Tampilkan postingan dengan label gereja. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label gereja. Tampilkan semua postingan

KONTEKSTUALISASI MODEL TERJEMAHAN DALAM PENGUATAN KATEKESE UMAT

 Oleh Timotius Jelahu

Bertolak dari model Katekese Umat yang dikembangkan oleh Gereja Katolik Indonesia, artikel ini berpendapat bahwa pelaksanaan katekese harus membawa umat untuk menerima dan memahami kebenaran Injil. Model katekese yang digunakan seharusnya tidak mengaburkan kebenaran  iman yang diwartakan Kitab Suci dan iman yang diwariskan dalam tradisi Gereja Katolik. 

Pengantar

Dalam rangka memaknai perayaan 50 tahun Hierarki Gereja Katolik Indonesia, maka pada sidang tahunan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tahun 2011 diadakan hari studi tentang katekese.  Salah satu soal yang diangkat adalah soal isi dari katekese. Berhadapan dengan persoalan tersebut, para uskup merekomendasikan langkah pastoral di mana katekese umat perlu diperkaya dengan Injil, tradisi dan ajaran Gereja.  Model terjemahan merupakan model berteologi yang sungguh-sungguh menerima Alkitab dan tradisi doktrinal sebagai yang adikontekstual dan sekaligus lengkap. Sembari menimbang beberapa kelemahan model terjemahan, artikel ini ingin mengetengahkan pengembangan katekese umat dengan mengambil nilai-nilai positif dari model terjemahan. 

Katekese Umat

Katekese Umat dicetuskan oleh para pakar katekese se-Indonesia pada tahun 1977. Ada tiga aspek pemahaman tentang Katekese Umat, yakni antropologis, sosiologis dan teologis.  Pertama, katekese umat sebagai musyawarah iman. Dalam rumusanPertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia (PKKI) II, No. 1, Katekese umat diartikan sebagai komunikasi iman atau tukar pengalaman iman (penghayatan iman) antara anggota jemaah/kelompok.…”  Tentang katekese sebagai musyawarah iman, Josef Lalu melihat Katekese Umat sebagai kristianisasi atau inkulturasi terhadap musyawarah. Dengan mengikuti kearifan masyarakat dalam bermusyawarah, katekese umat mengarahkan umat untuk menjadikan kebijaksanaan Injili sebagai pegangan hidup, tidak hanya sebatas pada keutamaan-keutamaan yang diwariskan leluhur.  

Kedua, katekese umat sebagai analisis sosial dalam terang Injil. Pengertian kedua ini menekankan keberpihakan iman berhadapan dengan pelbagai persoalan sosial kemasyarakatan. Dalam hal ini, katekese umat bertujuan untuk membina iman yang sungguh terlibat dalam kenyataan sosial. Proses yang dijalankan dalam katekese umat dimulai dengan melihat fenomena ketidakadilan sosial yang diikuti dengan merumpunkan fenomena ketidakadilan dan mencari akar dari ketidakadilan sosial dan juga akibat-akibatnya. Tahapan selanjutnya adalah merefleksikan persoalan ketidakadilan dalam terang iman dengan berpijak pada Kitab Suci dan ajaran Gereja. Dari refleksi tersebut, proses selanjutnya adalah merencanakan aksi dan proses katekese berakhir pada aksi tertentu. 

Ketiga, katekese umat sebagai komunikasi iman. Dengan melihat katekese sebagai komunikasi iman, maka katekese umat menghidupi Konsili Vatikan II yang menekankan dialog dan menghidupi keutamaan eklesiologis Konsili Vatikan II yang menggarisbawahi Gereja Umat Allah. Dalam pelaksanaan katekese umat ada dialog pengalaman iman dalam melihat, mendalami dan menafsirkan hidup dalam terang Injil yang diarahkan pada metanoia yang memungkinkan tranformasi dalam hidup beriman. 

PKKI II telah merumuskan beberapa tujuan Kateksese Umat. Pertama, supaya dalam terang Injil kita semakin meresapi arti pengalaman-pengalaman kita sehari-hari. Kedua, agar kita dapat bertobat (metanoia) kepada Allah dan semakin menyadari kehadirannya dalam kenyataan hidup sehari-hari. Ketiga, semakin sempurna beriman, berharap, mengamalkan cinta kasih dan semakin dikukuhkan dalam hidup Kristiani. Keempat, semakin bersatu dalam Kristus, semakin menjemaat, semakin tegas mewujudkan tugas Gereja setempat dan mengokohkan Gereja semesta/universal. Kelima, kita sanggup memberi kesaksian tentang Kristus dalam hidup kita di tengah masyarakat.  

