KONTEKSTUALISASI MODEL TERJEMAHAN DALAM PENGUATAN KATEKESE UMAT

 Oleh Timotius Jelahu

Bertolak dari model Katekese Umat yang dikembangkan oleh Gereja Katolik Indonesia, artikel ini berpendapat bahwa pelaksanaan katekese harus membawa umat untuk menerima dan memahami kebenaran Injil. Model katekese yang digunakan seharusnya tidak mengaburkan kebenaran  iman yang diwartakan Kitab Suci dan iman yang diwariskan dalam tradisi Gereja Katolik. 

Pengantar

Dalam rangka memaknai perayaan 50 tahun Hierarki Gereja Katolik Indonesia, maka pada sidang tahunan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tahun 2011 diadakan hari studi tentang katekese.  Salah satu soal yang diangkat adalah soal isi dari katekese. Berhadapan dengan persoalan tersebut, para uskup merekomendasikan langkah pastoral di mana katekese umat perlu diperkaya dengan Injil, tradisi dan ajaran Gereja.  Model terjemahan merupakan model berteologi yang sungguh-sungguh menerima Alkitab dan tradisi doktrinal sebagai yang adikontekstual dan sekaligus lengkap. Sembari menimbang beberapa kelemahan model terjemahan, artikel ini ingin mengetengahkan pengembangan katekese umat dengan mengambil nilai-nilai positif dari model terjemahan. 

Katekese Umat

Katekese Umat dicetuskan oleh para pakar katekese se-Indonesia pada tahun 1977. Ada tiga aspek pemahaman tentang Katekese Umat, yakni antropologis, sosiologis dan teologis.  Pertama, katekese umat sebagai musyawarah iman. Dalam rumusanPertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia (PKKI) II, No. 1, Katekese umat diartikan sebagai komunikasi iman atau tukar pengalaman iman (penghayatan iman) antara anggota jemaah/kelompok.…”  Tentang katekese sebagai musyawarah iman, Josef Lalu melihat Katekese Umat sebagai kristianisasi atau inkulturasi terhadap musyawarah. Dengan mengikuti kearifan masyarakat dalam bermusyawarah, katekese umat mengarahkan umat untuk menjadikan kebijaksanaan Injili sebagai pegangan hidup, tidak hanya sebatas pada keutamaan-keutamaan yang diwariskan leluhur.  

Kedua, katekese umat sebagai analisis sosial dalam terang Injil. Pengertian kedua ini menekankan keberpihakan iman berhadapan dengan pelbagai persoalan sosial kemasyarakatan. Dalam hal ini, katekese umat bertujuan untuk membina iman yang sungguh terlibat dalam kenyataan sosial. Proses yang dijalankan dalam katekese umat dimulai dengan melihat fenomena ketidakadilan sosial yang diikuti dengan merumpunkan fenomena ketidakadilan dan mencari akar dari ketidakadilan sosial dan juga akibat-akibatnya. Tahapan selanjutnya adalah merefleksikan persoalan ketidakadilan dalam terang iman dengan berpijak pada Kitab Suci dan ajaran Gereja. Dari refleksi tersebut, proses selanjutnya adalah merencanakan aksi dan proses katekese berakhir pada aksi tertentu. 

Ketiga, katekese umat sebagai komunikasi iman. Dengan melihat katekese sebagai komunikasi iman, maka katekese umat menghidupi Konsili Vatikan II yang menekankan dialog dan menghidupi keutamaan eklesiologis Konsili Vatikan II yang menggarisbawahi Gereja Umat Allah. Dalam pelaksanaan katekese umat ada dialog pengalaman iman dalam melihat, mendalami dan menafsirkan hidup dalam terang Injil yang diarahkan pada metanoia yang memungkinkan tranformasi dalam hidup beriman. 

PKKI II telah merumuskan beberapa tujuan Kateksese Umat. Pertama, supaya dalam terang Injil kita semakin meresapi arti pengalaman-pengalaman kita sehari-hari. Kedua, agar kita dapat bertobat (metanoia) kepada Allah dan semakin menyadari kehadirannya dalam kenyataan hidup sehari-hari. Ketiga, semakin sempurna beriman, berharap, mengamalkan cinta kasih dan semakin dikukuhkan dalam hidup Kristiani. Keempat, semakin bersatu dalam Kristus, semakin menjemaat, semakin tegas mewujudkan tugas Gereja setempat dan mengokohkan Gereja semesta/universal. Kelima, kita sanggup memberi kesaksian tentang Kristus dalam hidup kita di tengah masyarakat.  

Proses katekese umat terdiri dari tiga langkah, yaitu (1) mengamati dan menyadari pengalaman umat, (2) merefleksikan pengalaman umat dalam terang Sabda Allah dan (3) memikirkan dan merencanakan aksi. Melalui katekese umat, para peserta diharapkan supaya dalam terang Injil semakin meresapi arti pengalaman sehari-hari. Katekese umat memungkinkan umat untuk melihat pengalaman hidup harian dalam terang Injil dan karena itu pengalaman religius bukanlah hal yang terpisah dari kehidupan konkret umat. Dengan kata lain, katekese umat menghantar umat untuk menghayati pengalaman hidup harian sebagai pengalam iman.  

Dalam Pesan Pastoral Sidang KWI 2011 tentang Katekese, para uskup kembali menegaskan panggilan Gereja untuk mewartakan Kabar Gembira kepada dunia. Tentang panggilan Gereja ini, katekese merupakan bagian integral dari pelaksanaan tugas pewartaan Gereja. Dalam konteks Indonesia, para uskup mengapresiasi karya katekese dengan adanya arah yang jelas sebagaimana dirumuskan dan dikembangkan dalam Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se Indonesia (PKKI) I-IX, yaitu Katekese Umat.  

Sembari menghargai upaya yang berkelanjutan dalam mengembangkan Katekse Umat, namun pada pihak lain diakui bahwa tidak sedikit pula para petugas katekese yang tidak mempunyai kemampuan yang memadai dalam menjalankan katekese karena kurangnya pembinaan yang berkelanjutan.  Persoalan lain adalah isi katekese seringkali dirasakan kurang memadai.

Di satu pihak, katekese yang memberi tekanan pada tanggapan iman atas hidup sehari-hari seringkali kurang memberi tempat pada aspek doktrinal, sehingga umat seringkali canggung dan takut ketika berhadapan dengan orang-orang yang mempertanyakan iman mereka. Di lain pihak, ketika katekese lebih memberi perhatian pada unsur-unsur doktriner, katekese dirasakan menjadi terlalu sulit bagi umat dan kurang bersentuhan dengan kenyataan hidup sehari-hari. Katekese yang kurang menyentuh hati dan memenuhi harapan ini rupanya merupakan salah satu alasan yang mendorong sejumlah orang Katolik, khususnya anak-anak dan orang muda yang pindah dan lebih tertarik cara doa dan pembinaan Gereja-Gereja lain yang dirasakan lebih menarik. Kenyataan ini menantang kita untuk lebih bersungguh-sungguh menciptakan dan mengembangkan model katekese yang bermutu dan menanggapi harapan. 

“Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil” (1 Kor 9:16)

Salah satu jawaban mengapa para waligereja menempatkan katekese pada momentum peranyaan emas itu adalah "Mewartakan Injil adalah rahmat dan panggilan khas Gereja, merupakan identitasnya yang terdalam" (Evangelii Nuntiandi, No.14). Lebih lanjut dalam rumusan pesan pastoral dari hasil sidang tersebut ditegaskan pada bagian pendahuluan bahwa Gereja mempunyai tugas utama untuk mewartakan, sesuai perintah Kristus: ".... pergilah, jadikanlah segala bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu" (Mat 28:19-20).  

Pelaksanaan katekese umat tetap mendasarkan diri pada Sabda Allah untuk menerangi pengalaman hidup sehari-hari dan merenungkan pengalaman hidup sehari hari dalam terang Kasih Allah/ Injil. Merujuk pada FABC, Injil itu "ragi yang menimbulkan perombakan di dunia ini" (FABC V, 8.1.4). Katekese merupakan bagian integral dari pelaksanaan tugas pewartaan Gereja. 

Disadari bahwa Sabda Allah mempunyai daya kekuatan untuk pewahyuan dan jawaban iman umat. Kitab Suci ditulis oleh orang-orang yang mempunyai keyakinan iman yang sama, yaitu bahwa Allah terlibat dalam sejarah manusia di mana manusia dipanggil untuk mengalami karya keselamatan Allah. Dengan kata lain, Kitab suci merupakan sebuah tawaran bagi manusia dari segala zaman dan tempat untuk mengenali bagaimana Allah menyapa manusia dalam situasi kehidupan masing-masing. Maka, kitab suci bukan sekedar kumpalan kitab yang berbicara tentang Allah, tetapi Kitab Suci mengajak orang bertemu dengan Allah. Di situ, Allah menyapa dan menawarkan kerahiman kepada manusia.

Konsili Vatikan II menegaskan bahwa Kitab Suci merupakan hukum dan kaidah tertinggi dari iman Gereja. Gereja menyakini sungguh bahwa Kitab Suci diilhamkan oleh Allah dan bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Kitab Suci memberikan dukungan dan kekuatan bagi kehidupan Gereja. Bagi Putra-Putri Gereja, Kitab Suci merupakan suatu peneguhan iman, makanan jiwa, dan sumber hidup spiritual.  Singkatnya, Gereja mengakui bahwa kitab suci adalah sabda Allah yang disampaikan kepada umat manusia sebagai “hukum dan kaidah tertinggi dari iman Gereja. Karena itu, Gereja tidak mungkin bertumbuh, berkembang dan diperbaharui tanpa Sabda Allah. 

Katekese Umat menghantar seseorang pada pemahaman Kitab Suci yang tepat dan berhasil guna. Melalui Katekese Umat, diharapkan para pesera diarahkan pada penemuan akan kebenaran Ilahi yang terdapat dalam Kitab Suci dan membangkitkan tanggapan yang begitu melimpah dalam kesaksian hidup terhadap pesan yang ditujukan Allah kepada manusia melalui Sabda-Nya.  Pada dasarnya berkatekese adalah proses untuk mengantar umat untuk berjumpa dengan Tuhan dan mengalami pertobatan hidup yang terwujud dalam tindakan nyata kepada keluarga dan masyarakat,apapun sarana yang dipakai. 

Dalam Seruan Apostolik Evangeliii Gaudium, Paus Fransiskus menegaskan demikian: “Tak hanya homili harus membekali diri dengan Sabda Allah. Seluruh evangelisasi didasarkan pada sabda itu, yang didengarkan, direnungkan, dihayati, dirayakan dan dijadikan kesaksian. Kitab Suci merupakan sumber utama evangelisasi. .... Sungguh penting bahwa Sabda Allah semakin menjadi pusat setiap kegiatan Gereja”  Mengutip Konstitusi Dogmatik tentang Wahyu Ilahi, dalam kaitan dengan katekese Paus selanjutnya menyatakan bahwa Sabda yang diwahyukan secara radikal memperkaya katekese dan seluruh daya upaya untuk meneruskan iman.   

Merawat Katolisitas Gereja: Sumbangsih Kontekstualiasi Model Terjemahan bagi Penguatan Katekese Umat

Katolisitas Gereja 

Stephen Bevans menegaskan bahwa salah satu faktor internal yang menuntut suatu pendekatan kontekstual adalah katolisitas Gereja.  Katolisitas merupakan matra Gereja yang menjamin bahwa Gereja beritikad untuk melestarikan, dan berjuang untuk hidup dan berkembang di setiap pelosok dunia dan dalam setiap konteks budaya.  

Merujuk Dokumen Konsili Vatikan II, katolisitas berarti “Dalam setiap jemaat setempat hadirlah Gereja seluruhnya” Gereja-gereja Katolik yang satu dan tunggal berada dalam Gereja-Gereja setempat dan terhimpun daripadanya (LG 23). Gereja disebut katolik karena tersebar di seluruh muka bumi dan juga karena mengajarkan secara menyeluruh dan lengkap segala ajaran iman tertuju kepada semua manusia yang mau disembuhkan secara menyeluruh pula. Keberadaan Gereja yang menyebar di seluruh muka bumi merupakan hasil karya Roh Kudus. Karena itu, Gereja disebut katolik karena dengan perantaraannya, Roh Kudus hadir di seluruh dunia. 

Kekatolikan Gereja berarti bahwa pengaruh dan daya-pengudus Roh kudus tidak terbatas pada para anggota Gereja saja melainkan juga terarah kepada seluruh dunia. Yang pokok bukanlah bahwa gereja merangkum atau menerima segala sesuatu melainkan bahwa ia dapat menjiwai seluruh dunia dengan semangatnya.  Jika kesatuan berbicara mengenai hubungan antara para anggota dan antara jemaat-jemaat, menjadi satu Gereja dalam persekutuan (menyangkut hubungan luar atau lahir), sementara kekatolikan mengenai hubungan batiniah, hubungan jemaat atau anggota dengan yang lain dalam Roh: dalam segalanya berkarya dalam Roh yang sama. 

Josef Lalu menggarisbawahi bahwa tujuan Katekese Umat merawat katolisitas Gereja dan terlibat dalam hidup kemasyarakatan.  Katolisitas merupakan matra Gereja yang menjamin bahwa Gereja beritikad untuk melestarikan, dan berjuang untuk hidup dan berkembang di setiap pelosok dunia dan dalam setiap konteks budaya.  Berhubungan dengan katolisitas Gereja, katekese umat bertujuan untuk mempersatukan peserta dalam Kristus, semakin menjemaat, semakin menjadi Gereja dan semakin tegas mewujudkan tugas Gereja setempat dan mengokohkan Gereja semesta. Di sini, katekse umat menegaskan bahwa kita diselamatkan dalam kebersamaan dengan yang lain. Dalam kebersamaan itu, umat beriman diutus untuk mewartakan Kristus dengan kata-kata dan tindakan dengan melaksasanakan tugas Gereja setempat dalam kesatuan dengan Gereja semesta. Pada akhirnya, katekese umat bertujuan untuk menguatkan kehadiran Gereja  untuk semakin berpengaruh dalam masyarakat dan masyarakat semakin menjadi Kerajaan Allah.

Terminologi Model Terjemahan 

Menurut Stephen Bevans, dalam banyak hal setiap model teologi kontekstual merupakan model terjemahan atau dalam bahasa Robert Schreiter model terjemahan merupakan model yang paling umum dalam teologi lokal. Terjemahan di sini tidak dimaksudkan dengan terjemahan harfiah.  Mengutip Charles Kraft, Bevans menyatakan bahwa terjemahan yang baik adalah terjemahan atas makna yang terkandung dalam sebuah teks, bukan melulu kata-kata atau tata bahasanya. Dengan kata lain, terjemahan yang baik tidak lain adalah terjemahan idiomatik,  padanan fungsional atau dinamis. Selalu ada sebuah isi yang mesti diadaptasi atau diakomodasi pada sebuah kebudayaan tertentu. Kraft mengatakan: kebenaran teologis mesti diciptakan kembali sebagai sebuah terjemahan atau transkulturasi yang dinamis-sepadan dalam bahasa yang menyertai bingkai gagasan para pendengar agar relevansinya yang benar bisa mereka pahami secara tepat. Proses berteologi, seperti semua bentuk komunikasi Kristen, mesti diarahkan kepada seseorang agar ia bisa melayani tujuannya. Proses itu tidak bisa bergelantungan di udara kosong.

Sasaran dari metode terjemahan padanan yang dinamis ini ialah untuk menghasilkan reaksi yang sama pada para pendengar atau pembaca kontemporer sebagaimana yang dahulu terjadi pada para pendengar dan pembaca asli. Meski demikian, Eugene Nida dan Charles Taber menegaskan bahwa setiap terjemahan harus mempertimbangkan dimensi pastoral. Karena itu, sebuah terjemahan Alkitab mesti tidak hanya memberi informasi yang dapat dipahami orang, tetapi juga menampilkan pewartaan itu sedemikian rupa sehingga orang dapat merasakan relevansinya (unsur pernyataan perasaan dalam komunikasi), dan kemudian bisa menanggapinya dalam tindakan nyata.

