Tampilkan postingan dengan label humanisasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label humanisasi. Tampilkan semua postingan

Covid-19, Menuju Peradaban Baru?

Oleh: Timotius J

Covid-19 mendorong proses humanisasi yang mesti menjamin manusia untuk mandiri dalam mengambil keputusan personal. 

Ziarah peradaban manusia kini terbentur tembok Covid-19. Dan, siapa pun tidak bisa lari dari kenyataan ini. Tentang kenyataan ini, ada yang menyejajarkan dengan situasi Perang Dunia II. Pada Perang Dunia II, manusia dihantui oleh bom. Kini, siapa pun dihantui terinfeksi Covid-19. Virus ini menyerang siapa pun tanpa pandang bulu sehingga semua orang tengah berada dalam bayang-bayang maut. Hingga kini, belum ada pihak yang berani mengklaim bahwa tembok itu dapat dilantakkan.

Derap Perdaban

Untuk kesekian kali, dunia dilanda bencana dahsyat. Ribuan nyawa telah melayang dalam waktu yang relatif singkat dan jutaan jiwa sudah terinfeksi. Entahkah di ujung pandemi ini akan lahir peradaban baru? Paling tidak, Covid-19 telah memberi warna tersendiri bagi manusia dalam beberapa aspek kehidupan.

Pertama, dunia menampilkan perkawinan antara globalisasi dengan digdaya digitalisasi. Bermula di Wuhan-Cina, Covid-19 sedemikian mudah menyebar ke sudut-sudut belahan bumi. Terbukanya sekat dan intensitas mobilitas yang tinggi memungkinkan virus ini dengan cepat menyebar dari satu ruang ke ruang yang lain. Tidak mengherankan, negara-negara terpaksa membatasi mobilitas dan menutup pintu masuk.

Di sisi lain, virus ini telah melanggengkan digdaya digitalisasi. Perangkat digital turut menentukan bagaimana anak zaman beraktivitas. Ketika ruang gerak fisik dibatasi untuk memutus rantai penyebaran Covid-19, banyak hal yang dapat dikerjakan dengan mengandalkan berbagai kemudahan perangkat digital. Meskipun gerak fisik dibatasi, namun era digitalisasi telah memungkinkan setiap orang untuk bergerak lintas ruang. Bahkan, berbagai aplikasi dan fitur digital juga memberikan peluang-perluag baru dan menjadi tumpuan bagi upaya pencegahan penyebaran Covid-19. 

Kedua, iman sebagai keputusan personal. Dalam hidup beragama, ruang sakral yang megah dan luas kini lengang dan sepi. Kebaktian setiap agama beralih ke optimalisasi perangkat digital daripada menghadiri kebaktian bersama di rumah ibadah. Dari ruang terpisah dan jarak yang berjauhan, masing-masing pemeluk agama berjuang untuk tetap khusuk beribadah dan mendengarkan siraman rohani dari pemimpin agama dengan bantuan perangkat digital. Persekutuan tidak hanya sebatas kedekatan jasmani, tetapi lebih pada persekutuan dalam iman. 

Dalam situasi seperti, iman seseorang benar-benar menjadi keputusan personal. Iman adalah suatu perjuangan pribadi dalam ‘keterasingan’ dari yang lain. Orang berjuang untuk menguatkan imannya melalui usaha pribadi yang difasilitasi oleh perangkat digital. Hidup religius benar-benar menjadi pilihan dan penghayatan personal.

Ketiga, solidaritas model baru. Sebagai makhluk sosial, dunia seakan berada dalam paradoks. Menerima kehadiran yang lain, tetapi mesti menjaga jarak. Tampak, setiap orang ‘dipaksakan’ oleh Covid-19 untuk memisahkan diri dari yang lain. Meskipun jarak fisik dibatasi, tetapi semua terpanggil untuk solid dalam gerakan solidaritas melawan gempuran pandemi ini. 

Bisa jadi Covid-19 telah menjebak setiap pribadi dalam solidaritas yang dibayangi kecurigaan. Panggilan untuk bersama-sama berjuang dalam solidaritas yang sama dihantui kecemasan terinfeksi. Tentu, hal ini tidak akan terjadi kalau setiap orang dengan kesadaran penuh mengedepankan pola hidup sehat dan didukung oleh sistem kesehatan yang memadai.

Keempat, mendengar rintihan ibu bumi. Bumi sebagai ibu yang memberi kehidupan menderita karena campur tangan manusia. Menanggapi kenyataan bahwa bumi tidak lagi menjadi hunian yang nyaman, muncul beragam pandangan yang menjelaskan relasi antara manusia dengan alam. Paling tidak, pandangan ekologis berangkat dari kesadaran (a) alam sebagai korban dari keserakahan sehingga manusia mesti bertanggung jawab dan/atau (b) demi keberlanjutan hidup manusia sendiri alam mesti dirawat. 