Proses katekese umat terdiri dari tiga langkah, yaitu (1) mengamati dan menyadari pengalaman umat, (2) merefleksikan pengalaman umat dalam terang Sabda Allah dan (3) memikirkan dan merencanakan aksi. Melalui katekese umat, para peserta diharapkan supaya dalam terang Injil semakin meresapi arti pengalaman sehari-hari. Katekese umat memungkinkan umat untuk melihat pengalaman hidup harian dalam terang Injil dan karena itu pengalaman religius bukanlah hal yang terpisah dari kehidupan konkret umat. Dengan kata lain, katekese umat menghantar umat untuk menghayati pengalaman hidup harian sebagai pengalam iman.  

Dalam Pesan Pastoral Sidang KWI 2011 tentang Katekese, para uskup kembali menegaskan panggilan Gereja untuk mewartakan Kabar Gembira kepada dunia. Tentang panggilan Gereja ini, katekese merupakan bagian integral dari pelaksanaan tugas pewartaan Gereja. Dalam konteks Indonesia, para uskup mengapresiasi karya katekese dengan adanya arah yang jelas sebagaimana dirumuskan dan dikembangkan dalam Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se Indonesia (PKKI) I-IX, yaitu Katekese Umat.  

Sembari menghargai upaya yang berkelanjutan dalam mengembangkan Katekse Umat, namun pada pihak lain diakui bahwa tidak sedikit pula para petugas katekese yang tidak mempunyai kemampuan yang memadai dalam menjalankan katekese karena kurangnya pembinaan yang berkelanjutan.  Persoalan lain adalah isi katekese seringkali dirasakan kurang memadai.

Di satu pihak, katekese yang memberi tekanan pada tanggapan iman atas hidup sehari-hari seringkali kurang memberi tempat pada aspek doktrinal, sehingga umat seringkali canggung dan takut ketika berhadapan dengan orang-orang yang mempertanyakan iman mereka. Di lain pihak, ketika katekese lebih memberi perhatian pada unsur-unsur doktriner, katekese dirasakan menjadi terlalu sulit bagi umat dan kurang bersentuhan dengan kenyataan hidup sehari-hari. Katekese yang kurang menyentuh hati dan memenuhi harapan ini rupanya merupakan salah satu alasan yang mendorong sejumlah orang Katolik, khususnya anak-anak dan orang muda yang pindah dan lebih tertarik cara doa dan pembinaan Gereja-Gereja lain yang dirasakan lebih menarik. Kenyataan ini menantang kita untuk lebih bersungguh-sungguh menciptakan dan mengembangkan model katekese yang bermutu dan menanggapi harapan. 

“Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil” (1 Kor 9:16)

Salah satu jawaban mengapa para waligereja menempatkan katekese pada momentum peranyaan emas itu adalah "Mewartakan Injil adalah rahmat dan panggilan khas Gereja, merupakan identitasnya yang terdalam" (Evangelii Nuntiandi, No.14). Lebih lanjut dalam rumusan pesan pastoral dari hasil sidang tersebut ditegaskan pada bagian pendahuluan bahwa Gereja mempunyai tugas utama untuk mewartakan, sesuai perintah Kristus: ".... pergilah, jadikanlah segala bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu" (Mat 28:19-20).  

Pelaksanaan katekese umat tetap mendasarkan diri pada Sabda Allah untuk menerangi pengalaman hidup sehari-hari dan merenungkan pengalaman hidup sehari hari dalam terang Kasih Allah/ Injil. Merujuk pada FABC, Injil itu "ragi yang menimbulkan perombakan di dunia ini" (FABC V, 8.1.4). Katekese merupakan bagian integral dari pelaksanaan tugas pewartaan Gereja. 

Disadari bahwa Sabda Allah mempunyai daya kekuatan untuk pewahyuan dan jawaban iman umat. Kitab Suci ditulis oleh orang-orang yang mempunyai keyakinan iman yang sama, yaitu bahwa Allah terlibat dalam sejarah manusia di mana manusia dipanggil untuk mengalami karya keselamatan Allah. Dengan kata lain, Kitab suci merupakan sebuah tawaran bagi manusia dari segala zaman dan tempat untuk mengenali bagaimana Allah menyapa manusia dalam situasi kehidupan masing-masing. Maka, kitab suci bukan sekedar kumpalan kitab yang berbicara tentang Allah, tetapi Kitab Suci mengajak orang bertemu dengan Allah. Di situ, Allah menyapa dan menawarkan kerahiman kepada manusia.

Konsili Vatikan II menegaskan bahwa Kitab Suci merupakan hukum dan kaidah tertinggi dari iman Gereja. Gereja menyakini sungguh bahwa Kitab Suci diilhamkan oleh Allah dan bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Kitab Suci memberikan dukungan dan kekuatan bagi kehidupan Gereja. Bagi Putra-Putri Gereja, Kitab Suci merupakan suatu peneguhan iman, makanan jiwa, dan sumber hidup spiritual.  Singkatnya, Gereja mengakui bahwa kitab suci adalah sabda Allah yang disampaikan kepada umat manusia sebagai “hukum dan kaidah tertinggi dari iman Gereja. Karena itu, Gereja tidak mungkin bertumbuh, berkembang dan diperbaharui tanpa Sabda Allah. 