Model ini pada umumnya adalah jenis pertama yang dipergunakan dalam ruang lingkup penggembalaan. Keistimewaan dari model ini adalah penekanannya pada pewartaan Injil sebagai sebuah pewartaan yang tidak berubah. Berteologi dalam model ini menurut Schreiter melewati dua langkah. Langkah pertama adalah membebaskan pesan Kristiani dari kandang budaya sebelumnya. Sementara langkah kedua adalah menerjemahkan pesan Kristiani ke dalam situasi baru. Dua langkah ini ditempuh dengan bertolak dari prinsip dasar bahwa tradisi Gereja disesuaikan dengan budaya setempat. Maka, para praktisi model ini dituntut untuk mengenal secara lebih mendalam apa yang telah dilakukan dalam tradisi Gereja dan apa yang dilakukan dalam situasi budaya setempat. Dua langkah yang sama juga ditegaskan oleh Bevans. Di sini, Bevans melihat bahwa dalam model ini, sebuah pewartaan hakiki bisa dipisahkan dari cara pengungkapannya yang terikat secara kontekstual. Maka, langkah pertama dari model ini adalah melucuti pewartaan hakiki dari bungkusan konteks untuk menemukan bernas Injil. Langkah kedua adalah mencari ungkapan atau tindakan atau cerita yang cocok untuk konteks penerima. 

Hesselgrave merupakan salah satu contoh teolog yang berteologi seturut model terjemahan. Husselgrave memberi perhatian pada perubahan dan tetap mempertahankan kemurnian dan keutuhan Injil. Kontekstualisasi merupakan suatu proses dalam Kitab Suci. Kontekstualisasi merupakan terjemahan atas isi yang tak berubah dari Injil ke dalam bentuk-bentuk verbal yang sarat makna kepada rupa-rupa orang dalam budaya serta situasi yang khas.

Agar komunikasi kontekstual atas Injil  menjadi ampuh, seorang pewarta melewati dua langkah. Langkah pertama adalah mendekontekstualisasikan Injil. Pada langkah pertama ini seorang pewarta berusaha untuk memahami Injil. Untuk memahami Injil, seorang pewarta berusaha untuk melucuti bungkusan-bungkusan budaya baik budaya di mana Kitab Suci maupun bungkusan budaya dari sang pewarta. Sasaran yang diperjuangkan pada tahap pertama ini adalah agar karunia kebenaran itu menjadi gamblang atau tercapailah amanat yang bersifat adibudaya.

Langkah selanjutnya adalah mengkontekstualisasikan amanat ke dalam pengertian yang khsusus seturut konteks jemaat setempat. Dengan demikian, amanat itu menjadi sarat makna, relevan, persuasif lagi efektif dalam budaya jemaat setempat. Dalam mengkomunikasikan Injil ke dalam cara pandang yang berbeda, seorang pewarta memberi perhatian kepada dirinya sebagai sumber, perhatian pada amanat Injil sebagai substansi, dan kepada gaya sebagai sarana komunikasi. Hesselgrave menyadari bahwa kontekstualisasi Injil tidak pernah terjadi untuk selamanya dan kontekstualisasi paling baik dilakukan oleh peserta suatu budaya. 

Selain Hesselgrave, Paus Yohanes Paulus II juga menaruh perhatian pada model ini. Tak dipungkiri lagi bahwa Paus Yohanes Paulus II merupakan seorang yang sadar dan berminat terhadap kebudayaan. Pada tahun 1982, Paus Yohanes Paulus II mendirikan Dewan Kepausan untuk Kebudayaan. Dewan Kepausan ini diberi kepercayaan dengan tugas pokok untuk memberi kepada Gereja secara keseluruhan suatu daya dorong bersama dalam perjumpaan yang senantiasa diperbaharui antara pesan keselamatan Injil dan keanekaragaman kebudayaan dalam pelbagai kebudayaan di mana Gereja mesti membawa buah-buah rahmatnya.

Baginya, melalui kebudayaan makhluk-makhluk insani dapat menghayati kemanusiaannya secara penuh. Pentingnya dialog antara iman dan kebudayaan-kebudayaan bangsa manusia. Kontekstualisasi berawal dari atas ke bawah di mana

Tradisi dan pranata kekristenan menjadi standar untuk meresapi kebudayaan dan sebaliknya kebudayaan diintegrasikan atau ditolak untuk menjaga keutuhan iman dan keutamaan universalitas persekutuan Gereja. 

Pengandaian Model Terjemahan  

Pewartaan Hakiki Agama Kristen Bersifat Adibudaya 

Senada dengan Schreiter, metafora yang digunakan oleh Bevans untuk model ini adalah bernas dan sekam. Ada bernas Injil yang dikelilingi oleh budaya yang dapat dibuang, ditampi dan bersifat tidak hakiki. Merujuk Max Stackhouse, Bevans mencatat empat doktrin dasar yang dianggap sebagai asas bagi ortodoksi Kristen yang berlaku untuk semua orang: umat manusia jatuh dalam dosa dan karena itu membutuhkan penyembuhan; pewahyuan Allah berlangsung dalam sejarah umat manusia; doktrin Allah Tritunggal secara paling baik membahasakan siapakah Allah yang benar lagi sejati itu dan arti iman akan Allah bagi kehidupan dalam dunia ini dan akan Yesus adalah Kristus di mana manusia menemukan makna kehidupan yang benar. Tentang pengandaian kunci, bahwa pewartaan hakiki agama Kristen bersifat suprakultural/adibudaya, artinya pewartaan hakiki itu bisa dipisahkan dari cara pengungkapan yang terikat secara budaya. Ini berhubungan dengan “intisari Injil”, yang dalam bahasa kiasan diandaikan, “ada bernas Injil yang dikelilingi oleh sekam budaya yang dapat ditampi, dibuang, dan bersifat tidak hakiki”. 

Langkah pertama dalam proses kontekstualisasi sebuah doktrin atau praktek Kristen ialah melucutinya dari bungkusan-bungkusan budayanya (sekam budaya) untuk menemukan bernas Injil. Intisari Injil itulah yang kemudian dicarikan istilah, tindakan atau cerita yang cocok untuk “budaya penerima,” dalamnya pewartaan itu dikemas kembali. Jadi, yang terpenting dalam pengandaian ini adalah bahwa orang memahami pewartaan Kristen dalam persinggungannya yang kreatif dengan kebudayaan setempat. 

Subordinasi Konteks

Pewartaan Kristen diterima sebagai yang paling penting dan karena itu jika terjadi pertentangan antara nilai-nilai Injil dengan nilai budaya, maka yang dipertahankan adalah isi pewartaan Injil. Bagi Schreiter, pengandaian seperti ini dapat dibaca dalam pedoman pembaharuan liturgi seturut Konsili Vatikan II di mana dengan mengambil dasar liturgi Roma dan menyesuaikannya dengan kebiasaan lokal dalam hal-hal yang tidak dianggap hakiki bagi ritus-ritus tersebut. Tentang peran pembantu/subordinasi kebudayaan dalam proses kontekstualisasi. Artinya kebudayaan dipandang tidak pernah sama pentingnya dengan pewartaan Injil yang bersifat adibudaya dan “tidak pernah berubah”. Oleh sebab itu dalam proses kontekstualisasi isi Injillah yang harus dipertahankan, bukannya nilai-nilai dan praktek-praktek yang terdapat dalam sebuah kebudayaan. 

Pewahyuan Ilahi serentak Proporsional dan Kuantitatif

Proporsional maksudnya adalah bahwa pewahyuan itu dimengerti sebagai komunikasi sejumlah kebenaran atau doktrin tertentu dari pihak Allah dan oleh karena kebenaran dan doktrin itu berasal dari Allah maka seluruhnya bebas dari keterbatasan budaya atau dibungkus dalam sebuah kebudayaan yang dibenarkan Allah. Selain itu, yang dimaksudkan pewahyuan kuantitatif adalah bahwa pewartaan kristen selalu membawa sesuatu yang sama sekali baru ke dalam konteks. Kehadiran Allah baru menjadi sungguh operatif ketika pewartaan Kristen secara khusus dimaklumkan.

Keyakinan setiap kebudayaan memiliki struktur yang serupa 

Tentang pengandaian implisit, yang tidak ditandaskan namun bersifat mutlak untuk segi operasional model terjemahan ini, yaitu bahwa semua kebudayaan memiliki struktur dasar yang serupa, sehingga setiap gagasan tentang satu kebudayaan dapat diterjemahkan pula ke dalam bahasa budaya yang lain. Bila tidak secara persis, maka diandaikan bisa secara sepadan. Di sini, pola-pola dalam suatu budaya dengan cepat diterjemahkan dan dipahami oleh orang asing. Analisa budaya dilakukan untuk menemukan paralel-paralel dengan pola-pola dalam Kekristenan yang sebelumnya dikontekstualisasikan dalam budaya lain. Dengan demikian, dalam model ini setiap gagasan tentang kebudayaan dapat diterjemahkan ke dalam bahasa dari budaya lain.  

Beberapa Petimbangan Model Terjemahan bagi Katekese Umat

Titik penekanan model terjemahan adalah pewartaan agama Kristen yang berpijak pada ajaran iman dalam Kitab Suci dan yang diteruskan dalam tradisi Gereja. Salah satu kelebihan model ini adalah penerimaan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam setiap konteks sambil menaruh komitmen pada daya kuasa Injil yang membaharui. Model ini bisa dipakai semua orang yang berkomitmen dalam pergumulan dengan kebudayaan tertentu. Pemahaman awal tentang suatu kebudayaan dari masyarakat tertentu menjadi pintu masuk untuk menjadikan warta gembira Injil itu relevan. Meski demikian, ketika menggunakan model ini dalam katekese, dihimbau untuk senantiasa dengan bijaksana dalam berhadapan dengan kecenderungan yang bersifat eksklusif. Salah satu Kebudayaan bisa menjadi tolok ukur kebenaran bagi kebudayaan lainnya. Padahal, setiap budaya mempunyai nilai yang baik dalam dirinya sendiri. 

Dua sumbangan model terjemahan bagi penguatan Katekese Umat:

Kompetensi Fasilitator Katekese Umat 

Model terjemahan mengandaikan fasilitator memiliki kompetensi yang lebih dalam memahami konteks. Dalam metode terjemahan, pewarta mau tidak mau mengambil peran yang aktif. Asumsinya adalah bahwa hanya pewarta yang telah mehami konteks Injil dan tradisi, sementara penerima belum mengerti konteksnya dan hanya menerima kebenaran Injili “bernas Injil” yang sudah dikupas oleh pewarta. Pewarta harus memiliki pengetahuan yang lebih dan harus mampu mewartakannya dengan cara yang memungkinkan penerima dapat menerima dengan baik. 

Peralihan dari teks Alkitabiah menuju makna penyelamatannya di masa kini membutuhkan proses hemeneutik.  Dalama proses hermeneutic itu, perlu mewaspadai tafsiran yang fundamentalistik. Pesan teologis atau segi iman dari keseluruhan teks. Oleh sebab itu, semua rohaniwan, para imam Kristus, diakon atau katekis yang secara sah menunaikan pelayanan sabda, perlu berpegang teguh pada Alkitab dengan membacanya dengan asyik dan mempelajarinya dengan saksama. Maksudnya jangan sampai ada seorang pun diantara mereka yang menjadi “pewarta lahiriah dan hampa sabda Allah, tetapi tidak mendengarkannya sendiri dalam batin.”  

Kebenaran Kitab Suci dan Tradisi suatu Harga Mutlak

Dalam model terjemahan kebenaran Injili dan tradisi diterima sebagai yang adibudaya, mengatasi budaya. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap kebudayaan mengusung nilai-nilai tertentu. Ketika sipewarta mencekokkan nilai Injili dan tradisi ke dalam nilai suatu budaya, maka dengan demikian ada pemaknaan baru atas konteks tertentu. Model terjemahan yang dipakai dalam proses katakese tidak mengabaikan nilai yang sudah ada dalam konteks, melainkan nilai-nilai yang sudah ada diperkaya dengan nilai baru yang dimasukkan kedalamnya, yaitu kebenaran Injili. 

Penutup

Semua orang terpanggil sesuai dengan perannya masing-masing sebagai  bentuk kewajiban dari anggota Gereja agar katekese terlaksana sebagaimana mestinya. Kesadaran akan pelaksanaan katekese mesti terus dipertahankan dan dikembangkan, termasuk model yang tepat sesuai dengan konteks umat beriman. Model apa pun yang hendak dipakai mesti mampu menghantar umat dalam menerima dan memahami kebenaran Injili. Dipihak lain, kebenaran Injil yang mereka terima juga telah memberikan makna baru atas konteks mereka. Fasilitator kiranya selalu dibekali dan didorong untuk menemukan model-model baru tetapi tidak mengabutkan pesan kebenaran Injili dan iman yang diwarisakan dalam tradisi Gereja Katolik. Mengutip Kitab Hukum Kanonik bahwa perhatian terhadap katekese mesti dijalankan dibawah bimbingan otoritas gerejawi yang legitim. 

Rujukan

Bevans, Stephen B. Model-Model Teologi Kontekstual. Maumere: Ledalero, 2002.

Dokumen Konsili Vatikan II. penerj. Hardawiryana. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Kitab  Hukum Kanonik. penerj. V. Kartosiswoyo. Jakarta: Obor, 1983.

Komisi Kateketik KWI. Katekese dalam Masyarakat yang Tertekan. Yogyakarta: Kanisius, 2010.

Komisi Kateketik KWI. Hari Studi Kateketik Para Uskup KWI 2011. Yogyakarta: Kanisius, 2013.

Konferensi Waligereja Indonesia. Iman Katolik. Jakarta: Obor dan Yogyakarta: Kanisius, 1996. Lalu, Josef. “Katekese Umat” dalam Paulus Budi Kleden dan Robert Mirsel (Eds), Menerobos Batas Merobohkan Prasangka. Maumere: Ledalero, 2011.

Paus Fransiskus. Evangelii Gaudium, penerj. F.X Adisusanto dan Bernadeta Harini Tri Prasasti. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2014.

The Pontifical Biblical Commision. The Interpretation of the Bible in the Church, penerj. V. Indra Sanjaya.  Yogyakarta: Kanisius, 2003. 


DIALOG KREATIF JATI DIRI BUDAYA DENGAN JATI DIRI KRISTIANI DALAM PERSPEKTIF MGR. WILHELMUS VAN BEKKUM

Oleh: Timotius Jelahu

Orientasi dasar dari karya pastoral Mgr. van Bekkum di Gereja Katolik Manggarai adalah dialog antara jati diri budaya dengan jati diri Kristiani. Bagi Mgr. van Bekkum sikap penting dalam dialog adalah keterbukaan dan penghargaan. Lebih jauh, dialog sejati mesti diarahkan untuk humanisasi budaya dan pembaruan jati diri Kristiani. Bentuk nyata dari dialog antara jati diri budaya dan iman Kristiani adalah integrasi budaya dalam liturgi Kristiani.

PENDAHULUAN 

Gereja bukanlah menara gading yang menutup diri dan lepas-pisah dari konteks di mana Gereja berziarah. Dewasa ini, Gereja tengah berziarah bersama arus globalisasi yang ditandai oleh meningkatnya interkoneksi dan interdependensi antarkomunitas budaya. Di satu sisi, globalisasi membuka peluang terciptanya pola kebudayaan yang homogen. Namun, di sisi lain, globalisasi juga diwarnai perjuangan memperkuat identitas lokal. Bahaya yang mengintai dua kecenderungan tersebut adalah penjajahan budaya dan fanatisme budaya. Penjajahan budaya maupun fanatisme budaya, keduanya akan berujung pada krisis jati diri budaya. Karena itu, meskipun globalisasi berandil dalam humanisasi budaya, namun wajah lain dari globalisasi yang mesti diwaspadai adalah dehumanisasi budaya. 

Berhadapan dengan realitas di atas, pergumulan tentang jati diri mesti menjadi panggilan dalam setiap refleksi teologi dan karena itu teologi kontekstual adalah suatu keniscayaan sebab jati diri selalu terangkai dalam konteks-konteks tertentu. Refleksi teologi kiranya hadir untuk menemukan Yesus Kristus dalam konteks-konteks yang paling berpengaruh pada kehidupan pribadi, jemaat dan masyarakat dalam tradisi iman yang diyakini. Dalam hal ini, refleksi teologi tidak lain merupakan suatu proses dialogal dan kontekstualisasi merupakan kenyataan di mana teologi membutuhkan interaksi dan dialog. 