Ketika Covid-19 memaksa manusia untuk berdiam diri di rumah, para pemerhati lingkungan mengabarkan bahwa keadaan lingkungan membaik. Meski dibarengi dengan kecemasan bahwa situasi ini akan berbalik ketika wabah ini berlalu, paling tidak wabah ini telah sedikit memulikan derita ibu bumi. 

Covid-19 mengingatkan bahwa gerak-gerik manusia mesti mempertimbangkan keselamatan bumi. Rekayasa ilmiah tidak sepenuhnya mampu menguasai alam. Intervensi manusia atas alam hanya bersifat sementara dan berhadapann dengan daya alam yang tak terkendali. Covid-19 membawa pesan bahwa kesanggupan akal budi manusia tidak sepenuhnya dapat menguasai alam. Maka, memposisikan diri sebagai tuan atas alam perlu dilihat kembali.

Menjaga Peradaban

Beberapa bulan belakangan, peradaban berada dalam bayang-bayang Covid-19. Pengalaman masa lalu menunjukkan, wabah selalu diikuti dengan perubahan peradaban. Hingga kini, masa depan peradaban pascawabah ini belum dapat diprediksi. Peradaban mesti terus berjalan, maka setiap orang mesti terus berkarya meskipun gerak-gerik fisik dibatasi pada ruang tertentu.

Manusia adalah persona yang sadar dan bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Manusia sendiri mesti menjamin bahwa peradaban tidak tergerus oleh Covid-19. Dengan mengoptimalkan berbagai kemudahan-kemudahan digital, setiap orang kiranya terus berkreasi untuk menjamin keberlanjutan peradaban.

Covid-19 mendorong proses humanisasi yang mesti menjamin manusia untuk mandiri dalam mengambil keputusan personal. Karena itu, sistem pendidikan harus memungkinkan generasi bangsa memiliki ketahanan personal. Anak-anak bangsa kiranya memiliki ketahanan personal yang kuat sehingga tetap berdiri tegak dan terus berkreasi di tengah bencana yang  terjadi.

Proses humanisasi akan dapat berjalan mana kala politisi memperjuangkan pilihan dan kebijakan yang memastikan ketahanan dan keselamatan bersama. Agenda-agenda politik mesti berpijak pada kesadaran bahwa politik bertujuan untuk memastikan setiap orang dapat bertahan dan hidup dalam berbagai dinamika peradaban termasuk ketika dilanda bencana.

Dalam menghadapi bencana dan wabah yang tak mudah diprediksi, negara tentu tidak gagap dalam mengambil keputusan sehingga semua warga negara tidak tenggelam dalam kekhawatiran. Selain itu, negara memastikan warganya memiliki ketahanan personal untuk melewati berbagai bencana. Ketika negara menyangsikan ketahanan warganya,  taruhannya adalah keberlanjutan peradaban bangsa. 

Akhirnya, meskipun tidak ada bukti bahwa Covid-19 merupakan hasil tak terduga dari rekayasa Iptek, bagaimanapun, para ilmuwan mesti terpanggil untuk memastikan bahwa peradaban tak akan dilumat habis oleh Covid-19. Negara dan warganya tentu menjamin dan mendukung pengabdian ilmuwan yang berjuang menjaga dan menyelamatkan peradaban dari gempuran bencana apa pun termasuk Covid-19. 


Globalisasi dan Suka Cita Natal Bagi Keluarga

Oleh: Timotius J

Natal menjadi inspirasi untuk menguatkan harapan dan optimisme akan hakikat asali keluarga sebagai basis dan sumber suka cita bagi setiap pribadi.

Natal pada era globalisasi adalah kabar suka cita di tengah meningkatnya fenomena dehumanisasi. Pada tahun 2014, jumlah kasus aborsi mencapai 2-2,5 juta. Selain kasus aborsi, HIV/AIDS juga meningkat. Terhitung sejak Januari hingga September 2014, total kasus HIV 22,869  dan AIDS 1,876. Faktor risiko terbesar adalah hubungan seksual dan HIV/AIDS didominasi usia produktif, yaitu 20-49 tahun.

Sejatinya, globalisasi adalah peluang emas humanisasi. Dengan terbukanya sekat antarruang di belahan bumi, nilai-nilai berpadu di atas satu panggung kehidupan.  Di mana pun seseorang merangkai jejaknya, ia senantiasa berada dalam kesatuan dengan nilai-nilai yang ada di belahan lain bumi yang satu ini. Di sini, globalisasi adalah kisah pembauran nilai. Nilai-nilai silih berganti datang tanpa diundang dan akan segera pergi jika tidak diapresiasi sewajarnya.