Katekese Umat menghantar seseorang pada pemahaman Kitab Suci yang tepat dan berhasil guna. Melalui Katekese Umat, diharapkan para pesera diarahkan pada penemuan akan kebenaran Ilahi yang terdapat dalam Kitab Suci dan membangkitkan tanggapan yang begitu melimpah dalam kesaksian hidup terhadap pesan yang ditujukan Allah kepada manusia melalui Sabda-Nya.  Pada dasarnya berkatekese adalah proses untuk mengantar umat untuk berjumpa dengan Tuhan dan mengalami pertobatan hidup yang terwujud dalam tindakan nyata kepada keluarga dan masyarakat,apapun sarana yang dipakai. 

Dalam Seruan Apostolik Evangeliii Gaudium, Paus Fransiskus menegaskan demikian: “Tak hanya homili harus membekali diri dengan Sabda Allah. Seluruh evangelisasi didasarkan pada sabda itu, yang didengarkan, direnungkan, dihayati, dirayakan dan dijadikan kesaksian. Kitab Suci merupakan sumber utama evangelisasi. .... Sungguh penting bahwa Sabda Allah semakin menjadi pusat setiap kegiatan Gereja”  Mengutip Konstitusi Dogmatik tentang Wahyu Ilahi, dalam kaitan dengan katekese Paus selanjutnya menyatakan bahwa Sabda yang diwahyukan secara radikal memperkaya katekese dan seluruh daya upaya untuk meneruskan iman.   

Merawat Katolisitas Gereja: Sumbangsih Kontekstualiasi Model Terjemahan bagi Penguatan Katekese Umat

Katolisitas Gereja 

Stephen Bevans menegaskan bahwa salah satu faktor internal yang menuntut suatu pendekatan kontekstual adalah katolisitas Gereja.  Katolisitas merupakan matra Gereja yang menjamin bahwa Gereja beritikad untuk melestarikan, dan berjuang untuk hidup dan berkembang di setiap pelosok dunia dan dalam setiap konteks budaya.  

Merujuk Dokumen Konsili Vatikan II, katolisitas berarti “Dalam setiap jemaat setempat hadirlah Gereja seluruhnya” Gereja-gereja Katolik yang satu dan tunggal berada dalam Gereja-Gereja setempat dan terhimpun daripadanya (LG 23). Gereja disebut katolik karena tersebar di seluruh muka bumi dan juga karena mengajarkan secara menyeluruh dan lengkap segala ajaran iman tertuju kepada semua manusia yang mau disembuhkan secara menyeluruh pula. Keberadaan Gereja yang menyebar di seluruh muka bumi merupakan hasil karya Roh Kudus. Karena itu, Gereja disebut katolik karena dengan perantaraannya, Roh Kudus hadir di seluruh dunia. 

Kekatolikan Gereja berarti bahwa pengaruh dan daya-pengudus Roh kudus tidak terbatas pada para anggota Gereja saja melainkan juga terarah kepada seluruh dunia. Yang pokok bukanlah bahwa gereja merangkum atau menerima segala sesuatu melainkan bahwa ia dapat menjiwai seluruh dunia dengan semangatnya.  Jika kesatuan berbicara mengenai hubungan antara para anggota dan antara jemaat-jemaat, menjadi satu Gereja dalam persekutuan (menyangkut hubungan luar atau lahir), sementara kekatolikan mengenai hubungan batiniah, hubungan jemaat atau anggota dengan yang lain dalam Roh: dalam segalanya berkarya dalam Roh yang sama. 

Josef Lalu menggarisbawahi bahwa tujuan Katekese Umat merawat katolisitas Gereja dan terlibat dalam hidup kemasyarakatan.  Katolisitas merupakan matra Gereja yang menjamin bahwa Gereja beritikad untuk melestarikan, dan berjuang untuk hidup dan berkembang di setiap pelosok dunia dan dalam setiap konteks budaya.  Berhubungan dengan katolisitas Gereja, katekese umat bertujuan untuk mempersatukan peserta dalam Kristus, semakin menjemaat, semakin menjadi Gereja dan semakin tegas mewujudkan tugas Gereja setempat dan mengokohkan Gereja semesta. Di sini, katekse umat menegaskan bahwa kita diselamatkan dalam kebersamaan dengan yang lain. Dalam kebersamaan itu, umat beriman diutus untuk mewartakan Kristus dengan kata-kata dan tindakan dengan melaksasanakan tugas Gereja setempat dalam kesatuan dengan Gereja semesta. Pada akhirnya, katekese umat bertujuan untuk menguatkan kehadiran Gereja  untuk semakin berpengaruh dalam masyarakat dan masyarakat semakin menjadi Kerajaan Allah.