Teologi kontekstual baru ramai didiskusikan setelah Konsili Vatikan II. Meski demikian, Mgr. Wilhelmus van Bekkum sudah menghidupinya sebelum Konsili Vatikan II. Sebagai contoh bagaimana mengindahkan konteks dalam memaknai Firman Allah di Manggarai-Flores pada tahun 1950-an adalah Mgr. van Bekkum memasukkan perarakan persembahan dengan tarian-tarian gaya daerah Manggarai-Flores ke dalam ritus Romawi dan mengakomodir perayaan syukur (penti) dengan Liturgi Gereja yang dikenal dengan sebutan “Misa Kaba” (Misa Kerbau). Dalam Konsili Vatikan II, Mgr. van Bekkum turut serta dalam usaha untuk pembaruan liturgi. John Prior memberi kesaksian bahwa hampir semua elemen pembaruan liturgi yang kemudian disahkan Konsili, pernah dianjurkan oleh Mgr. van Bekkum tujuh tahun sebelumnya.  Dalam artikel ini, penulis akan menguraikan bagaimana Mgr. van Bekkum memaknai Firman Allah dalam perspektif dialog antara jati diri budaya dengan jati diri Kristiani.

SIAPAKAH MGR. WILHELMUS VAN BEKKUM?

Pewarta Lintas Budaya

John Prior mendeskripsikan Mgr. van Bekkum sebagai orang yang unik, tersendiri, bersendiri. Orangnya tidak hanya dibentuk sejarah tetapi juga mampu membentuk sejarah.  Pembawaan diri ini tampaknya juga dipengaruhi oleh latar belakang keluarganya. Mgr. van Bekkum lahir pada tanggal 3 Maret 1910. Pekerjaan ayahnya, Geradus van Bekkum adalah koster gereja. Hal ini menunjukkan bahwa Mgr. van Bekkum terlahir dan dibesarkan dalam keluarga yang sederhana. Tentang kesederhanaan ini, Pastor G. Rentick dalam suratnya kepada Pater Rektor, Johanes Bouma di Uden menulis demikian: “...seorang anak yang baik, cerdas, berasal dari orangtua yang baik dan jujur, namun... tidak punya duit.” Selain berasal dari keluarga sederhana, Mgr. van Bekkum juga kurang sehat pada masa kecilnya.  

Mgr. van Bekkum memulai ziarahnya dalam panggilan menjadi imam pada tahun 1922 di seminari menengah di Uden, Belanda. Kemudian, pada tahun 1929 dia memutuskan untuk bergabung dengan Serikat Sabda Allah (SVD). Masa-masa novisiat dan studi filsafat dilakoninya di Helvoirt, Belanda, sedangkan studi teologinya di Teteringen, di negeri yang sama. Mgr. van Bekkum akhirnya mengikrarkan kaul kekal pada tanggal 21 April 1935 dan tahbisan imam diterimanya pada tanggal 18 Agustus 1935. Meskipun beliau tertarik dengan negeri Cina, kongregasinya mengutus dia ke Kepulauan Nusa Tenggara, Indonesia.  

Setelah mengikuti studi etnografi pada tahun 1935-1936, Mgr. van Bekkum meninggalkan Belanda menuju daerah misi pada tanggal 4 September 1936 dan tiba di Ende pada tanggal 13 Oktober 1936. Regio SVD mengutusnya untuk berkarya di Manggarai sehingga pada bulan Januari 1937, beliau mulai berkarya di Ruteng. Dari sejarah karya misi di Manggarai, Mgr. van Bekkum digolongkan sebagai misionaris perintis, imam ketujuh belas yang berkarya di Manggarai. Dengan demikian, perbincangan seputar perkembangan Gereja Katolik Manggarai mesti juga dihubungkan dengan karya misionernya.

Perjalanan hidupnya diwarnai karir yang menantang. Awalnya, dia diberi tugas sebagai pastor kapelan. Kemudian, pada tahun 1940, dia diberi kepercayaan sebagai inspektur untuk sekolah dasar di seluruh Manggarai. Tanggung jawab yang mesti diembannya adalah menjaga sekolah-sekolah itu agar memenuhi persyaratan sesuai kesepakatan antara misi dan Pemerintah Belanda. Sementara itu, sekolah-sekolah itu berada terpencar di seluruh Manggarai dan masyarakat masih asing dengan sekolah.  

Kemudian, dia diangkat sebagai Deken dan Rektor Manggarai pada tahun 1947. Beberapa tahun kemudian, pada tanggal 8 Maret 1951 Paus Pius XII menetapkan pemekaran Vikariat Apostolik Ende menjadi tiga vikariat, yaitu Ende, Larantuka dan Ruteng. Status Dekenat Manggarai dinaikkan menjadi Vikariat Apostolik Ruteng. Mgr. van Bekkum diangkat menjadi Uskup Tituler dari Tigia dan menjabat sebagai Vikaris Apostolik Ruteng. Penahbisannya sebagai uskup dilangsungkan pada 13 Mei 1951.  

Hingga akhir hayatnya, beliau hanya berkarya di Manggarai.  Meski demikian, salah satu hal yang tak dapat disangkal adalah keberadaannya sebagai orang asing di tengah dombanya. Tidak mengherankan bahwa ketika berkarya di Manggarai, Mgr. van Bekkum berjuang untuk mengenal budaya Manggarai. Historiografi yang ditulisnya dengan sudut pandang orang luar sangat jelas menunjukkan bahwa beliau adalah orang asing yang berusaha untuk mengenal historisitas Manggarai. Bahkan menjelang ajalnya, beliau tetap tahu diri sebagai orang asing. Katanya, “Terima kasih kepada (kamu) semua, karena saya boleh hidup selama 61 tahun di tengah orang Manggarai.” 

Pewarta Sabda dalam Bingkai Ius Commissionis 

Mgr. van Bekkum merupakan anggota dari Serikat Sabda Allah (SVD). Serikat ini terbentuk di Eropa pada tahun 1875 oleh Arnold Janssen. Arah awal serikat ini didirikan adalah karya misioner di daerah misi. Pada tahun 1901 serikat ini diakui secara resmi oleh Takhta Suci dan konstitusinya mendapat approbasi resmi dari Paus pada tahun 1905. Dengan demikian, Serikat Sabda Allah telah diakui sebagai salah satu serikat religius dengan tujuan karya misi.  

Dalam nukilan sejarah SVD sebagaimana digambarkan oleh Georg Kirchberger, ada beberapa karya pastoral yang menjadi warna khas karya misi SVD. Pertama, pendidikan bagi imam pribumi baik untuk menjadi anggota serikat maupun juga untuk imam-imam diosesan. Di sini, SVD berkeyakinan bahwa sebuah serikat misioner tidak boleh bersikap egoistis, melainkan harus dengan sekuat tenaga mendukung perkembangan Gereja lokal yang dilayani.  

Kedua, kerasulan media komunikasi. Pendiri serikat ini sungguh menyadari peran media dalam karya pewartaan. Tidak mengherankan bahwa para misionaris SVD di setiap wilayah kerjanya mendirikan sebuah percetakan untuk mendukung karya misioner dan pembinaan iman serta keterampilan umat dengan barang-barang cetakan.  

Ketiga, ilmu dan sekolah. Serikat ini sangat memperhatikan pendidikan. Namun, sejak awal ada pertentangan dalam menetapkan statuta di mana pendiri ingin membagi anggota dalam dua kategori, misionaris untuk orang kafir dan misionaris untuk mengembangkan ilmu dalam semangat Kristiani. Hal ini mendapat perlawanan dari anggota sehingga tidak dimasukkan dalam statuta. Walaupun demikian, dalam perjalanan waktu masih banyak anggota SVD yang mengembangkan ilmu pengetahuan.  

Keempat, karya sosial. Para misionaris SVD memiliki perhatian yang serius dalam pengembangan karya sosial. Hal ini secara eksplisit tertuang dalam Konstitusi 115 dari Konstitusi Sementara hasil Kapitel 1967, yaitu “Cinta kasih apostolik hendaknya mendorong kita mengambil bagian dalam pembangunan ... di bidang ekonomi dan sosial ...”  

Dalam bingkai karya misioner seperti di atas, SVD mulai mengambil bagian dalam karya misi di Indonesia pada awal abad ke-20. Sebelumnya, Serikat Jesuit merupakan satu-satunya serikat yang berkarya di Indonesia. Pada tanggal 1 Maret 1913 terjadi penyerahan resmi wilayah Nusa Tenggara  dari Serikat Jesuit ke tangan SVD yang terjadi di Lahurus, Timor dari P. Adrianus Mathijsen, SJ kepada P. Petrus Noyen, SVD. Tidak lama berselang, 16 September 1913 wilayah ini ditetapkan menjadi sebuah wilayah Prefektur Apostolik. Pada tanggal 20 Juli 1914, atas persetujuan Vikaris Apostolik di Batavia dan Superior Serikat Jesuit, Vatikan memutuskan bahwa daerah misi di Flores dan sekitarnya diambil alih oleh SVD dari tangan para imam Jesuit. Kurang lebih tiga tahun kemudian, Jesuit mengakhiri misi di Flores pada 14 Mei 1917.  

Tanggung jawab SVD dalam menjalani karya misionernya didasarkan pada kebijakan Propaganda Fide  yang dikenal dengan ius commissionis. Kebijakan ini menyatakan bahwa Takhta Suci lewat Propaganda Fide menyerahkan tanggung jawab wilayah misi kepada suatu ordo atau serikat. Ordo/serikat tersebut bertanggung jawab untuk segala bentuk karya misioner dalam wilayah tersebut. Para Wali Gereja bagi suatu daerah misi juga diambil dari antara anggota ordo/serikat yang bersangkutan. Permintaan ordo/serikat untuk berkarya di satu daerah misi oleh Wali Gereja harus seizin pembesar tertinggi ordo/serikat. Demikianlah, ketika Nusa Tenggara diserahkan kepada SVD, maka segala karya misioner menjadi tanggung jawab SVD.  

Ada pun realisasi tanggung jawab dalam karya misi itu dapat dilihat pada beberapa hal berikut. Pertama, Flores-Sumba Contract/Regeling.  Kontrak ini muncul pada tahun 1913, tetapi kemudian mendapat penolakan dari pemerintah di Belanda. Melalui perundingan dan perubahan formulasi, kontrak ini diumumkan pada tanggal 20 Oktober 1915. Isi dari kontrak ini adalah misi/zending bebas menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran dengan biaya ditanggung oleh pemerintah dan pemerintah tidak akan mencampuri urusan itu selama misi/zending menjalankan usaha ini dengan hasil yang memuaskan.  Selain itu, dalam kontrak ini disebutkan bahwa Nusa Tenggara dibagi ke dalam dua wilayah, yaitu wilayah misi dan wilayah zending. Misi Katolik hanya berkarya di wilayah Flores, Timor Tengah Utara, dan Belu sedangkan zending Protestan berkarya di Sabu, Rote, Sumba, Kupang, Timor Tengah Selatan, Alor dan Pantar. Dengan demikian, tidak ada cross missionering kedua wilayah itu.  

Bertolak dari kontrak itu, Mgr. Noyen secara bertahap membuka sekolah-sekolah misi. Dalam hal ini, uskup bertindak sebagai penguasa tunggal dibantu oleh seorang inspektur sekolah misi. Inspektur sekolah misi bertanggung jawab untuk mengadakan inspeksi sebagai persiapan inspeksi oleh pemerintah. Dalam pelaksanaannya, misi SVD menyelenggarakan pendidikan dengan diboncengi pewartaan Sabda. Di sini, sekolah menjadi pusat misi dan kemajuan karya misi dicapai lewat sekolah-sekolah. Sekolah merupakan kantong strategis kristianisasi.  

Kedua, manuale pastorale. Pada tahun 1922, Superior Jenderal SVD mengunjungi Nusa Tenggara dan pada kesempatan itu diadakan Konferensi Misi di Ndona pada tanggal 20-26 Maret. Konferensi itu diadakan dengan tujuan untuk membahas program dan metode pastoral yang sama di seluruh Nusa Tenggara. Dalam perkembangan selanjutnya, konferensi misi ini diadakan secara berkala yang berpuncak pada Sinode Ndona tanggal 16-22 Agustus 1935 di bawah pimpinan Vikaris Apostolik H. Leven SVD. Hasil dari Sinode itu dibukukan pada tahun 1939 sebagai Manuale Pastorale. Philip L. Riwu mengakui bahwa adanya pedoman pastoral dan sikap para misionaris yang secara tertib melaksanakannya merupakan salah satu kunci keberhasilan karya SVD di Nusa Tenggara.  

Ketiga, Flores Timor Plan. Pembangunan yang terorganisasi dan terkoordinasi untuk Nusa Tenggara dapat dilaksanakan dengan baik melalui Flores Timor Plan. Hal ini diawali dengan survei di Flores dan Timor oleh ahli dari Jerman untuk merancang rencana pengembangan sosial ekonomi umat berbasiskan data dan fakta di lapangan. Hasil dari survei itu tertuang dalam FTP di mana program kerja itu berisikan 357 proyek yang dialokasikan di sekitar 28 tempat sebagai pusat. Proyek-proyek itu dibagi ke dalam tujuh bidang, yaitu (1) Pertanian dan perikanan, (2) pertukangan dan home industry, (3) perumahan, (4) kesehatan dan pekerjaan sosial, (5) pendidikan formal dan nonformal, (6) perhubungan dan (7) organisasi dan kaderisasi. 

Untuk merealisasikan cita-cita menjadikan Flores sebagai Pulau Katolik, mengutip Fransiska Widyawati, ada pun langkah yang ditempuh adalah membaptis sebanyak mungkin orang lokal. Pembaptisan dijalankan tanpa memahami betul soal agama Katolik. Setelah dibaptis, mereka diberi pengajaran sederhana dan dari antara mereka dipilih untuk menjadi guru agama. Kemudian guru agama ini mempersiapkan dan juga membaptis orang lain untuk menjadi Katolik. Dalam karya pembaptisan ini, para misionaris lebih mengutamakan pembaptisan anak-anak. Dengan kata lain, para misionaris memprioritaskan pembaptisan generasi muda ketimbang generasi tua. 

KONTEKS PASTORAL MGR. WILHELMUS VAN BEKKUM

Manggarai: Peralihan dari Komunitas Tertutup ke Komunitas Terbuka 

Menurut Robert Lawang, struktur sosial masyarakat Manggarai yang murni dapat dilihat sebelum tahun 1600-an di mana belum ada pengaruh asing di Manggarai. Adapun struktur sosial-budaya asli Manggarai adalah sistem kekerabatan wa’u.  Dalam sistem klan patrilineal ini, anggota klan dapat tinggal dalam satu béo (kampung) atau juga dapat tinggal di kampung yang berbeda. Jika anggota klan tinggal di tempat yang berlainan, maka dalam kesempatan-kesempatan tertentu, mereka akan berkumpul, seperti nempung, penti, dan kelas.  

Setiap béo hidup dan tinggal terpisah tanpa ada rasa kesatuan dengan béo-béo yang lain. Lebih lanjut setiap béo memiliki lima hal berikut: mbaru gendang, waé téku, compang, boa dan lingko.  Otoritas tertinggi dalam setiap béo adalah tu’a béo/tu’a golo yang merupakan gabungan dari tu’a panga atau anak laki-laki yang sudah berkeluarga dari klan tersebut. Badan ini dikepalai oleh orang yang paling tua dalam struktur kekerabatan wa’u. Keputusan yang diambil biasanya selalu merujuk pada warisan yang diturunkan dari pendahulu yang mengedepankan bantang cama réjé léléng dan lonto léok. Hal menonjol yang berhubungan dengan béo adalah mengutamakan kepentingan umum, seperti kebersihan béo, perawatan dan pemeliharaan hukum adat, pelaksanaan ritus-ritus adat.  