Dengan menawarkan aneka nilai, masing-masing pribadi tidak lagi terperangkap dalam satu nilai tunggal. Kwalitas suatu nilai senantiasa ditentukan oleh nilai-nilai lain sebagai indikator pembanding. Dengan demikian, masing-masing pribadi dapat memilih dan memiliki nilai yang terbaik. Jika, nilai yang dipegang ternyata tidak memungkinkan dirinya berkembang ke arah yang lebih manusiawi, nilai itu dapat ditanggalkan dan dengan segera diganti oleh nilai lain yang selalu tersedia.

Humanisasi yang diusung globalisasi adalah suatu pemurnian orientasi hidup sebagai milik khas dan unik setiap pribadi. Globalisasi menuntut setiap pribadi memilah dengan jeli dan jernih setiap tawaran nilai. Maka, komitmen menukik lebih dalam adalah suatu keniscayaan untuk menimbang apakah suatu nilai pantas dipertahankan sebagai fondasi hidup atau tidak.

Pribadi yang sanggup menjalani tantangan di atas akan menjadi tuan atas globalisasi; pribadi yang bertahan akan menangkap peluang positif yang ditawarkan. Sebaliknya, seseorang akan menjadi mangsa dan korban jika tidak memiliki kesanggupan untuk memastikan ke mana langkah mesti diarahkan. Pribadi yang tidak memiliki ketahanan yang cukup akan terombang-ambing dan serentak dipermainkan oleh nilai-nilai yang datang silih berganti.

Kasus-kasus dehumanisasi yang ada merupakan tanda betapa lemahnya ketahanan personal manusia abad ini. Ketika ketahanan personal rapuh, manusia mudah terjerambat dalam kegelapan. Tanpa memandang jauh ke depan, orang terjebak dalam ketergesaan dan kemendesakan untuk memiliki apa yang ditawarkan tanpa memberikan ruang kepada mata batin untuk menimbang. Manusia terseliau kemasan dan pesona apik atas tawaran yang datang walaupun  kwalitasnya belum tentu dapat dipertanggunjawabkan.  

Berhadapan dengan kenyataan ini, proyek yang mesti diupayakan adalah penguatan kapasitas personal. Setiap pribadi mesti dibekali dengan nilai-nilai primer yang pantas dan wajar sebelum memasuki arena hidup sehingga memungkinkan yang bersangkutan melangkah dengan pasti, sorot matanya tenang menatap dunia dan wajahnya berseri menghadapi perubahan dan pergeseran yang cepat.

Keluarga merupakan benteng utama dan pertama yang diandalkan untuk menjalankan misi itu. Teori sosial mengakui peran penting keluarga dalam proses sosialisasi individu ke dalam masyarakat. Melalui sosialisasi, keluarga menjadi institusi yang tak tergantikan dalam membentuk kepribadian. Di dalam keluarga, individu-individu menginternalisasi nilai-nilai, norma-norma dan adat istiadat yang ada sehingga menjadi sesuatu yang mempribadi.

Gereja Katolik selalu menggarisbawahi vitalnya panggilan setiap keluarga dalam penguatan kapasitas personal. Hal ini dapat disimak dalam Sinode Para Uskup di Roma pada bulan Oktober 2012 dan sinode yang terakhir Oktober 2014. Bagi Gereja Katolik, keluarga adalah Gereja domestik untuk pembentukan pribadi manusia melalui transmisi iman. Merujuk Konsili Vatikan II, keluarga merupakan persekutuan hidup dan kasih antara suami dan isteri yang bermuara pada kelahiran dan pendidikan anak. Kelahiran dan pendidikan anak merupakan tujuan dan sekaligus tanggung jawab persatuan cinta antara suami dan isteri sebagai mitra kerja Allah (Gaudium et Spes, 48 dan 50).

Natal adalalah pengalaman suka cita berjumpa dengan Allah dalam keluarga, demikian pesan natal yang disampaikan oleh KWI dan PGI. Lebih lanjut, KWI dan PGI berpandangan bahwa Allah hadir di dalam keluarga, terlahir sebagai Yesus dalam keluarga yang dibangun oleh pasangan saleh Maria dan Yusuf. Karena itu, natal adalah kesempatan untuk memahami betapa luhurnya keluarga dan bernilai-nya hidup sebagai keluarga karena di situlah Tuhan yang dicari dan dipuji hadir. Keluarga sepatutnya menjadi bait suci di mana kesalahan diampuni dan luka-luka disembuhkan.

Peristiwa Yesus lahir di tengah keluarga adalah antitesis atas setiap gejala desakralisasi institusi keluarga oleh pribadi yang terlarut dalam jejaring kenikmatan semu di luar ruma. Natal menjadi inspirasi untuk menguatkan harapan dan optimisme akan hakikat asali keluarga sebagai basis dan sumber suka cita bagi setiap pribadi. Pengalaman perjumpaan dalam keluarga akan memungkinkan masing-masing pribadi menjadi pewarta suka cita di tengah arus globalisasi.