Terminologi Model Terjemahan 

Menurut Stephen Bevans, dalam banyak hal setiap model teologi kontekstual merupakan model terjemahan atau dalam bahasa Robert Schreiter model terjemahan merupakan model yang paling umum dalam teologi lokal. Terjemahan di sini tidak dimaksudkan dengan terjemahan harfiah.  Mengutip Charles Kraft, Bevans menyatakan bahwa terjemahan yang baik adalah terjemahan atas makna yang terkandung dalam sebuah teks, bukan melulu kata-kata atau tata bahasanya. Dengan kata lain, terjemahan yang baik tidak lain adalah terjemahan idiomatik,  padanan fungsional atau dinamis. Selalu ada sebuah isi yang mesti diadaptasi atau diakomodasi pada sebuah kebudayaan tertentu. Kraft mengatakan: kebenaran teologis mesti diciptakan kembali sebagai sebuah terjemahan atau transkulturasi yang dinamis-sepadan dalam bahasa yang menyertai bingkai gagasan para pendengar agar relevansinya yang benar bisa mereka pahami secara tepat. Proses berteologi, seperti semua bentuk komunikasi Kristen, mesti diarahkan kepada seseorang agar ia bisa melayani tujuannya. Proses itu tidak bisa bergelantungan di udara kosong.

Sasaran dari metode terjemahan padanan yang dinamis ini ialah untuk menghasilkan reaksi yang sama pada para pendengar atau pembaca kontemporer sebagaimana yang dahulu terjadi pada para pendengar dan pembaca asli. Meski demikian, Eugene Nida dan Charles Taber menegaskan bahwa setiap terjemahan harus mempertimbangkan dimensi pastoral. Karena itu, sebuah terjemahan Alkitab mesti tidak hanya memberi informasi yang dapat dipahami orang, tetapi juga menampilkan pewartaan itu sedemikian rupa sehingga orang dapat merasakan relevansinya (unsur pernyataan perasaan dalam komunikasi), dan kemudian bisa menanggapinya dalam tindakan nyata.

Model ini pada umumnya adalah jenis pertama yang dipergunakan dalam ruang lingkup penggembalaan. Keistimewaan dari model ini adalah penekanannya pada pewartaan Injil sebagai sebuah pewartaan yang tidak berubah. Berteologi dalam model ini menurut Schreiter melewati dua langkah. Langkah pertama adalah membebaskan pesan Kristiani dari kandang budaya sebelumnya. Sementara langkah kedua adalah menerjemahkan pesan Kristiani ke dalam situasi baru. Dua langkah ini ditempuh dengan bertolak dari prinsip dasar bahwa tradisi Gereja disesuaikan dengan budaya setempat. Maka, para praktisi model ini dituntut untuk mengenal secara lebih mendalam apa yang telah dilakukan dalam tradisi Gereja dan apa yang dilakukan dalam situasi budaya setempat. Dua langkah yang sama juga ditegaskan oleh Bevans. Di sini, Bevans melihat bahwa dalam model ini, sebuah pewartaan hakiki bisa dipisahkan dari cara pengungkapannya yang terikat secara kontekstual. Maka, langkah pertama dari model ini adalah melucuti pewartaan hakiki dari bungkusan konteks untuk menemukan bernas Injil. Langkah kedua adalah mencari ungkapan atau tindakan atau cerita yang cocok untuk konteks penerima. 

Hesselgrave merupakan salah satu contoh teolog yang berteologi seturut model terjemahan. Husselgrave memberi perhatian pada perubahan dan tetap mempertahankan kemurnian dan keutuhan Injil. Kontekstualisasi merupakan suatu proses dalam Kitab Suci. Kontekstualisasi merupakan terjemahan atas isi yang tak berubah dari Injil ke dalam bentuk-bentuk verbal yang sarat makna kepada rupa-rupa orang dalam budaya serta situasi yang khas.

Agar komunikasi kontekstual atas Injil  menjadi ampuh, seorang pewarta melewati dua langkah. Langkah pertama adalah mendekontekstualisasikan Injil. Pada langkah pertama ini seorang pewarta berusaha untuk memahami Injil. Untuk memahami Injil, seorang pewarta berusaha untuk melucuti bungkusan-bungkusan budaya baik budaya di mana Kitab Suci maupun bungkusan budaya dari sang pewarta. Sasaran yang diperjuangkan pada tahap pertama ini adalah agar karunia kebenaran itu menjadi gamblang atau tercapailah amanat yang bersifat adibudaya.