Kebutuhan ekonomi bergantung pada lodok lingko (membuka dan membagi kebun baru), tobok (membagi ulang kebun yang sudah digarap pada musim sebelumnya) dan peternakan. Karakter dari pola berkebun lodok lingko dan tobok adalah sistem ladang berpindah-pindah. Ladang-ladang tidak digarap sepanjang tahun; setelah panen usai, kebun dibiarkan tanpa dirawat hingga musim berikutnya tiba. Jika tidak memberikan hasil yang cukup, kebun itu tidak dikerjakan lagi dan dibiarkan begitu saja dan pada akhirnya dilepaskan. Sementara dalam peternakan, orang Manggarai tidak ada kebiasaan untuk memelihara ternak dalam kandang. Hewan peliharaan, terutama babi, kerbau dan kuda ini sangat dibutuhkan dalam urusan adat, seperti belis. Dilihat dari sisi ekonomis, orang Manggarai tradisional relatif sama. Kekurangan kebutuhan primer ditalangi oleh kearifan untuk ngende, tuda dan paar weki.  

Disinyalir bahwa kehadiran pengaruh asing membawa perubahan besar bagi situasi-situasi di atas. Dalam hal ini, kekuasaan Bima diterima sebagai faktor luar yang mempercepat proses integrasi Manggarai. Kekuasaan Bima membagi Manggarai ke dalam satuan administratif yang disebut dalu. Perkembangan yang lebih signifikan mulai terasa pada awal ke-20 dengan hadirnya Belanda dan Misi Katolik di Manggarai. Belanda dan Misi Katolik mempercepat integrasi Manggarai dengan pengangkatan Alexander Baroek, putera Manggarai sebagai raja.  

Integrasi Manggarai dan pengangkatan putra pribumi memimpin Manggarai membawa beberapa perubahan. Pertama, komunitas kecil béo tidak lagi menjadi komunitas tertutup dan terpisah melainkan masing-masing komunitas kecil berada dalam jejaring sosial budaya yang berhubungan dengan yang lain. Hal ini menjadi nyata dalam integrasi Manggarai di mana kedaluan yang sudah terbentuk pada masa penguasaan Bima kini berada dalam jaringan relasi vertikal dan horisontal.  

Bersamamaan dengan proses integrasi ini, (kedua) perubahan lain yang patut dicatat adalah perubahan pola pertanian, yakni dari pertanian sederhana ke pertanian modern yang ditandai dengan percetakan sawah  dan penanaman kopi sebagai komoditas ekonomi.  Dengan demikian, jika sebelumnya lahan pertanian hanya diolah pada musim tertentu, lalu dibiarkan tanpa perawatan maka mulai pada masa ini, lahan pertanian mulai diolah dengan baik dan pelan-pelan dipelihara. Dengan kata lain, terjadi perubahan dari sistem ladang berpindah-pindah ke sistem ladang menetap.

Selain dua hal di atas, (ketiga) perkembangan lain adalah, orang Manggarai sudah mulai mengenyam dunia pendidikan. Kehadiran dunia pendidikan mendatangkan kategori sosial yang baru, yaitu pegawai (kantor) dan guru. Kehadiran pegawai dan guru ini menimbulkan kegoncangan mental yang mana ada orang yang tidak berkebun tetapi bisa hidup lebih baik dari para petani yang bekerja menghasilkan padi, jagung dan lain-lain. Untuk mereka ini disebut limé nggélok (tangan bersih) dan mereka dianggap sebagai orang-orang istimewa di mana gaya hidup mereka mirip dengan orang Belanda dan berbeda dengan orang Manggarai. Diakui bahwa kehadiran mereka membawa pengaruh bagi kehidupan orang Manggarai. 

Bertolak dari gambaran di atas, situasi Manggarai pada zaman itu berada dalam peralihan penting bagi perkembangan Manggarai selanjutnya. Dalam peralihan itu, kehadiran pihak asing memainkan peran penting dalam memantik perubahan. Pihak asing dengan kuasa dan kelebihan yang dimiliki mengubah hidup orang Manggarai baik dari segi ekonomi, politik maupun budaya. Singkatnya, kontak dengan dunia luar memungkinkan terjadinya peralihan.

Gereja Lokal Mulai Bertumbuh dan Berkembang

Umumnya diterima bahwa pewartaan iman Kristen Katolik memasuki Flores pada abad ke-16. Hal ini dimulai di Flores Timur di mana pada tahun 1559 seorang saudagar mempermandikan Raja Solor dan anggota keluarganya. Misi Solor ini cukup berkembang baik di mana misionaris Portugis menjadi ujung tombak karya misi dan berhasil mendirikan Gereja dan seminari. Dalam perjalanan selanjutnya, Misi Solor mengalami kesulitan. Ada banyak misionaris yang mengalami penganiayaan dan penyerbuan. Bertolak dari situasi ini, maka dibangunlah benteng. Sementara itu, Bangsa Portugis juga sering menyerang orang-orang setempat yang dianggap sebagai pemberontak. Hal ini justru menimbulkan kebencian yang lebih besar kepada Portugis.  

Dari Pulau Solor, misionaris Dominikan mengunjungi Larantuka. Perlahan-perlahan, misi ini berkembang ke arah barat Pulau Flores. Bahkan Pulau Ende yang sekarang beragama Islam adalah juga wilayah yang berhasil dikristenkan pada abad ke-16. Dari karya misionaris perintis ini, tercatat ada sekitar 25.000 umat Katolik dari Flores Timur hingga Ende. Karya misi dari Bangsa Portugis rupanya berakhir pada abad ke-16 dengan kedatangan Belanda. 

Meskipun Flores sudah mengalami karya misi Gereja pada abad ke-16, namun hal ini tidak menyebar hingga ujung barat Pulau Flores. Manggarai yang berada di ujung barat Flores merupakan bagian paling akhir yang berkenalan dengan Kekristenan. Kabar Gembira mulai menyapa Manggarai pada tahun 1912 di mana pada tanggal 17 Mei 1912 misionaris Yesuit, P. Hendrikus Looijmans mempermandikan beberapa orang Manggarai di Jengkalang Reo. Walaupun sudah ada yang dibaptis menjadi Katolik, hingga kedatangan SVD belum ada karya misi yang tetap untuk Manggarai. 

Serikat SVD untuk pertama kali berkenalan dengan Manggarai pada tahun 1914 ketika P. Noyen menjelajahi Manggarai. Namun, SVD sesungguhnya mulai berkarya di Manggarai pada tahun 1920. Kehadiran misionaris SVD mempercepat pertumbuhan Gereja lokal. Misionaris SVD yang pertama kali berkarya di sana adalah P. Bernhard Glaneman. Dia membuka stasi misi di Ruteng pada tahun 1920 dan menetap di sana. Pada tahun berikutnya, 1921, P. Wilhelmus Yansen membuka stasi misi yang kedua, yaitu Lengko Ajang dan P. Frans Eickmann membuka stasi misi yang ketiga di Rekas pada tahun 1924.  

Gereja lokal ini mengalami pertumbuhan yang cepat. Dari tiga stasi ini, Gereja terus berkembang pesat. Pada tahun 1929 wilayah misi Manggarai ditetapkan sebagai dekenat. Hingga pesta perak misi SVD di Flores pada tahun 1939, umat Katolik Manggarai berjumlah 65.592. Selama tahun yobel itu terjadi pembaptisan sebanyak 7.388 jiwa, termasuk 3.197 anak. Lebih lanjut, keberadaan Gereja lokal ini makin kuat ketika status Dekenat Ruteng ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik. Akhirnya, Gereja muda ini oleh kemurahan Takhta Suci ditingkatkan menjadi keuskupan pada tanggal 3 Januari 1961. 

MEMAHAMI KARYA PASTORAL MGR. WILHELMUS VAN BEKKUM: DIALOG KREATIF JATI DIRI BUDAYA DAN JATI DIRI KRISTIANI 

Keterbukaan dan Penghargaan: Sikap Dasar dalam Dialog

Mgr. van Bekkum memasuki Manggarai ketika masyakarat Manggarai sedang beralih dari komunitas tertutup menjadi komunitas terbuka. Belum lama sebelumnya, Manggarai telah mulai terbuka dengan dunia luar. Sebelumnya, sudah ada yang berminat untuk memperhatikan budaya Manggarai, seperti J.W. Meerburg.  Namun, Mgr. van Bekkum boleh dikatakan sebagai orang pertama yang memberikan perhatian khusus pada budaya Manggarai. 

Ketertarikan terhadap budaya dapat juga diterima mengingat dia merupakan misionaris perintis (imam ke-17 yang menetap di Manggarai) untuk karya misi di Manggarai. Hingga akhir hayatnya, dia hanya berkarya di Manggarai.  Meski demikian, salah satu hal yang tak dapat disangkal adalah keberadaannya sebagai orang asing di tengah dombanya. Tidak mengherankan bahwa ketika berkarya di Manggarai, Mgr. van Bekkum berjuang untuk mengenal budaya Manggarai. 

Mgr. van Bekkum merupakan orang pertama yang menulis historiografi Manggarai. Dalam kerendahan hatinya Mgr. van Bekkum menyadari kekayaan yang terkandung dalam suatu budaya sembari mengakui keterbatasannya dalam mengenal budaya lain. Dia menulis demikian: “Selama mengumpulkan bahan adat untuk suatu maksud tertentu, saya belum menjumpai satu titik terangnya soal adat ini.”  Pernyataan ini juga menunjukkan kesadaran bahwa dengan sudut pandang sebagai orang asing, Mgr. van Bekkum memiliki keterbatasan dalam memahami budaya Manggarai. Meski demikian, salah satu hal yang dipetik adalah dirinya telah berusaha seturut kemampuannya untuk mengenal dan memahami budaya Manggarai. 

Menjelang ajalnya, Mgr. van Bekkum tetap tahu diri sebagai orang asing. Katanya, “Terima kasih kepada (kamu) semua, karena saya boleh hidup selama 61 tahun di tengah orang Manggarai.”  Dalam ungkapan terima kasih ini, meskipun sebagai orang luar dengan peradaban barat yang lebih maju, beliau tetap memilih untuk mengakhiri hidupnya dan menyatu dengan tanah Manggarai. Pilihannya untuk mengakhiri hidup di tanah Manggarai dapat dilihat sebagai ungkapan kecintaan dan penghormatan terhadap budaya Manggarai. 

Sebagai orang asing, mengenal budaya lain bukanlah perkara mudah. Selain itu, dia tidak ditugaskan sebagai etnolog atau antropolog oleh serikatnya. Dalam kesibukan untuk menjalankan tugas pastoralnya, Mgr. van Bekkum masih meluangkan waktu untuk mempelajari budaya Manggarai. Baginya, karya pastoral hanya mungkin membuahkan hasil jika karya itu didasari oleh komitmen untuk memperhatikan secara seimbang karya routine (rutin) dan research (riset). Dari sini, diakuinya pula hal ini hanya mungkin jika memiliki sikap untuk mengurbankan diri.  Apa yang dikatakan ini bukanlah kata-kata hampa. Kesungguhannya dalam mengenal budaya Manggarai telah menjadi sumbangan berharga bagi Gereja Katolik Manggarai dan untuk orang Manggarai seluruhnya.  

Perjumpaan antara budaya Manggarai dan iman Kristiani hanya mungkin terjadi karena keterbukaan masing-masing pihak. Manggarai adalah suatu masyarakat yang responsif dan adaptif terhadap Kekatolikan. Orang Manggarai mudah untuk menerima dan berkonversi dari agama tradisional ke agama dunia serta mengadopsi Kekatolikan sebagai bagian dari identitas mereka. Bagi orang Manggarai, iman Katolik tak dapat dialami dalam bentuknya yang murni terpisah dari ekspresi-ekspresi budaya.  

Dalam keterbukaan itu, iman Kristiani sejatinya menghargai budaya setempat. Mgr. van Bekkum dalam Konsili Vatikan II merupakan salah satu anggota komisi liturgi yang getol menyuarakan pemakaian bahasa setempat dalam liturgi. Selain itu, ia juga mengakomodir orang-orang dari budaya setempat untuk terlibat dalam komisi liturgi. Mgr. van Bekkum menandaskan: 

I considered my people much wiser than myself, especially the aged ones among them, ... and so like a pupil I was always ready to learn whatever I could from them, especially whatever in their culture had possibilities of adaptation in the field of liturgy. (Saya menganggap umat saya lebih bijaksana daripada diri saya sendiri, khususnya orang yang sudah tua di antara mereka ... dan seperti seorang murid saya selalu siap belajar apa saja yang bisa didapatkan dari mereka, khusunya apa saja dalam budaya mereka yang mungkin dapat diadaptasi dalam liturgi.)  

Sasaran Dialog: Humanisasi Budaya dan Pembaruan Iman

Iman Kristiani dapat berkembang dan bertahan karena adanya ruang perjumpaan dengan budaya setempat. Dengan kata lain, iman Kristiani selalu bertumbuh dalam konteks. Karena itu, dialog timbal-balik antara keduanya sejatinya akan memperkaya kedua belah pihak.  

Mgr. van Bekkum merupakan salah satu pembicara pada Kongres Liturgi Internasional di Asisi pada tahun 1956. Pada kesempatan itu, dia berbicara tentang pembaruan liturgi untuk keperluan misi.  Baginya, kebaktian religius asli budaya setempat tidak boleh dibuang dan menjadi hilang karena pemakluman kabar gembira. Sebaliknya, para misionaris hendaknya menghormati keanekaan dunia ritual masyarakat setempat dan memberi fungsi baru dalam kebaktian Kristiani. Demikian ia berpandangan: 

The age-old rites of these people give expression to the most delicate nuances of spiritual experience, and it is a very real loss if we do not give at least the nobler forms of their ritual a new function in Christian worship. (Upacara kuno mereka mengekspresikan pengalaman spiritual dengan nuansa lembut dan hal itu tampak akan hilang jika kita tidak memberikan paling sedikit bentuk-bentuk yang lebih agung dari ritual mereka melalui suatu fungsi baru dalam kebaktian Kristiani). 

Mgr. van Bekkum mengakui adanya perubahan sebagai buah dari adanya kontak dengan dunia luar, apalagi watak khas orang Manggarai ialah reseptif dalam artian mudah menerima pengaruh luar, entah itu pengaruh baik atau buruk. Berhadapan dengan kepribadian seperti ini, Mgr. van Bekkum mengakui bahwa orang Manggarai mudah bertransformasi ke arah cara hidup yang lebih baik. Di pihak lain, adanya kontak dengan dunia luar juga mengakibatkan kehilangan unsur-unsur tertentu. Salah satu hal yang diamatinya adalah kepercayaan tua atau lama akan hilang dari kehidupan bersama dalam jangka waktu beberapa windu. 

Dialog sejati tidak hanya dinyatakan dengan mengambil nilai-nilai budaya untuk kepentingan asing. Salah satu hal yang dihayati oleh Mgr. van Bekkum adalah memberikan kritik kebudayaan dalam rangka humanisasi budaya. Jika mata batin melihat yang amanusiawi dalam suatu budaya, sikap yang tepat adalah tidak membiarkan hal itu tetap berjalan. Pergumulan Mgr. van Bekkum dapat terbaca dari pertanyaan berikut: “Apakah manfaatnya kelak hendak menempatkan satu suku bangsa sebagai obyek hidup dalam sebuah museum?”

Di pihak lain, budaya Manggarai telah memperkaya iman Kristiani. Di sini, dialog dengan budaya Manggarai telah memungkinkan pembaruan iman. Mgr. van Bekkum mengakui bahwa kehidupan agama tradisional dapat membantunya dalam memahami liturgi secara baik. Sebelum bertemu dengan kekayaan rohani dalam budaya setempat, Mgr. van Bekkum kurang menghayati liturgi dengan baik. Namun, dalam perjalanan waktu dia akhirnya mengakui kecintaan terhadap liturgi juga menjadi buah dari pertemuannya dengan “bangsa kafir”. Berkaitan dengan hal ini, dia menegaskan bahwa dalam menghidupi liturgi setiap misionaris perlu mengindahkan sudut pandang budaya setempat terutama dalam kebaktian religiusnya. 

