menegaskan Bimas Katolik merupakan bagian dari Kementerian Agama Republik Indonesia yang mempunyai tugas dan fungsi membangun manusia Indonesia yang beragama sekaligus beriman. Bimas Katolik sebagai bagian dari pemerintah mengurusi dan memfasilitasi umat Katolik sebagai warga negara Indonesia. Bimas Katolik menjadi jembatan yang menghubungkan antara Gereja Katolik dengan pemerintah.

Pemerintah mempunyai program dan kegiatan beraneka ragam yang harus mengikutsertakan orang Katolik sebagai warga negara sekaligus warga Gereja. Dalam pelaksanaan Pendidikan Agama Katolik di sekolah, Pemerintah mengangkat pendidik dengan kualifikasi sebagai  pendidik Agama Katolik untuk menjadi tenaga pendidik di sekolah. Pendidik Agama Katolik di sekolah mendapatkan gaji dan tunjangan yang dialokasikan APBN.

Pada kesempatan yang sama, Pembimas Katolik juga menggarisbwahi beberapa hal lain, yaitu pentingnya keberadaan wadah Paguyuban guru Agama katolik yakni KKG (Kelompok Kerja Guru) dan MGMP (Musyarawarah Guru Mata Pelajaran), pelaksanaan Pendidikan Profesi Guru, pemberian Tunjangan Kinerja, pengadaan buku guru dan siswa, dan mendorong paraga guru untuk selalu meng-update data guru pada aplikasi yang ditentukan oleh pemerintah. 

Selain berbicara tentang tugas pokok dan fungsi Bimas Katolik Kanwil Kemenag Provinsi Kalimatan Tengah, Pembimas Katolik juga mengetengahkan soal pembentukan karakter peserta didik. Guru agama Katolik terlibat dalam pembentukan karakter peserta didik. Pribadi yang berkarakter dan dewasa sudah pasti tidak terbentuk dengan tiba tiba. Hal tesebut harus dibentuk dan dipersiapkan sejak dini melalui pendidikan dan pembiasaan. Guru Agama Katolilk juga ambil bagian dalam tugas dan tanggung jawab menyiapkan dan melahirkan kader muda dan dewasa yang militan dan radikal sebagai warga negara dan Gereja Katolik.

Guru turut berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial. Bagaimanapun hebatnya perkembangan teknologi saat ini, hal itu merupakan buah dari didikan dan peran guru. Dr. Josef Dudi, M.Si  dalam pemaparannya menegaskan bahwa untuk menjadi Guru Agama Katolik dibutuhkan keahlian khusus dalam bidang pendidikan dan pengajaran Agama Katolik. Mereka dituntut untuk menjadi orang-orang yang sungguh paham dan ahli dalam bidangnya sebagai pendidik dan pewarta Sabda. Selain itu,  Guru Agama Katolik juga mesti memiliki kompetensi sebagai seorang guru, yaitu kompetensi profesional, kompetensi kepribadian,  kompetensi pedagogik, dan  kompetensi sosial.

Ketua Komisi Kateketik Keuskupan Palangka Raya, P. Cornel Fallo, SVD, berbicara tentang Spiritualitas Katekis. Bahwa setiap pribadi dapat menghayatai spiritualitas tertentu, namun sebagai Guru Agama Katolik, para guru diajak untuk menghidupi spiritualitas Katekis. Dengan menghidupi Spiritualitas Katekis, para Guru Agama Katolik dituntun untuk kembali kepada identitas panggilan hidup sebagai Katekis yang mengajar, menabur,  memberi teladan dan membiasakan anak didik untuk menjadi manusia mandiri dan sebagai pewarta iman dan ajaran Gereja Katolik kepada peserta didik serta berperan serta dalam memajukan kehidupan masyarakat.