Langkah selanjutnya adalah mengkontekstualisasikan amanat ke dalam pengertian yang khsusus seturut konteks jemaat setempat. Dengan demikian, amanat itu menjadi sarat makna, relevan, persuasif lagi efektif dalam budaya jemaat setempat. Dalam mengkomunikasikan Injil ke dalam cara pandang yang berbeda, seorang pewarta memberi perhatian kepada dirinya sebagai sumber, perhatian pada amanat Injil sebagai substansi, dan kepada gaya sebagai sarana komunikasi. Hesselgrave menyadari bahwa kontekstualisasi Injil tidak pernah terjadi untuk selamanya dan kontekstualisasi paling baik dilakukan oleh peserta suatu budaya. 

Selain Hesselgrave, Paus Yohanes Paulus II juga menaruh perhatian pada model ini. Tak dipungkiri lagi bahwa Paus Yohanes Paulus II merupakan seorang yang sadar dan berminat terhadap kebudayaan. Pada tahun 1982, Paus Yohanes Paulus II mendirikan Dewan Kepausan untuk Kebudayaan. Dewan Kepausan ini diberi kepercayaan dengan tugas pokok untuk memberi kepada Gereja secara keseluruhan suatu daya dorong bersama dalam perjumpaan yang senantiasa diperbaharui antara pesan keselamatan Injil dan keanekaragaman kebudayaan dalam pelbagai kebudayaan di mana Gereja mesti membawa buah-buah rahmatnya.

Baginya, melalui kebudayaan makhluk-makhluk insani dapat menghayati kemanusiaannya secara penuh. Pentingnya dialog antara iman dan kebudayaan-kebudayaan bangsa manusia. Kontekstualisasi berawal dari atas ke bawah di mana

Tradisi dan pranata kekristenan menjadi standar untuk meresapi kebudayaan dan sebaliknya kebudayaan diintegrasikan atau ditolak untuk menjaga keutuhan iman dan keutamaan universalitas persekutuan Gereja. 

Pengandaian Model Terjemahan  

Pewartaan Hakiki Agama Kristen Bersifat Adibudaya 

Senada dengan Schreiter, metafora yang digunakan oleh Bevans untuk model ini adalah bernas dan sekam. Ada bernas Injil yang dikelilingi oleh budaya yang dapat dibuang, ditampi dan bersifat tidak hakiki. Merujuk Max Stackhouse, Bevans mencatat empat doktrin dasar yang dianggap sebagai asas bagi ortodoksi Kristen yang berlaku untuk semua orang: umat manusia jatuh dalam dosa dan karena itu membutuhkan penyembuhan; pewahyuan Allah berlangsung dalam sejarah umat manusia; doktrin Allah Tritunggal secara paling baik membahasakan siapakah Allah yang benar lagi sejati itu dan arti iman akan Allah bagi kehidupan dalam dunia ini dan akan Yesus adalah Kristus di mana manusia menemukan makna kehidupan yang benar. Tentang pengandaian kunci, bahwa pewartaan hakiki agama Kristen bersifat suprakultural/adibudaya, artinya pewartaan hakiki itu bisa dipisahkan dari cara pengungkapan yang terikat secara budaya. Ini berhubungan dengan “intisari Injil”, yang dalam bahasa kiasan diandaikan, “ada bernas Injil yang dikelilingi oleh sekam budaya yang dapat ditampi, dibuang, dan bersifat tidak hakiki”. 

Langkah pertama dalam proses kontekstualisasi sebuah doktrin atau praktek Kristen ialah melucutinya dari bungkusan-bungkusan budayanya (sekam budaya) untuk menemukan bernas Injil. Intisari Injil itulah yang kemudian dicarikan istilah, tindakan atau cerita yang cocok untuk “budaya penerima,” dalamnya pewartaan itu dikemas kembali. Jadi, yang terpenting dalam pengandaian ini adalah bahwa orang memahami pewartaan Kristen dalam persinggungannya yang kreatif dengan kebudayaan setempat. 

Subordinasi Konteks

Pewartaan Kristen diterima sebagai yang paling penting dan karena itu jika terjadi pertentangan antara nilai-nilai Injil dengan nilai budaya, maka yang dipertahankan adalah isi pewartaan Injil. Bagi Schreiter, pengandaian seperti ini dapat dibaca dalam pedoman pembaharuan liturgi seturut Konsili Vatikan II di mana dengan mengambil dasar liturgi Roma dan menyesuaikannya dengan kebiasaan lokal dalam hal-hal yang tidak dianggap hakiki bagi ritus-ritus tersebut. Tentang peran pembantu/subordinasi kebudayaan dalam proses kontekstualisasi. Artinya kebudayaan dipandang tidak pernah sama pentingnya dengan pewartaan Injil yang bersifat adibudaya dan “tidak pernah berubah”. Oleh sebab itu dalam proses kontekstualisasi isi Injillah yang harus dipertahankan, bukannya nilai-nilai dan praktek-praktek yang terdapat dalam sebuah kebudayaan. 