Integrasi Budaya dalam Liturgi sebagai Dialog antara Jati Diri Budaya dan Iman Kristiani

Para misionaris SVD menyadari bahwa karya pewartaan tidak boleh lepas pisah dari budaya setempat. Hal ini dapat terbaca dari perhatian mereka terhadap budaya Manggarai. Mgr. van Bekkum berkisah demikian: “Diri saya baru memasuki wilayah Manggarai kira-kira pada tanggal 21 Januari 1937. Di situ saya bertemu dengan 10 pater dan mengalami suasana pastoral yang luar biasa. Keadaan paroki, bahasa daerah, adat istiadat, kebudayaan, itulah bahan harian pembicaraan mereka.” Perhatian terhadap budaya juga sangat nyata ketika para misionaris berkatekese dan merayakan ibadat dalam bahasa Manggarai. Selain itu, mereka giat menerjemahkan doa-doa Gereja ke dalam bahasa Manggarai.   Hal ini diteruskan pada masa kegembalaan Mgr. van Bekkum. Misalnya, dalam hasil sidang Dewan Konsultores 1961 tertuang beberapa hal berkaitan dengan penerjemahan dan pemakaian bahan terjemahan dalam liturgi. 

Tanpa mengabaikan karya baik dari semua misionaris lainnya, dua nama yang disebut-sebut dalam pengintegrasian budaya Manggarai dalam Kekristenan adalah Mgr. van Bekkum dan Jilis A. J. Verheijen.  Pada tahun lima puluhan, Mgr. van Bekkum mulai memasukkan unsur-unsur adat ke dalam liturgi. Inisiatif ini merupakan terobosan berani dan serius ke arah inkulturasi liturgi di Flores. Upaya ini merupakan jalan yang mengharumkan budaya Manggarai dan sekaligus mengantar Mgr. van Bekkum menjadi tokoh penting dalam Konsili Vatikan II untuk Komisi Liturgi.  

Dalam semangat inkulturatif, upacara penti (syukur panen) dintegrasikan dalam ekaristi kudus. Untuk pertama kali misa penti ini diadakan di Riwu dan Manus. Ada pun perayaan syukur ini dimulai dengan memberi penghormatan kepada leluhur di mana imam mengadakan pemberkatan makam. Ritus ini dilanjutkan ke tempat penimbaan air dan air berkat yang diambil dari situ dipakai untuk memberkati semua rumah teristimewa kamar tidur orang tua di seluruh kampung. Puncak dari kegiatan ini adalah misa di tengah kampung di mana wakil dari setiap klan mengelilingi altar.  Perayaan syukur ini dikenal dengan sebutan “Misa Kaba”.

Selain misa kaba, upaya pengintegrasian ini yang juga masih terpelihara baik sampai sekarang tampak pada penggunaan Dere Serani. Dere Serani merupakan buku nyanyian yang di dalamnya berisi kumpulan lagu-lagu asli Manggarai yang bisa dipakai dalam perayaan liturgi. Sebelum Mgr. van Bekkum tiba di Manggarai sudah diberi dorongan ke arah itu, tetapi usaha ini baru mendapat tanggapan serius pada tahun 1936 (tahun masuknya Mgr. van Bekkum di Manggarai).  Kontribusi dari Mgr. van Bekkum adalah memberikan dorongan dan motivasi sehingga pada tahun 1960 Dere Serani Jilid II dicetak yang berisikan 52 lagu hasil karya 24 komponis. Pada tahun 1963 Dere Serani berkembang lebih pesat lagi. Untuk cetakan ketiga, ada 96 lagu asli dan 84 lagu terjemahan.  

Dalam Konsili Vatikan II, Mgr. van Bekkum merupakan salah satu Bapa Konsili yang getol memperjuangkan penggunaan bahasa ibu dalam liturgi. Bahkan dia berharap agar semua bahasa menjadi bahasa sakramen. Sebab dengan menggunakan bahasa ibu, vitalitas dan kekayaan liturgi akan tercapai.  Dengan kata lain, penggunaan bahasa ibu akan menjadikan pewartaan itu dimengerti dan diresapi.  Apa yang menjadi keyakinannya sungguh dihayati dalam karya pastoralnya. Misalnya, surat gembalanya diterjemahkan ke dalam bahasa Manggarai. 

Mgr. van Bekkum mencemaskan bahwa ketika orang-orang menjadi Kristen, mereka kehilangan warisan religius, sosial dan budaya yang sudah lama dan yang mempresentasikan hal fundamental dalam hidupnya, keyakinannya dan tindakannya. Mgr. van Bekkum menandaskan: 

When a pagan becomes Christian, what in fact happens? First of all he loses all the religious, social, and cultural heritage which he had in the old tradition and which represented to him the fundamental things in his life, his convictions and his actions. (Ketika seorang kafir menjadi orang Kristen, apa sebenarnya yang terjadi? Yang pertama adalah ia kehilangan semua kebiasaan religius, sosial dan budaya yang diwariskan dari tradisi lama dan yang merepresentasikan baginya hal-hal fundamental dalam hidup, keyakinan dan tindakannya).   

Kenyataan seperti ini merupakan hasil dari cara pandang yang bertolak dari luar terutama pada pandangan ilmiah dan hal ini menyulitkan misionaris untuk memahami apa yang sedang dilepaskan kaum kafir dalam kristenisasi. Kabar Gembira kiranya tidak membuang atau menghilangkan ritus-ritus pribumi, tetapi berjuang untuk mengkristenkan upacara-upacara setempat dan dengan demikian menampung semangat religus melalui sarana rahmat dan pada saat yang sama memerangi hal yang sia-sia.  

Bertolak dari pengakuannya tentang ritus-ritus yang ada dalam budaya setempat, Mgr. van Bekkum berpendapat bahwa ritus-ritus itu dapat dintegrasikan ke dalam liturgi Katolik. Di sini, ritus-ritus pribumi dilihatnya sebagai persiapan untuk liturgi Katolik. Tindakan tersebut merupakan jawaban untuk memenuhi kerinduan umat beriman akan kebaktian yang menyapa mereka. Meski demikian, perlu diwaspadai bahwa tindakan tersebut tidak boleh mengabaikan hal-hal esensial dari kekristenan. 

PENUTUP

Salah satu ciri dasar Konsili Vatikan II adalah dialog. Bagi Karl Rahner sebagaimana dikutip oleh Georg Kirchberger, Konsili Vatikan II merupakan tanda Gereja memasuki era baru, yaitu dari Gereja Eropa menjadi Gereja sedunia. Hal ini berarti bahwa penghayatan iman Kristiani juga dipengaruhi dan dibentuk oleh pelbagai bentuk kebudayaan seluruh dunia.  Di sini, Gereja mesti berdialog dengan konteks di mana ia bertumbuh dan berkembang. Tanpa dialog dengan konteks, iman Kristiani tidak akan berakar dalam suatu konteks budaya. 

Mgr. van Bekkum telah menghayati dialog antara jati diri budaya dengan jati diri Kristiani sebelum Konsili Vatikan II. Bahkah ia merupakan salah satu Bapa Konsili yang getol menyuarakan agar Gereja berdialog dengan budaya setempat. Tampaknya, dialog telah menjadi daya dorong dalam menjalankan karya pastoralnya. Dialog sejati akan memperkaya budaya di satu sisi dan membarui iman Kristiani di pihak lain. Sebagai bentuk dialog kreatif antara jati diri budaya dengan jati diri Kristiani, Mgr. van Bekkum telah mengintegrasikan nilai budaya ke dalam liturgi Kristiani sebelum Konsili Vatikan II. 

Rujukan

Baack, B. J., “Karya SVD Di Flores Dalam Bidang Sosial Ekonomi” dalam Hendrik Jawa, et al. (eds.), Dalam Terang Pelayanan Sabda. Ende: Provinsi SVD Ende, 1990, hlm. 144-160.

Boelaars, Huub J. W. M., Indonesianisasi Dari Gereja Katolik Di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 2005. 

Camnahas, Antonio, “100 Tahun SVD Di Indonesia: Konteks Historis, Kesuksesan, Kegagalan, Dan Retrospeksi Historis Untuk Masa Depan SVD” (ms.). Maumere, 6 September 2013.

Chen, Martin, “‘Tahun Rahmat Tuhan Telah Datang’ (Luk. 4:19) Refleksi Praksis Pastoral 100 Tahun Gereja Katolik Manggarai”, dalam Martin Chen dan Charles Suwendi (eds.), Iman, Budaya dan Pergumulan Sosial. Jakarta: Obor, 2012, hlm. 2-37. 

Jawa, Hendrik, “Karya SVD Di Bidang Pendidikan”, dalam Hendrik Jawa, et al. (eds.), Dalam Terang Pelayanan Sabda. Ende: Provinsi SVD Ende, 1990, hlm. 86-109.

Jehandut, Bonefasius, Uskup Wilhelmus van Bekkum Dan Déré Serani. Jakarta: Nera Pustaka, 2012.

Kirchberger, Georg, “Sejarah Serikat Sabda Allah”, dalam Hendrik Jawa, et al. (eds.), Dalam Terang Pelayanan Sabda. Ende: Provinsi SVD Ende, 1990, hlm. 21-41.

________________, “Pengantar”, dalam Georg Kirchberger (ed.), Gereja Berwajah Asia. Ende: Nusa Indah, 1995, hlm. 6-12.

Lawang, Robert, “Stratifikasi Sosial Di Cancar Manggarai-Flores Barat”. Disertasi, Universitas Indonesia , Jakarta, 1989.

Mboi, Ben, “Seratus Tahun Societas Verbi Divini (1913-2013)” (ms.). Maumere, 6 September 2013.

Mukese, John D. dan Eduard Jebarus, Indahnya Kaki Mereka (Jilid I). Ende: Provinsi SVD Ende, 2004.

Möhlmann, Anton dan Wolfgang Ndouk, “Kronik Sejarah 75 Tahun SVD Berkarya Di Indonesia”, dalam Hendrik Jawa, et al. (eds.), Dalam Terang Pelayanan Sabda. Ende: Provinsi SVD Ende, 1990, hlm. 45-68.

Prior, John M., “Sekapur Sirih”, dalam Bonefasius Jehandut, Uskup Wilhelmus van Bekkum Dan Déré Serani. Jakarta: Nera Pustaka, 2012, hlm. iii-x.

Riwu, Philip L., “Karya SVD Di Flores: Beberapa Sumbangan Pastoral”, dalam Hendrik Jawa, et al. (eds.), Dalam Terang Pelayanan Sabda. Ende: Provinsi SVD Ende, 1990, hlm. 67-85.

Satu, Adam, “Karya Patoral SVD Di Manggarai 1914 - Sekarang dan Masa Mendatang”, dalam Martin Chen dan Charles Suwendi (eds.), Iman, Budaya dan Pergumulan Sosial. Jakarta: Obor, 2012, hlm. 38-52.

Sejarah Gereja Katolik Indonesia, I. Jakarta: Dokumentasi Penerangan KWI, 1974.

Sejarah Gereja Katolik Indonesia, III b. Jakarta: Dokumentasi Penerangan KWI, 1974.

van Bekkum, Wilhelmus, “Gedanken zur ‘Constitutio De Sacra Liturgia”, dalam Verbum. vol. 6, 1964, hlm. 124-136

____________________, “Laporan Sidang Pertama Konsultor-Konsultor Dioses Ruteng 27 Juli-29 Juli 1961”, (ms).

____________________, “Surat Puasa” (ms.). 1952.

____________________, “Surat Puasa” (ms.). 1955.

____________________, “Surat Puasa” (ms.). 1956.

____________________, “Surat Puasa” (ms.). 1958.

____________________, “Surat Puasa” (ms.). 1961

____________________, “The Liturgical Problems of the Missions”, dalam Worship. Vol. XXXVII, No. 8, August-September 1963, hlm. 501-508.

____________________, “Warloka - Todo - Pongkor En Brok, Geschiedenis van Manggarai”, dalam Cultureel Indië, Vol. VI, Juli/Agustus 1944, hlm. 144-152; Vol. VIII, Mei/Juni, 1946, hlm. 65-75; Vol. IX, Juli/Agustus 1946, hlm. 122-130.
 
Widyawati, Fransiska, “The Development Of Catholicism In Flores, Eastern Indonesia: Manggarai Identity, Religion, And Politics”. Disertation, Gadjah Mada University, Yogyakarta, 2013.

http://conciliaria.com/2012/11/bishops-describe-liturgy-concerns-in-press-cnferences/. Diakses pada 25 nopember 2013.

http://archive.catholicherald.co.uk/article/7th-february-1958/10/penitential-but-it-certainly-keeps-you-warm-. Diakses pada 25 November 2013
http://mv.vatican.va/3_EN/pages/x-Schede/METs/METs_Main_06.html. Diakses pada 1 April 2014.

Sumber: Berbagi -Jurnal Kateketik dan Pastoral

Refleksi Kontekstual Model Antropologis: Menyingkap Budaya, Menyulam Warna Khas Gereja lokal

Oleh: Timotius Jelahu 

Refleksi model antropologis merupakan pendekatan teologi kontekstual yang mengindahkan jati diri budaya. Melalui refleksi ini, jati diri budaya diindahkan sebagai entitas otonom berhadapan dengan jati diri kristiani. Oleh karena Gereja lokal senantiasa hidup dan berkembang dalam budaya tertentu, maka refleksi teologi yang kontekstual hendaknya juga bertolak dari jati diri budaya setempat dan hal tersebut pada gilirannya akan memberikan warna khas bagi masing-masing Gereja lokal. 

Pendahuluan

Teologi tradisional mendasari refleksi teologisnya pada dua sumber yaitu Kitab Suci dan tradisi Gereja. Sementara itu, setiap refleksi teologis dalam komunitas terbentuk oleh aneka konteks.  Maka, refleksi teologis tidak mungkin tanpa melibatkan konteks. Karena itu, teologi kontekstual hadir untuk mengangkat dan mengakui konteks sebagai salah satu sumber teologi yang mesti dindahkan dalam refleksi teologis. 

Gereja tumbuh dan berkembang dalam konteks budaya tertentu. Gereja menginjili budaya di satu sisi dan di pihak lain budaya memberikan warna khas bagi Gereja lokal. Meski demikian, Gereja dan budaya tetaplah dua kenyataan yang otonom. Karena itu, perjumpaan di antara keduanya tidak mesti meleburkan dua kenyataan tersebut menjadi satu tetapi justru memperkuat dan menegaskan jati diri masing-masing. Sejalan dengan hal ini, refleksi teologi kontekstual model antropologis adalah jalan untuk merefleksikan jati diri budaya sebagai entitas otonom dalam perjumpaan dengan jati diri kristiani. 

Kontekstualisasi sebagai Keniscayaan dalam Refleksi Teologis

Batasan Teologi Kontekstual

Batasan teologi yang menjadi rujukan utama penelitian ini adalah definisi teologi dari Anselmus dari Canterbury.  Anselmus dari Canterbury memahami teologi sebagai iman yang mencari pemahaman (fides quaerens intellectum). Bertolak dari definisi itu, Leonardo Boff menyatakan bahwa iman yang sejati mencari pemahaman, bukan untuk menghapus misteri, melainkan untuk dapat mempertajam dimensi sesungguhnya dan dalam kekaguman dapat melantunkan lagu pujian bagi logika Allah yang penuh rahmat.  Sementara itu, bagi Bernard J. F. Lonergan, orang mesti pertama-tama disentuh oleh rahmat kasih Tuhan sebelum ia dapat mengenal keterarahannya kepada Yang Tak Terbatas.  

Dua pendapat dari teolog tersebut merupakan penegasan atas definisi Anselmus dari Canterbury bahwa teologi tidak bisa terlepas dari iman di satu sisi dan pemahaman di sisi lain. Dalam sejarah teologi, perhatian yang tidak berimbang terhadap dua hal ini akan merugikan teologi itu sendiri di mana teologi bisa jatuh dalam atau fideisme atau rasionalisme. Dengan demikian, menyitir Stephen B. Bevans, teologi adalah “sesuatu yang terjadi dalam setiap dan semua orang yang berjuang untuk memahami imannya; ia adalah sebuah proses yang berlangsung di dalam hati dan pikiran dari setiap orang beriman yang tulus.”  

Pemahaman tentang teologi kontekstual tidak terpisah dari definisi tersebut.  Bahkan teologi kontekstual merupakan keniscayaan bagi teologi karena iman dan pemahaman selalu bertumbuh dan berkembang dalam konteks tertentu. Dengan kata lain, seorang beriman yang berusaha mencari pemahaman lahir dan berada dalam konteks tertentu. Tentang hal ini, Robert J. Schreiter menandaskan bahwa semua teologi mempunyai konteks, kepentingan, relasi kekuasaan, minat tertentu.  