Pewahyuan Ilahi serentak Proporsional dan Kuantitatif

Proporsional maksudnya adalah bahwa pewahyuan itu dimengerti sebagai komunikasi sejumlah kebenaran atau doktrin tertentu dari pihak Allah dan oleh karena kebenaran dan doktrin itu berasal dari Allah maka seluruhnya bebas dari keterbatasan budaya atau dibungkus dalam sebuah kebudayaan yang dibenarkan Allah. Selain itu, yang dimaksudkan pewahyuan kuantitatif adalah bahwa pewartaan kristen selalu membawa sesuatu yang sama sekali baru ke dalam konteks. Kehadiran Allah baru menjadi sungguh operatif ketika pewartaan Kristen secara khusus dimaklumkan.

Keyakinan setiap kebudayaan memiliki struktur yang serupa 

Tentang pengandaian implisit, yang tidak ditandaskan namun bersifat mutlak untuk segi operasional model terjemahan ini, yaitu bahwa semua kebudayaan memiliki struktur dasar yang serupa, sehingga setiap gagasan tentang satu kebudayaan dapat diterjemahkan pula ke dalam bahasa budaya yang lain. Bila tidak secara persis, maka diandaikan bisa secara sepadan. Di sini, pola-pola dalam suatu budaya dengan cepat diterjemahkan dan dipahami oleh orang asing. Analisa budaya dilakukan untuk menemukan paralel-paralel dengan pola-pola dalam Kekristenan yang sebelumnya dikontekstualisasikan dalam budaya lain. Dengan demikian, dalam model ini setiap gagasan tentang kebudayaan dapat diterjemahkan ke dalam bahasa dari budaya lain.  

Beberapa Petimbangan Model Terjemahan bagi Katekese Umat

Titik penekanan model terjemahan adalah pewartaan agama Kristen yang berpijak pada ajaran iman dalam Kitab Suci dan yang diteruskan dalam tradisi Gereja. Salah satu kelebihan model ini adalah penerimaan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam setiap konteks sambil menaruh komitmen pada daya kuasa Injil yang membaharui. Model ini bisa dipakai semua orang yang berkomitmen dalam pergumulan dengan kebudayaan tertentu. Pemahaman awal tentang suatu kebudayaan dari masyarakat tertentu menjadi pintu masuk untuk menjadikan warta gembira Injil itu relevan. Meski demikian, ketika menggunakan model ini dalam katekese, dihimbau untuk senantiasa dengan bijaksana dalam berhadapan dengan kecenderungan yang bersifat eksklusif. Salah satu Kebudayaan bisa menjadi tolok ukur kebenaran bagi kebudayaan lainnya. Padahal, setiap budaya mempunyai nilai yang baik dalam dirinya sendiri. 

Dua sumbangan model terjemahan bagi penguatan Katekese Umat:

Kompetensi Fasilitator Katekese Umat 

Model terjemahan mengandaikan fasilitator memiliki kompetensi yang lebih dalam memahami konteks. Dalam metode terjemahan, pewarta mau tidak mau mengambil peran yang aktif. Asumsinya adalah bahwa hanya pewarta yang telah mehami konteks Injil dan tradisi, sementara penerima belum mengerti konteksnya dan hanya menerima kebenaran Injili “bernas Injil” yang sudah dikupas oleh pewarta. Pewarta harus memiliki pengetahuan yang lebih dan harus mampu mewartakannya dengan cara yang memungkinkan penerima dapat menerima dengan baik. 

Peralihan dari teks Alkitabiah menuju makna penyelamatannya di masa kini membutuhkan proses hemeneutik.  Dalama proses hermeneutic itu, perlu mewaspadai tafsiran yang fundamentalistik. Pesan teologis atau segi iman dari keseluruhan teks. Oleh sebab itu, semua rohaniwan, para imam Kristus, diakon atau katekis yang secara sah menunaikan pelayanan sabda, perlu berpegang teguh pada Alkitab dengan membacanya dengan asyik dan mempelajarinya dengan saksama. Maksudnya jangan sampai ada seorang pun diantara mereka yang menjadi “pewarta lahiriah dan hampa sabda Allah, tetapi tidak mendengarkannya sendiri dalam batin.”  

Kebenaran Kitab Suci dan Tradisi suatu Harga Mutlak

Dalam model terjemahan kebenaran Injili dan tradisi diterima sebagai yang adibudaya, mengatasi budaya. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap kebudayaan mengusung nilai-nilai tertentu. Ketika sipewarta mencekokkan nilai Injili dan tradisi ke dalam nilai suatu budaya, maka dengan demikian ada pemaknaan baru atas konteks tertentu. Model terjemahan yang dipakai dalam proses katakese tidak mengabaikan nilai yang sudah ada dalam konteks, melainkan nilai-nilai yang sudah ada diperkaya dengan nilai baru yang dimasukkan kedalamnya, yaitu kebenaran Injili. 

Penutup

Semua orang terpanggil sesuai dengan perannya masing-masing sebagai  bentuk kewajiban dari anggota Gereja agar katekese terlaksana sebagaimana mestinya. Kesadaran akan pelaksanaan katekese mesti terus dipertahankan dan dikembangkan, termasuk model yang tepat sesuai dengan konteks umat beriman. Model apa pun yang hendak dipakai mesti mampu menghantar umat dalam menerima dan memahami kebenaran Injili. Dipihak lain, kebenaran Injil yang mereka terima juga telah memberikan makna baru atas konteks mereka. Fasilitator kiranya selalu dibekali dan didorong untuk menemukan model-model baru tetapi tidak mengabutkan pesan kebenaran Injili dan iman yang diwarisakan dalam tradisi Gereja Katolik. Mengutip Kitab Hukum Kanonik bahwa perhatian terhadap katekese mesti dijalankan dibawah bimbingan otoritas gerejawi yang legitim. 

Rujukan

Bevans, Stephen B. Model-Model Teologi Kontekstual. Maumere: Ledalero, 2002.

Dokumen Konsili Vatikan II. penerj. Hardawiryana. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Kitab  Hukum Kanonik. penerj. V. Kartosiswoyo. Jakarta: Obor, 1983.

Komisi Kateketik KWI. Katekese dalam Masyarakat yang Tertekan. Yogyakarta: Kanisius, 2010.

Komisi Kateketik KWI. Hari Studi Kateketik Para Uskup KWI 2011. Yogyakarta: Kanisius, 2013.

Konferensi Waligereja Indonesia. Iman Katolik. Jakarta: Obor dan Yogyakarta: Kanisius, 1996. Lalu, Josef. “Katekese Umat” dalam Paulus Budi Kleden dan Robert Mirsel (Eds), Menerobos Batas Merobohkan Prasangka. Maumere: Ledalero, 2011.

Paus Fransiskus. Evangelii Gaudium, penerj. F.X Adisusanto dan Bernadeta Harini Tri Prasasti. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2014.

The Pontifical Biblical Commision. The Interpretation of the Bible in the Church, penerj. V. Indra Sanjaya.  Yogyakarta: Kanisius, 2003. 


Kerygma Universal dan Hidup yang Kontekstual

Oleh: Timotius J

Refleksi teologis yang benar pada hakikatnya harus bisa menjawab kebutuhan umat beriman. Karena itu, para teolog hendaknya mampu membaca tanda-tanda zaman yang menyertai ziarah umat beriman dan refleksi teologi hendaknya menjadi pelita bagi umat beriman untuk semakin terbuka pada rencana dan kehendak Allah pada setiap zaman. Hal ini hanya mungkin kalau teologi itu selalu kontekstual.

Eka Darmaputera mengamati bahwa Gereja-Geraja main stream Indonesia yang sedang dilandai kecemasan dan resah. Bahkan, Gereja-Gereja tersebut berada pada tingkat bingung dan panik sehingga cendrung reaktif dan defensif. Hal ini sangat kental dalam menghadapi gerakan-gerakan keagamaan baru yang membahayakan, menjebak warga Gereja dalam kerangkeng konservatisme dan fundamentalisme.

Gejala-gejalan di atas merupakan tanda-tanda yang menunjukkan betapa minimnya pemahaman dan penghayatan teologis umat. Pemahaman dan penghayatan yang minim tidak hanya terjadi dalam kalangan umat, tetapi hal tersebut juga melingkupi pemegang otoritas Gereja. Kondisi merupakan pintu gerbang yang membuat umat beriman mudah meninggalkan Gerejanya. Bagi mereka, Gereja tidak mampu menjawab dan memenuhi kebutuhannya dan karena itu mau tidak mau harus berpindah ke gerakan-gerakan keagamaan baru, seperti gerakan karismatik yang mampu menjawabi kebuthan mereka.

Dalam menghadapi situasi seperti ini, Gereja harus memiliki pegangan yang jelas dan benar sehingga relevan dengan kebutuhan umat beriman. Berkaitan dengan hal ini, bagi Eka Darmaputera, Teologi Kontekstual merupakan jawaban untuk mengatasi persoalan ini.

Eka Darmaputera mengetengahkan bahwa teologi kontekstual merupakan teologi yang mampu mempertemukan kerygma yang universal dengan hidup yang kontekstual. Titik tolak dari teologi adalah Allah menyatakan kehendaknya untuk menyelamatkan semua manusia pada segala zaman menurut konteks yang partikular. Tugas para teolog adalah mengenali dan merumuskan kehendak Allah sehingga mampu menjawabi kebutuhan umat dalam konteks terntu.