Hal senada diutarakan Bevans bahwa setiap teologi memiliki keterlekatan dengan konteks di mana ia menyatakan bahwa “Sebagaimana yang kita pahami tentang teologi dewasa ini, maka kontekstualisasi merupakan bagian dari hakikat terdalam teologi itu sendiri.”  Bahkan bagi Bevans, tidak ada sesuatu yang disebut teologi; yang ada hanyalah teologi kontekstual: teologi feminis, teologi hitam, teologi pembebasan, teologi Filipina, teologi Asia-Amerika, teologi Afrika, dll. 

Eka Darmaputera, salah seorang Teolog Protestan di Indonesia juga sejalan dengan pendapat di atas. Bagi Darmaputera, teologi kontekstual adalah teologi itu sendiri. Hal ini berarti bahwa teologi hanya dapat disebut sebagai teologi apabila ia benar-benar kontekstual. Lebih lanjut dijelaskannya bahwa pada hakikatnya teologi dari upaya untuk merumuskan penghayatan iman kristiani pada konteks ruang dan waktu yang tertentu. 

Teologi kontekstual tidak terpisah dari definisi umum tentang teologi di atas, namun disadari pula bahwa teologi kontekstual itu relatif baru muncul dalam wacana teologis. Istilah kontekstualisasi ini diperkenalkan oleh Theological Education Fund pada tahun 1972.  Kontekstualisasi menggantikan pemakaian istilah indigenisasi yang dianggap terlalu sempit dan hanya berorientasi pada masa lalu.  Sementa itu, di Indonesia, istilah kontekstualisasi mulai dipakai dalam perbincangan teologis pada tahun 1980-an. Mulanya, istilah ini lebih sering dipakai oleh kalangan Protestan daripada Katolik.  Selain itu, tampaknya pemakaian istilah ini merupakan buah inisiatif orang perorangan. Hingga akhirnya pada tahun 2002, kalangan Protestan dan Katolik bersama-sama dalam suatu lokakarya di Yogyakarta berbagi pengalaman dalam mengupayakan teologi yang kontekstual. 

Bertolak dari definisi teologi sebagai fides quaerens intellectum, teologi kontekstual adalah iman yang mencari pemahaman dalam suatu konteks. Menyitir Budi Kleden, teologi kontekstual adalah usaha untuk merumuskan dan menjawab pertanyaan Tuhan sudah mengatakan apa dan berbuat apa di dalam konteks tertentu dan Dia hendak mengatakan apa dan melakukan apa terhadap konteks tertentu.  Jika teologi tradisional memahami teologi sebagai refleksi iman menyangkut dua loci theologici, yaitu Kitab Suci dan tradisi, maka teologi kontekstual adalah pengakuan akan keabsahan locus theologicus yang lain, yaitu pengalaman manusia sekarang ini.  Sementara itu, pengalaman manusia tidak terlepas dari suatu budaya. Dengan demikian, locus theologicus yang lain itu tidak lain dari budaya setempat.

Teologi Kontekstual sebagai Imperatif Teologis

Sudah lama Schreiter telah mengamati pergeseran bahwa refleksi teologi sebagai refleksi orang Kristen terhadap Injil dalam terang situasinya masing-masing tetaplah sama, tetapi kini perhatiannya lebih terfokus pada bagaimana situasi-situasi membentuk tanggapan terhadap Injil. Sasaran mengindahkan konteks dalam membentuk tanggapan terhadap Injil diarahkan untuk menjawabi kebutuhan dan sekaligus menegaskan tanggung jawab orang Kristen akan tanggapan terhadap Injil. Dengan demikian, tanggapan terhadap Injil menjadi lebih konkret dan sehidup mungkin.  

Seturut pemahaman baru ini, refleksi teologis menyadari bahwa semua teologi mempunyai konteks tertentu. Jika upaya teologis tidak dimulai dengan analisis awal terhadap konteks, maka teologi dapat dengan mudah menjadi tidak relevan atau menjadi alat terselubung bagi manipulasi teologi. Disinyalir bahwa ketika konteks menjadi awal dari refleksi teologis, maka komunitas lokal akan jauh lebih bertanggung jawab dalam menanggapi konteks. Maka, prosedur teologi yang diikuti adalah pola-pola produksi makna dalam suatu konteks budaya tertentu. 

Bagi Bevans, teologi kontekstual bukan melulu suatu pilihan yang bersifat fakultatif, bukan pula merupakan minat dan perhatian dunia ketiga melainkan sebuah imperatif teologis.  Teologi kontekstual adalah suatu imperatif teologis. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor yang dikategorikan Bevans dalam dua faktor yaitu faktor eksternal dan internal. Keberadaan faktor-faktor eksternal, di luar iman kristiani, mendesak faktor-faktor internal untuk memperhatikan kemungkinan dan keniscayaan berteologi secara kontekstual. Pada akhirnya, faktor-faktor internal itulah yang jauh lebih penting sehingga berteologi menurut konteks merupakan sebuah imperatif kategoris. 

Ada pun faktor-faktor eksternal menurut Bevans adalah pertama, ketidakpuasan pendekatan klasik terhadap teologi baik pada Dunia Pertama maupun Dunia Ketiga. Kedua, ciri opresif dari teologi klasik. Ketiga, bertumbuhnya jati diri Gereja lokal. Keempat, pemahaman tentang kebudayaan yang disediakan oleh ilmu-ilmu kontemporer. Sementara itu, faktor-faktor internal yang menjadikan berteologi secara kontekstual sebagai imperatif teologis adalah pertama, ciri inkarnatif agama Kristen; kedua, ciri sakramental dari realitas; ketiga, pergeseran dalam pemahaman tentang hakikat pewahyuan ilahi; keempat, ciri katolisitas Gereja, dan kelima, doktrin Trinitas. 

Dalam konteks Indonesia, kebutuhan untuk berteologi secara kontekstual juga mendesak. Eka Darmaputera mengakui bahwa perubahan sosial budaya tentu memberi pengaruh kepada warga Gereja. Di pihak lain, teologi warisan lama tidak berfungsi lagi. Dengan demikian, teologi hanya berfungsi jika ia kontekstual atau teologi tidak akan berfungsi karena ia tidak kontekstual.  Menyimak E. G. Singgih, kontekstualisasi menjadi urgen, agar orang Kristen memahami dirinya dalam situasi yang riil dan konkret supaya dengan demikian dan pada waktu yang sama karyanya riil dan konkret pula.  Selain itu, senada dengan apa yang dikemukakan oleh Eka Darmaputera, Singgih mengakui bahwa kebutuhan akan kontekstualisasi dilatari oleh interaksi antara budaya tradisional dan modern, tekhnologi dan sekularisasi yang membawa perbenturan dan perubahan-perubahan terhadap nilai-nilai yang berhubungan dengan martabat manusia.  

Penekanan konteks budaya dalam pergumulan teologis bagi Eka Darmaputera merupakan kekhasan teologi yang dikembangkan oleh teolog Asia.  Hal yang sama juga ditegaskan oleh Federation of Asian Bishops’ Conferences (FABC). Bagi FABC, evangelisasi dalam konteks Asia terungkap dalam dialog rangkap tiga, yaitu dialog dengan kaum miskin, dengan kebudayaan-kebudayaan dan dengan agama-agama. Theological Advisory Commission FABC mengutip pleno pertama FABC tentang Gereja lokal demikian, “Gereja menjelma ke dalam satu bangsa, satu Gereja pribumi dan terinkulturasi. Secara konkret hal ini berarti satu Gereja yang berdialog secara kontinyu, rendah hati dan dalam cinta kasih dengan tradisi dan kebudayaan yang hidup.”  

Mengutip John Prior, sebagai akibat dari goncangan budaya, yaitu tubruknya kebudayaan-kebudayaan lokal dan kebudayaan global-pasca modern, maka soal jati diri pribadi, kelompok dan masyarakat begitu menjadi relevan dewasa ini. Goncangan budaya ini memposisikan manusia sebagai kaum marjinal dari sisi budaya. Dengan demikian, teologi kontekstual hadir untuk menemukan Yesus Kristus dalam konteks-konteks yang paling berpengaruh pada kehidupan pribadi, jemaat dan masyarakat dalam tradisi iman yang diyakini. Di sini, teologi tidak terdiri dari proses pengulangan akan yang pernah ada. Selain itu, teologi bukan sekadar proses yang melepaskan begitu saja apa yang kita terima dari budaya di mana kita lahir dan dengan begitu saja mengambil alih kebudayaan yang kebetulan dominan.  

Dari pandangan-pandangan di atas, tampak bahwa persoalan menyangkut jati diri menempatkan teologi kontekstual sebagai imperatif teologis. Salah satu hal yang patut disadari bahwa zaman ini ditandai oleh meningkatnya interkoneksi dan interdependensi. Di sini, perjumpaan antara yang lokal dengan yang global menjadi suatu hal yang biasa terjadi dewasa ini. Hal ini telah membuat manusia terpinggirkan secara kultural. Di sini, teologi kontekstual hadir untuk merefleksikan imannya dalam konteks demi penguatan jati diri pribadi, kelompok dan masyarakat. 

Rambu-Rambu dalam Melakukan Teologi Kontekstual

Dalam melakukan teologi kontekstual, Eka Darmaputera menggarisbawahi beberapa rambu yang mesti diperhatikan, yakni pertama, teologi kontekstual hendaknya dilakukan dalam model inter-disipliner; kedua, teologi kontekstual harus mampu merumuskan core dari jati diri kristiani; dan ketiga, perumusan core jati diri kristiani harus diuji oleh ortodoksi (apakah hasil pergumulan itu masih dapat disebut Kristen) dan relevansi (apakah pergumulan itu cukup fungsional bagi konteks sekarang dan masa depan yang dapat diperhitungkan). Relevansi ini hendaknya mendukung tugas kenabian, imamat dan rajawi setiap orang Kristen sehingga kita bisa bersikap positif, kritis, kreatif dan realistis. 

Berpijak pada De Mesa dan Wostyn, Bevans menyodorkan beberapa kriteria untuk melakukan teologi kontekstual,  pertama, tentang ortodoksi. Ortodoksi berarti bahwa rumusan teologi kontekstual harus berkiblat pada dalil religius yang mendasar dari pewartaan Kristen, yaitu Allah adalah kasih. Di sini, rumusan yang bertolak belakang dengan dalil religius ini bukanlah bentuk teologi kontekstual. Kedua, berkaitan dengan ortopraksis. Ini berarti bahwa semua tindakan yang bertentangan dengan Kristianitas bukanlah teologi kontekstual. Dengan kata lain, teologi kontekstual harus menampilkan tindakan yang sesuai dengan jati diri kristiani. Ketiga, penerimaan secara tepat oleh Umat Allah. Teologi merupakan ciptaan Gereja secara keseluruhan dan ketika Gereja menerima sebuah ajaran teologis, maka diyakini bahwa sensus fidelium berlaku di sini.

Selain De Mesa dan Wostyn, Schreiter juga mengajukan beberapa kriteria untuk kesejatian teologi lokal,  yakni pertama, rumusan teologi harus memiliki konsistensi internal; kedua, ungkapan yang benar dari rumusan teologi harus dapat diterjemahkan dalam kebaktian; ketiga, semboyan yang mesti dipegang adalah “dari buahnya kamu akan mengenal mereka” (Mat 7:16). Artinya sama dengan kriteria yang dikemukakan oleh De Mesa dan Wostyn, yaitu bahwa teologi kontekstual harus menampilkan tindakan yang sesuai dengan jati diri kristiani. Keempat, sebuah teologi lokal yang sedang berkembang harus terbuka terhadap kritik Gereja-Gereja lain. Di sini, teologi kontekstual selalu merupakan proses dialogal dengan Gereja-Gereja lain. Kelima, suatu teologi harus memiliki sumbangsih untuk berdialog dengan teologi-teologi yang lain.

Rumusan teologi tak terkecuali teologi kontekstual harus memiliki konsistensi internal dan relevansi eksternal. Ketika refleksi teologis itu bertentangan dengan jati diri kristiani, maka hal tersebut bukanlah rumusan teologi. Jika rumusan teologi itu memiliki konsistensi internal, maka rumusan teologi itu pasti memiliki relevansi eksternal. Maka, kasih itu mesti selalu diterima sebagai pengalaman konkret dan hal itu hanya mungkin, jika teologi memiliki konsistensi internal. Demikianlah, dua hal ini mesti menjadi pegangan dalam setiap pergumulan teologis.

Refleksi Model Antropologis

Pengandaian Dasar Model Antropologis 

Dalam kontekstualisasi teologi, menurut Bevans model dialog yang sungguh prihatin dengan persoalan jati diri budaya adalah model antropologis. Schreiter juga telah melihat model kontekstualisasi seperti ini dan dia menamakannya sebagai model etnografis. Di sini, meskipun model ini diberi nama berbeda, namun kedua teolog sama-sama menyatakan bahwa kontekstualisasi teologi yang sungguh-sungguh mengindahkan jati diri budaya sejatinya tidak dimulai dari tradisi Kristen tetapi harus bertolak dari konteks masyarakat setempat. 

Schreiter menyatakan bahwa kekuatan utama model ini adalah cara berteologi yang dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan yang dimiliki masyarakat. Dengan kata lain, model ini memulai dialog dengan tradisi Kristen yang dengannya tradisi tersebut dapat membahas pertanyaan-pertanyaan yang sungguh diajukan oleh keadaan setempat ketimbang pertanyaan-pertanyaan yang telah dibahas oleh tradisi Kristen di masa lampau. Bevans merumuskan hal ini dengan mengutip satu kelompok penasihat Oxford untuk Komisi Dunia dari Dewan Gereja-Gereja Sedunia yang bersidang pada tahun 1990 yang menyatakan bahwa kita dipanggil untuk mempelajari suara-suara asing dan kadang-kadang kala ofensif yang ada di dalam berbagai lingkup budaya, tidak saja dengan tujuan untuk menempuri atau mempertobatkan mereka, tetapi juga belajar dari mereka serta memperdalam berbagai wawasan dan pemahaman kita tentang injil. 

Ada beberapa pengandaian kunci dari kontekstualisasi model antropologis/ etnografis ini. Pertama, perhatian utama model ini adalah kodrat manusia, dan karena itu konteks manusia adalah baik, kudus dan berharga di mana di sana akan ditemukan pewahyuan ilahi. Tugas seorang teolog adalah mencari dan menemukan Allah yang mewahyukan diri dalam tiap agama dan kebudayaan. Di sini, Firman Allah tersembunyi dalam tiap kebudayaan. Oleh karena itu, Kitab Suci dipahami sebagai produk pengalaman-pengalaman religius yang dibentuk secara sosial dan kultural. Demikian pula rumusan-rumusan doktrinal tidak dilihat sebagai kata-kata yang secara langsung turun dari surga, tetapi selalu terbentuk oleh rupa-rupa kebudayaan dan kepentingan sosial-politik.

Kedua, kontekstualisasi model ini terinspirasi oleh teologi penciptaan. Terinspirasi oleh teologi penciptaan, model ini menganggap pengalaman manusia pada umumnya dan kebudayaan pada khususnya sebagai ajang kehadiran Allah dalam situasi tertentu. Mengutip bahasa Gerard Manley Hopkins, Bevans melihat bahwa model ini menyakini ciptaan merupakan pemenuhan kemuliaan dan keagungan Allah. 

Ketiga, model ini bertolak dari kebudayaan, entah religius atau sekuler, dengan penekanan pada hal-hal yang sangat khas pada tiap kebudayaan. Hal ini akan berpengaruh dalam pemahaman tentang inkulturasi di mana kebudayaan diterima sebagai salah satu hal yang membentuk cara agama Kristen merumuskan diri. Keunikan yang dimiliki setiap kebudayaan harus diperhatikan dan bukannya keserupaan yang dimiliki setiap kebudayaan. Kemudian, oleh karena manifestasi kebudayaan terdapat dalam subjek budaya yang biasa, orang-orang kebanyakan, maka pelaku kontekstualisasi adalah umat. Peran praktisi teologi adalah bidan yang membantu kelahiran sebuah teologi sekaligus sebagai perumus, yang mentematisasi teologi-teologi yang lahir dari pergulatan dengan pengalaman praktis. Agar sungguh berhasil dalam tugas tersebut, seorang praktisi teologi harus menjadi partisipan atau seorang yang memiliki simpati yang sejati terhadap situasi atau kebudayaan yang bersangkutan. 

Keempat, model ini menggunakan analisis “metalinguistik” atas bahasa. Bevans menandaskan bahwa dalam sebuah bahasa akan ditemukan cara suatu bangsa atau kebudayaan memandang dunia. Meskipun tidak semua sistem budaya dapat dipahami melalui metode linguistik, namun Schreiter juga tetap mengakui bahwa metode linguistik merupakan salah satu cara untuk memahami budaya. Tak dapat dipungkiri bahwa bahasa merupakan produk budaya. Dengan demikian, praktisi model ini akan memahami budaya melalui analisis terhadap bahasa dalam budaya setempat.

Kelima, model antropologis mengandaikan dialog antaragama, terutama dengan agama-agama asli, atau juga praktik-praktik doa dan religius yang berakar kuat dalam suatu masyarakat. Untuk mengabsahkan pengandaian ini, Bevans mengutip pernyataan para uskup Asia Timur tentang bagaimana inkarnasi bisa digalakkan untuk mengembangkan sebuah spiritualitas Asia Timur, yakni dengan mengindahkan unsur-unsur dalam kebudayaan Timur, seperti asketisme, ajaran dan praktik etika Cina klasik, metode-metode meditasi dan doa Timur. 

Implikasi Model Antropologis: Menyulam Warna Khas Gereja lokal

Isi Teologi: Gereja lokal sebagai Perjumpaan Dua Jati Diri yang Otonom 

Refleksi antropologis menyadarkan bahwa Gereja lokal merupakan perjumpaan antara dua jati diri yang otonom. Perjumpaan antara dua entitas otonom tersebut berujung pada pembaruan jati diri masing-masing. Keyakinan ini hampir serupa dengan keyakinan FABC. Bagi FABC injil dan kebudayaan adalah dua realitas yang masing-masing memiliki otonomi yang sah dan jati diri yang khas.  

Pada pihak budaya, mesti disadari bahwa nilai-nilai budaya merupakan suatu kenyataan sosial dan sejarah dan karena itu tak satu pun yang benar atau salah hanya karena hal itu terjadi di dalam budaya tertentu.  Bahwa nilai-nilai budaya dapat diuji dan dikritik dan oleh sebab itu, dialog tidak berarti menghilangkan nilai-nilai budaya yang tidak relevan dengan jati diri kristiani. Tetapi perjumpaan itu, harus menjadikan nilai-nilai budaya sebagai jalan untuk mencapai keselamatan. Dengan demikian dialog bukanlah sekadar mencari paralelisme dari satu budaya ke budaya yang lain atau dari jati diri kristiani ke jati diri budaya. Dialog diarahkan untuk menemukan sesuatu yang lebih bermakna dalam pola-pola yang membentuk jati diri budaya.

Di pihak lain, jati diri kristiani bukanlah suatu format atau barang siap pakai dan karena itu menjadi patokan untuk merangkul nilai budaya yang selaras dengannya. Tetapi, keselamatan sebagai jati diri kristiani dalam perspektif dialog adalah proses kreatif untuk menemukan kehendak Allah yang berbicara dalam setiap budaya. Oleh karena itu, keselamatan adalah sesuatu yang khas seturut konteks di mana ia bertumbuh dan berkembang. Dalam rumusan Bevans, pewahyuan bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit, melainkan pernyataan kehadiran Allah di dalam kehidupan manusia dan di tengah masyarakat manusia.  

Perjumpaan dua jati diri yang otonom itu akan menghasilkan sebuah kekhasan Gereja lokal yang autentik. Berkat perjumpaan tersebut, kebudayaan akan disinari Sabda sehingga memungkinkan budaya itu memyembuhkan luka-lukanya sekaligus mengangkat budaya itu benar-benar menjadi jalan yang menghantar setiap pribadi untuk mengalami dan memperoleh keselamatan. Di pihak lain, pemahaman tentang Gereja lokal akan diperkaya dan dibentuk oleh kebudayaan di mana Gereja lokal itu bertumbuh dan berkembang. 

Sebelum Konsili Vatikan II, merujuk M. Amaladoss sebagaimana diuraikan Wilhelm Dj. Conterius, fokus karya misi pada masa itu adalah keselamatan jiwa-jiwa. Ada pun keyakinan populer masa itu adalah orang-orang yang tidak dibaptis tidak akan diselamatkan. Maka, karya misi tidak lain adalah membaptis orang sebanyak mungkin. Lebih jauh, karya misi berujung pada penanaman Gereja di mana Gereja dilihat sebagai pencangkokan dari struktur-struktur yang ada.  

Dengan menggunakan model antropologis, maka dalam refleksi teologi mesti disadari bahwa bukan hanya jati diri kristiani yang otonom tetapi juga jati diri budaya setempat juga otonom. Hal ini mendorong terjadinya kontekstualisasi dwiarah, di mana karya pewartaan tidak dihayati sebagai pencangkokan dari luar. Budaya diakui sebagai jalan yang bisa menghantar orang kepada keselamatan, karena Allah menciptakan dan sudah berkarya dalam setiap budaya. Dengan demikian, teologi ini mengedepankan karya misi sebagai perjumpaan jati diri budaya dan jati diri kristiani di mana dua jati diri yang bertemu akan saling diperbarui dan diperkaya. Konsekwensi lanjut dari perjumpaan tersebut adalah terbentuknya suatu Gereja lokal yang konkret sesuai dengan kekhasan budaya setempat.

Salah satu tesis tentang Gereja lokal yang disodorkan oleh Theological Advisory Commission FABC adalah 

Sebuah Gereja lokal lahir dan dibangun melalui pertemuan yang mendalam dan saling memperkaya antara Injil dan satu bangsa yang memiliki kebudayaan dan tradisi yang khas. Dalam bahasa teologi dan Magisterium Gereja dewasa ini, hal tersebut dikenal sebagai inkulturasi. Inkulturasi tidak hanya terjadi dalam pengungkapan Injil dan iman kristiani melalui medium kebudayaan tetapi mencakup juga upaya mengalami, mengerti, dan menyesuaikan Injil dan iman melalui sumber daya budaya satu bangsa. Sebagai akibatnya, bentuk konkret Gereja lokal akan dikondisikan oleh kebudayaan pada satu pihak dan pada pihak lain kebudayaan dievangelisasi oleh kehidupan dan kesaksian Gereja lokal.  

Dalam penjelasan lebih lanjut tentang tesis tersebut, dijelaskan bahwa Injil dan kebudayaan merupakan dua realitas yang masing-masing memiliki otonomi yang sah dan jati diri yang khas. Di satu sisi, setiap kebudayaan atas caranya yang khas menyatakan kekayaan manusia. Dengan demikian, tidaklah dibenarkan kebudayaan dijadikan sebagai satu sarana untuk mencapai tujuan lain.   Hal ini sejalan dengan apa yang diyakini oleh Konsili Vatikan II tentang otonomi hal-hal duniawi yang sewajarnya di mana dikatakan:

Sebab berdasarkan kenyataannya sebagai ciptaan segala sesuatu dikaruniai kemandirian, kebenaran dan kebaikannya sendiri, lagi pula menganut hukum-hukum dan mempunyai tata-susunannya sendiri. Dan manusia wajib menghormati itu semua... (GS 36) 

Pada pihak lain, keselamatan sebagai jati diri kristiani juga otonom. Injil dan pewartaannya tidak identik dan bergantung pada kebudayaan.  Keselamatan dalam Yesus bersifat unik dan universal sebagaimana ditegaskan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Ecclesia in Asia (EA) 14, sebagai berikut: 

Kita imani, bahwa Yesus Kristus, Allah sejati dan manusia sejati, ialah satu-satunya Sang Penyelamat, sebab Dia sendiri – Sang Putera – melaksananakan rencana universal penyelamatan oleh Bapa. Sebagai penampakan definitif misteri cinta kasih Bapa akan semua orang, Yesus sungguh unik dan justru sifat unik Kristus itulah yang memberi-Nya relevansi mutlak dan universal, sementara – karena termasuk sejarah – Ia tetap pusat dan tujuan sejarah. 

Dalam refleksi antropologis, jati diri budaya dilihat sebagai entitas otonom dalam berhadapan dengan jati diri kristiani. Karen itu, dalam upaya penguatan kekhasan Gereja lokal, jati diri budaya dan jati diri kristiani sejatinya dilihat sebagai dua entitas otonom. Dengan mengakui otonomi masing-masing jati diri, maka perjumpaan tidak diarahkan untuk saling mendominasi. Tanpa penghargaan terhadap yang lain, perjumpaan itu tidak akan mencapai hasil yang diharapkan dan dengan demikian iman akan Yesus Kristus akan tetap dilihat sebagai sesuatu yang berasal dari luar. Dengan kata lain, tanpa adanya pengakuan akan otonomi masing-masing jati diri, pembicaraan tentang dialog menjadi tidak mungkin. 

Tindakan Teologi: Umat Allah sebagai Pelaku Dialog

Bagi Fransisco F. Claver, proses inkulturatif merupakan integrasi antara iman dan budaya dan oleh karena itu, aktor utama dalam proses itu adalah umat dan Roh. Dengan demikian, proses inkulturasi tidak lain adalah memberikan kesempatan kepada umat untuk berdialog dengan Roh.  Dengan merujuk Rahner, Lonergan dan Gutierrez, Bevans berpendirian bahwa teologi sebenarnya tidak dilakukan oleh para pakar dan kemudian menetes ke bawah agar digunakan umat. Bevans melanjutkan, “apabila teologi hendak mengangkat ihwal kebudayaan dan perubahan kebudayaan sungguh-sungguh, maka teologi mesti dipahami sebagai sesuatu yang dilakukan secara paling penuh oleh subjek-subjek dan pelaku-pelaku kebudayaan termaksud.”  Dalam rumusan Schreiter, teologi itu dilakukan oleh komunitas orang yang percaya.  Dengan demikian, proses teologi sejatinya adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh pelaku-pelaku kebudayaan dalam suatu komunitas beriman. 

Ketika teologi mengindahkan pelaku budaya atau umat, hal itu tidak berarti kehadiran teolog profesional ditampik. Sumbangsih teolog profesional adalah membahasakan secara jelas apa yang diungkapkan umat secara umum atau kabur, memperdalam gagasan-gagasan umat dengan menyiapkan bagi mereka khazanah kekayaan tradisi Kristen serta menantang mereka untuk memperluas horizonnya dengan menampilkan kepada mereka keseluruhan pengungkapan teologi Kristen. Dalam rumusan Leonardo Mercado yang dikutip Bevans, umat adalah pelaku kontekstualisasi yang terbaik dan peran para teolog ialah bertindak sebagai seorang bidan bagi umat ketika mereka melahirkan sebuah teologi yang sungguh-sungguh berakar di dalam sebuah kebudayaan dan pada sebuah momen historis tertentu. 

Kontekstualisasi teologi tidak lain merupakan suatu proses dialog dengan memberi kesempatan yang sama kepada umat dan teolog profesional. Dalam dialog tersebut, umat mengungkapkan imannya dalam konteks tertentu dan teolog profesional merumuskan dan memperdalamnya dengan pengetahuan yang lebih luas sesuai dengan tradisi Kristen dan mungkin juga pengungkapan iman dalam konteks-konteks yang lain.  Tentang kontekstualisasi teologi sebagai proses dialog, Schreiter menulis: “Mengabaikan sumber-sumber teolog profesional berarti lebih memilih kebodohan dari pada pengetahuan. Tetapi membiarkan teolog profesional mendominasi pengembangan suatu teologi lokal tampaknya memperkenalkan suatu hegemoni baru ke dalam komunitas-komunitas ....” 

Perjumpaan antara jati diri budaya dan jati diri kristiani terjadi pada pribadi-pribadi di dalam suatu komunitas tertentu. Di sini, dialog yang autentik tentu akan berujung pada terbentuknya jati diri pribadi yang autentik pula. Hal ini sejalan dengan pandangan eklesiologis Konsili Vatikan II yang memahami Gereja sebagai Umat Allah. Dengan demikian, dialog antara jati diri budaya dan jati diri kristiani sejatinya adalah proses kreatif yang memungkinkan terbentuknya jati diri Umat Allah yang beriman dan berbudaya.

FABC berpegang teguh bahwa pelaku dialog adalah Umat Allah. Dalam rumusan Theological Advisory Commission FABC dikatakan bahwa jemaat Kristen merupakan subjek aktif inkulturasi yang terjadi dalam segala aspek kehidupan, kesaksian dan misi Kristen. Setidaknya dua alasan yang mendasari pendirian ini:

Pertama, karena Gereja adalah satu persekutuan. Oleh sebab itu, semua golongan umat harus atas salah satu cara mengambil bagian dalam segala aktivitas Gereja. Kedua, inkulturasi merupakan sesuatu yang integral. Inkulturasi mempengaruhi setiap aspek kehidupan dan misi Kristen. Jadi, inkulturasi murni tidak dapat dilaksanakan semata-mata melalui karya kelompok elit atau para ahli. 

Pendirian FABC ini kembali ditegaskan Fransisco F. Claver dalam Sinode Para Uskup Tentang Asia pada tahun 1998. Bagi Claver, umat adalah pelaku budaya karena budaya merupakan cara khas mereka untuk menjadi manusia, Roh Kudus adalah pemberi dan sumber iman dan iman adalah suatu hadiah cuma-cuma. Jika, proses inkulturatif adalah integrasi antara iman dan budaya, maka aktor utama dalam proses itu adalah umat dan Roh. Dengan demikian, proses inkulturasi tidak lain adalah memberikan kesempatan kepada umat untuk berdialog dengan Roh. 

Umat Allah sebagai pelaku dialog juga sangat jelas tertuang dalam Ecclesia in Asia, yang menyatakan: 

Termasuk tugas para pastor, berkat kekuatan karisma mereka, memandu dialog itu disertai penegasan rohani. Begitu pula, pakar-piawai dalam ilmu-pengetahuan sakral maupun sekular harus memainkan peran yang penting dalam proses inkulturasi. Tetapi proses harus melibatkan seluruh Umat Allah, sebab hidup Gereja secara keseluruhan harus menampakkan iman, yang diwartakan dan disesuaikan dengan situasi.  

Jelaslah, bahwa Gereja Asia begitu konsisten untuk memberi ruang kepada Umat Allah sebagai pelaku dialog. Dengan demikian, dalam simposium tentang evangelisasi di Asia dalam terang Ecclesia in Asia, FABC kembali menegaskan bahwa inkulturasi merupakan suatu proses komunitas yang meliputi seluruh Umat Allah.  

Dialog yang memungkinkan terbentuknya jati diri pribadi yang berbudaya dan beriman adalah dialog yang melibatkan Umat Allah bukan hanya sekelompok orang dalam Tubuh Gereja. Proses dialog antara jati diri budaya dan jati diri kristiani bukanlah suatu komando terstruktur dari Gereja sebagai institusi. Proses itu adalah proses alamiah yang terjadi dalam konteks Umat Allah. 

Salah satu persoalan yang seringkali muncul adalah tegangan antara kebenaran dogmatis dengan relativisme. Berhadapan dengan tantangan ini, para pelaku dialog mesti melakukan analisis yang memadai terhadap realitas budaya sembari membiarkan Roh Allah berkarya. Dari pihak Gereja sebagai institusi, Umat Allah diberi ruang untuk berkreasi dan menghindari hal-hal yang membuat pewartaan terkesan kaku. Ketika kreasi sang pewarta dibatasi oleh kerangkeng “menjaga otoritas”, maka dialog tak akan terlaksana. Dengan kata lain, amatlah tidak mudah bagi pelaku dialog (pewarta) berkreasi dalam situasi kerangkeng/tertekan. Sementara itu, pelaku dialog hendaknya memanfaatkan ruang yang ada sekreatif mungkin.

Perhatian Berimbang Terhadap Jati Diri Budaya dan Jati Diri Kristiani

Kecenderungan yang mengintai karya pewartaan adalah menjadikan salah satu jati diri superior terhadap yang lain. Refleksi antropologis diarahkan untuk memperhatikan secara seimbang kedua belah pihak. Bukan tidak mungkin bahwa jati diri kristiani tidak superior terhadap jati diri budaya. 

Inspirasi untuk memperhatikan secara seimbang jati diri kristiani dan jati diri budaya dapat ditemukan dalam AG 11. Dalam dokumen ini, Bapa-Bapa Konsili meyakini bahwa hanya dalam dan melalui dialog, umat kristiani akan menghargai situasi yang khas di suatu tempat dan serentak semakin intensif merindukan kebenaran dan cinta kasih yang diwahyukan oleh Allah.  Tentang perhatian berimbang ini, RM 39 merumuskan bahwa semua bentuk kegiatan misioner ditandai dengan suatu kesadaran bahwa orang memajukan kebebasan manusia dengan mempermaklumkan Yesus Kristus.  

Perhatian berimbang di sini tidak dimaksudkan bahwa Injil dan pewartaannya identik atau sama dengan kebudayaan. Selain itu, hal tersebut tidak dimaksudkan bahwa harus ada pemisahan antara Injil dan kebudayaan. Hubungan sejati antara Injil dan kebudayaan ini telah diungkapkan oleh Paus Paulus VI sebagaimana dikutip oleh Amalorpavadas, sebagai berikut:

Injil dan karena itu evangelisasi jelas tidak identik dengan kebudayaan dan keduanya (Injil dan evangelisasi) independen terhadap semua kebudayaan. Namun demikian, Kerajaan Allah yang diwartakan Injil itu dihayati oleh manusia yang berkaitan erat sekali dengan suatu kebudayaan dan pembangunan Kerajaan Allah itu tidak dapat terhindar dari penggunaan unsur-unsur kebudayaan manusia. Kendati terlepas dari kebudayaan-kebudayaan, Injil dan evangelisasi itu tidak harus bertentangan dengan kebudayaan-kebudayaan. Injil dan kebudayaan cukup mampu untuk saling meresapi tanpa saling menguasai.

Pemisahan antara Injil dan kebudayaan jelas merupakan suatu drama pada masa kini sebagaimana hal itu terjadi pada masa-masa lain. Karena itu, kita harus berusaha sekuat tenaga untuk menjamin evangelisasi kebudayaan atau lebih tepat kebudayaan-kebudayaan. Kebudayaan-kebudayaan itu harus dilahirkan kembali dalam suatu pertemuan dengan Injil. Namun, pertemuan ini tidak akan terjadi kalau Injil tidak diwartakan (EN 20). 

Perhatian berimbang di sini adalah pengakuan sekaligus penegasan akan keistimewaan masing-masing jati diri kristiani dan jati diri budaya. Dalam keistimewaan masing-masing, dua jati diri ini berdialog sehingga kedua-duanya saling diperbarui dan diperkaya demi kepenuhan martabat manusia sebagai Imago Dei. Mengutip Kirchberger, sikap dasar bagi dialog autentik adalah kerelaan untuk memperhatikan dengan sungguh posisi dan pandangan yang berbeda serta keterbukaan terhadap perbedaan itu.  Dengan demikian, kontekstualiasi teologi dalam upaya penguatan kekhasan Gereja lokal sejatinya didasari oleh ketetapan hati untuk mengakui dan serentak memperhatikan secara seimbang jati diri budaya dan jati diri kristiani yang memiliki kekhasan dan kekayaan masing-masing. 

Arah Refleksi Teologi Sebagai Pertobatan Dua Sisi

Perjumpaan antara jati diri budaya dan jati diri kristiani pada akhirnya menghantar umat beriman pada pertobatan. Pertobatan sejati yang dimaksudkan di sini adalah Yesus Kristus sungguh mengakar dalam budaya setempat dan di pihak lain budaya setempat semakin diresapi oleh semangat Injil. Diakui bahwa hal ini tidak mudah tercapai. Sebagaimana yang dikatakan oleh Schreiter, pertobatan bukanlah proses sekali jadi. Dengan kata lain, pertobatan adalah suatu proses berkesinambungan dan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Dalam bagian akhir bukunya, Schreiter menulis:

Proses pertobatan ... adalah jauh lebih lambat daripada yang pertama kita duga. Sementara komitmen sungguh-sungguh dan tulus dapat dilakukan pada pihak yang dibaptis, ada banyak faktor lain yang terlibat, yang membutuhkan lebih banyak waktu untuk memecahkan dan memadukannya ke dalam suatu budaya. Dengan demikian, apa yang tampak sebagai sinkretisme atau sistem berganda mungkin hanyalah cerminan dari tahap-tahap proses pertobatan.  

Pertobatan sejati akan menjadikan Kristus bukan lagi sebagai yang asing dari ziarah kaum beriman dan dengan demikian tidak menghantar umat pada jati diri yang ambigu. Iman akan Kristus sejatinya tidak mungkin membuahkan jati diri yang timpang. Semakin mereka beriman pada Kristus, maka mereka pun semakin mengakar dalam konteks budayanya. Dengan demikian, pertobatan kiranya terinspirasi dan berorientasi pada makna perjumpaan yang sejati antara jati diri budaya dan jati diri kristiani. Melalui refleksi antropologis, pergumulan teologis diarahkan untuk merevitalisasi jati diri budaya dan redefinisi simbol keselamatan seturut konteks budaya yang selaras jaman.

Revitalisasi Jati Diri Budaya

Komitmen Gereja lokal untuk melanjutkan karya pertobatan bukan sekadar tawaran atau pilihan melainkan didasarkan pada hakikat Gereja itu sendiri. Gereja bukan hanya dipahami sebagai misteri tetapi juga sebagai fakta historis. Mengakui Gereja sebagai fakta historis berarti mengakui keberadaan budaya dan serentak menjadikan budaya sebagai jalan untuk mencapai keselamatan. Karena itu, berhadapan dengan realitas ketimpangan jati diri budaya, Umat Allah tak dapat dibenarkan untuk mengurung diri dalam keheningan Gereja. Namun, sebelum melihat lebih jauh tentang bagaimana Umat Allah dalam menghadapi ketimpangan jati diri budaya, pertanyaan yang mesti diindahkan terlebih dahulu adalah apakah berbicara tentang jati diri budaya masih relevan pada era globalisasi ini?

Menjawabi pertanyaan tersebut, hal pertama mesti ditegaskan adalah bahwa globalisasi tidak menegasi keberadaan kebudayaan. Berpijak pada definisi Theological Advisory Commission FABC, kebudayaan adalah cara konkret memanusia di dalam suatu bangsa, kelompok atau negara tertentu.  Sementara itu, globalisasi dipahami sebagai perjumpaan antara yang lokal dengan yang global dan hal ini ditandai oleh meningkatnya interkoneksi dan interdependensi. Di sini, globalisasi tidak berbicara soal ada atau tidak adanya budaya, melainkan globalisasi hanya berbicara soal perjumpaan antara budaya. Globalisasi mengakui vitalitas posisi budaya sebagai cara konkret memanusia di dunia. Ketika globalisasi berbicara tentang perjumpaan antara budaya, maka terimplisit penegasan globalisasi atas keberadaan budaya. 

Tentang inkulturasi dalam konteks Asia, John Prior mengamati bahwa persoalan yang berhubungan dengan jati diri budaya adalah perjumpaan antara jati diri tradisional dengan jati diri budaya modern dan jati diri siber modern. Maka, John Prior menyatakan:

Tantangan bagi inkulturasi ialah kemampuan merancang ulang jati diri kita sebagai orang Asia, juga ketika kita sedang tercabut dari akar-akar budaya kita. Kita ditantang untuk mengakarkan kebudayaan para orangtua dan kebudayaan anak-anak dalam iman bersama, namun masing-masing dengan caranya sendiri.  

Redefinisi Simbol Keselamatan dalam Budaya 

Simbol merupakan tanda yang menyatakan suatu kebenaran yang tidak tampak. Sesuatu dikatakan sebagai simbol jika ia mengungkapkan suatu kebenaran yang tersembunyi.  Merujuk Paul Puthanangady, simbol merupakan bahasa budaya yang bersumber dari suatu persepsi akan realitas dalam totalitasnya: intelektual, emosional dan personal. Di sini, cara pandang suatu kebudayaan umumnya diekspresikan dalam bentuk simbolik.  Demikian halnya dimensi religius dalam kebudayaan juga menjadikan simbol sebagai kunci yang membuka pintu pertemuannya dengan Yang Kudus. Boleh dikatakan, bahwa agama tidak mungkin dipikirkan tanpa simbol.  

Sumbangan refleksi antropologis dalam pergumulan tentang jati diri kristiani adalah kontekstualisasi simbol keselamatan. Dalam pergumulan tersebut, simbol-simbol budaya setempat dijadikan sebagai sarana untuk memahami dan juga untuk mencapai keselamatan. Upaya ini mutlak diindahkan dalam konteks perjumpaan antara jati diri budaya dan jati diri kristiani. Dengan upaya demikian, di satu sisi nilai budaya diposisikan pada tempat yang tepat, yaitu sebagai media untuk mencapai keselamatan dan di sisi lain jati diri kristiani akan mengakar dalam budaya setempat.

Dalam perspektif dialog, keselamatan adalah proses kreatif untuk menemukan kehendak Allah yang berbicara dalam setiap budaya. Sebagaimana yang telah diuraikan juga bahwa jati diri budaya tertenun dalam jejaring simbol budaya. Sementara itu, keselamatan hanya dapat dipahami melalui simbol. Di pihak lain, simbol-simbol budaya bukanlah sesuatu yang statis melainkan berkembang seturut zaman. Jika demikian, simbol-simbol keselamatan semestinya juga harus sejalan dengan dinamika simbol budaya. Di sini, revitalisasi budaya kiranya juga mendorong niat yang tulus bagi usaha ke arah redefinisi simbol keselamatan dalam budaya. 

Redefinisi simbol keselamatan dalam budaya tidak hanya sekadar mengindahkan perubahan dalam budaya tetapi juga menghargai implikasi sosiologis dari simbol-simbol tertentu. Paul Puthanangady menyatakan bahwa beberapa simbol dapat saja kadang-kadang memadai secara intelektual dan tidak berbahaya, tetapi bisa saja diskriminatif secara sosial.  Di sini, setiap simbol mesti dipahami dalam konteks budaya sehingga setiap simbol sungguh menjadi bahasa yang dapat berbicara dan menyapa manusia pada zamannya. 

Penutup

Dalam pengembangan teologi kontekstual dengan pendekatan refleksi antropologis, budaya diindahkan sebagai entitas otonom. Karena itu, dalam dialog dengan budaya, jati diri kristiani bukanlah suatu format atau barang siap pakai dan menjadi patokan untuk merangkul nilai budaya yang selaras dengannya. Jati diri kristiani dalam perspektif dialog adalah proses kreatif untuk menemukan kehendak Allah yang berbicara dalam setiap budaya. Dialog antara dua jati diri tersebut akan menghasilkan makna baru bagi masing-masing jati diri. Di satu sisi, jati diri budaya akan diperbarui menjadi sarana keselamatan dan jati diri kristiani diperbarui melalui kontekstualisasi simbol keselamatan. 

Dialog antara jati diri budaya dan jati diri kristiani akan menghasilkan kekhasan bagi Gereja lokal. Dalam kesatuan dan persekutuan dengan Gereja Universal, umat Allah didorong untuk menggali sumber-sumber daya dan kekayaan sendiri dalam budayanya masing-masing. Dengan demikian, bentuk konkret Gereja lokal akan dikondisikan oleh kebudayaan pada satu pihak dan pada pihak lain kebudayaan dievangelisasi oleh kehidupan dan kesaksian jati diri kristiani. Di situlah letak warna khas pada masing-masing Gereja lokal. 

Rujukan

Amalorpavadass, D. S. “Injil dan Kebudayaan: Evangelisasi dan Inkulturasi”, dalam Georg Kirchberger (ed.), Gereja Berwajah Asia. Ende: Nusa Indah, 1995, pp. 88-131. 

Bevans, Stephen B. Model-Model Teologi Kontekstual. Maumere: Ledalero, 2002.

_______________. Teologi Dalam Perspektif Global. Maumere: Ledalero, 2010.

Boff, Leonardo. Yesus Kristus Pembebas. Maumere: LPAJ, 2001.

Claver, Fransisco F. “Inkulturasi Laksana Dialog”, dalam Georg Kirchberger dan John M Prior (eds.), Yesus Kristus Penyelamat, Misi Cinta Dan Pelayanan-Nya Di Asia. Maumere: LPBAJ, 1999, pp. 189-191.

Costa, Ruy O. “Introduction: Incuturation, Indigenization and Contextualization”, dalam Ruy O. Costa (ed.), One Faith, Many Cultures. United States Of America: Orbis Books and Boston Theological Institute, 1988, pp. ix-xvii. 

Conterius, Wilhelm Dj. Teologi Misi Milenium Baru. Maumere: Ledalero, 2007.

Darmaputera, Eka. “Menuju Teologi Kontekstual Di Indonesia”, dalam Eka Darmaputera (Peny.), Konteks Berteologi Di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991, pp. 3-19.

Dokumen Konsili Vatikan II, penerj. R Hardawiryana. Jakarta: Obor, 1993.

FABC-OE. “Statement Of The Symposium on Evangelization In The Light Of Ecclesia In Asia”, dalam Mario S. Dias (ed.), Evangelization In The Light Of Ecclesia In Asia. Bangalore: Claretian Publications, pp. 307-320. 

Kirchberger, Georg. “50 Tahun Dibukanya Konsili Vatikan II: Reformasi dan Restorasi”, dalam Jurnal Ledalero. Vol. 12, No. 1, Juni 2013, pp. 11-28.

Kleden, Ignas. “Kemenduaan Nilai Budaya”, dalam Georg Kirchberger dan John M. Prior (eds.), Yesus Kristus Penyelamat, Misi Cinta Dan Pelayanan-Nya Di Asia. Maumere: LPBAJ, 1999, pp. 157-175.

Kleden, Paul B. “Yang Lain Sebagai Fokus Berteologi Kontekstual Di Indonesia”, dalam Jurnal Ledalero. Vol. 9, No. 2, 2010, pp. 157-175.

Prior, John M. Berdiri Di Ambang Batas. Maumere: Ledalero, 2008.

____________. “Berteologi Dalam Konteks Sekitar Orthoakousis,Orthopraxis dan Orthodoxi”, dalam Jurnal Ledalero. Vol. 3, No. 1, Juni 2004, pp. 71-96. 

______________. “Epilog: Kurikulum Kontekstual Indonesia”, dalam Jurnal Ledalero. Vol. 9, No. 2, Desember 2010, pp. 212-218. 

______________. “Teologi Kontekstual: Apakah Mungkin?”, dalam Jurnal Ledalero. Vol. 9, No. 2, Desember 2010, pp. 145-156.

Puthanangady, Paul. “Clarifying The Notions Of Culture And Inculturation”, dalam Mario S. Dias (ed.), Rooting Faith In Asia, Source Book For Inkulturation (Bangalore: Claretian Publication, 2005), pp. 243-254. 

_________________. “Inculturation Of Liturgy And Sacraments”, dalam Mario S. Dias (ed.), Rooting Faith In Asia, Source Book For Inkulturation. Bangalore: Claretian Publication, 2005, pp. 353-358.

Schreiter, Robert J. Constructing Local Theologies. London: SCM Press LTD, 1985.

Singgih, E. G. Berteologi Dalam Konteks. Yogyakarta: Kanisius dan Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.

___________. Dari Israel Ke Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982.

Theological Advisory Commission FABC. “Tesis-Tesis tentang Gereja Lokal: Suatu Refleksi Teologi dalam Konteks Asia”, dalam Georg Kirchberger (ed.), Gereja Berwajah Asia. Ende: Nusa Indah, 1995, 14-87. 

Ule, Silvester. “’Vetera Novis Augere et Perficere’ Memahami Arah Dasar Teologi Bernard J. F. Lonergan”, dalam Berbagi. Vol. 2, No.1, Januari 2013, pp. 124-148.

Yohanes Paulus II. Gereja Di Asia, penerj. R Hardawiryana. Jakarta: Dokpen KWI, 2001.

Yohanes Paulus II. Ensiklik Redemptoris Missio, penerj. Marcel Beding. Ende: Nusa Indah, 1992.

Sumber: Berbagi -Jurnal Kateketik dan Pastoral