Dalam upaya untuk mengenali dan merumuskan kehendak Allah, teologi mengandaikan tiga hal penting, yaitu Alkitab, tradisi dan hermeneutik. Dalam Alkitab, Allah telah menyatakan kehendak-Nya yang kekal dan universal melalui tindakanNya pada konteks dan ruang terntentu. Kerygma yang universal dalam Alkitab hanya mungkin ditangkap kalau ada pemahaman yang benar dan tepat tentang konteks yang partikular itu. Sementara itu, tradisi juga diperhatikan karena Allah selalu menyatakan kehendaknya pada segala zaman. Karena Allah menyatakan kehendaknya selalu dalam konteks entah Alkitab atau tradisi, maka teologi juga harus mempertimbangka persoalan hermeneutik. Hermeneutik menjadi penting karena hal itu memungkinkan kita untuk mengangkat kerygma yang universal dalam Alkitab dan tradisi yang partikular untuk hadir dalam konteks kini, hinc et nunc.

Berangkat dari pemahaman di atas, Eka Darmaputera menyadari kerumitan dalam Teologi Kontekstual, yaitu bagaimana menghubungkan yang universal dengan partikular. Setidak-tidaknya, orang bisa terperangkap dalam dua kemungkinan buruk, yaitu semena-mena mencangkokkan yang univerdal pada yang partikular tanpa mempertimbangkan partikularitas atau mengutamakan yang partikular dan dengan demikian mengabaikan yang universal. Kedua hal ini akan mengantar kita kepada subjektivisme dan relativisme kultural.

Untuk mengatasi masalah ini, Eka menggarisbawahi bahwa teologi kontekstual hendaknya dilakukan dalam model inter-disipliner dan harus mampu merumuskan “core” kristiani menyangkut dogma, liturgi dan etika. Indikator yang dalam menilai keberhasilan adalah ortodoksi (apakah hasil pergumulan itu masih dapat disebut kristen) dan relevansi (apakah pergumulan itu cukup fungsional bagi konteks sekarang dan masa depan yang dapat diperhitungkan). Relevansi ini hendaknya mendukung fungsi kristiani sebagai nabi iman dan raja sehingga kita bisa bersikap positif, kritis, kreatif dan realistis. Dan dalam konteks Indonesia, penekanan pada Teologi Kontekstual relasi yang seimbang antara konteks warisan kultural (identitas) sekaligus modernitas.

Eka Darmaputera telah berusaha untuk mencari dan merumuskan panduan bagaimana Teologi Kontekstual itu berjalan. Teologi Kontekstual berjalan di bawah tiga pelita, yaitu Alkitab, tradisi dan hermeneutik. Tiga pelita ini akan menuntun para teolog dalam menemukan kerygma yang universal dalam partikularitas dan bagaimana kerygma yang universal itu dipakai dalam menjawabi kebutuhan umat untuk konteks tertentu.

Sumbangan yang tidak kalah pentingnya dari Eka Darmaputera adalah pentingnya relasi interdisipliner dalam mengenali dan merumuskan kehendak Allah. Dialog dengan ilmu-ilmu lain merupakan pintu gerbang memungkin teologi bisa memahami konteks secara benar dan tepat dan dengan demikian kerygma yang universal itu dapat dikenali dan dirumuskan dengan baik. Agar teologi itu tetap menjadi teologi, maka refleksi teologis harus mempertimbangkan tiga hal, yaitu dogma, liturgi dan etika.

Dalam refleksi teologi kontekstual, refleksi teologi juga tentu tetap berjuang untuk merefleksikan konteks dalam dirinya sendiri. Arah refleksi teologi juga tidak sampai terjebak pada kecenderungan untuk berhenti pada kerygma masa lalu. Diwasdai pula bahaya berteologi yang cenderung statis dan dogmatis. Teologi Kontekstual harus mampu mengenali dan merumuskan kerygma yang orisinil dan baru menurut konteks sini dan kini.

Tulisan ini diolah dari artikel Eka Darmaputera, “Menuju Teologi Kontekstual Di Indonesia”,  dalam Eka Darmaputera (Peny.), Konteks Berteologi Di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991.

Pertumbuhan Gereja Kalimantan, Pengharapan Tidak Mengecewakan

Bagaimana pun, perjumpaan antara iman Kristiani dan budaya setempat merupakan dialog yang tidak pernah selesai. Bentuk dialog sangat bergantung pada situasi konteks di mana perjumpaan itu terjadi. Demikian halnya Gereja Kalimantan terus berusaha menemukan dialog yang selaras zaman.

 Oleh: Timotius T Jelahu

Betang: Rumah Dayak yang Ramah

Pulau Kalimantan merupakan pulau terbesar ketiga setelah Green Land dan Irian Jaya. Luasnya mencapai lima kali Pulau Jawa. Dalam bahasa setempat Kalimantan berarti pulau yang memiliki sungai-sungai besar (kali ‘sungai’ dan mantan ‘besar’). Memang, di pulau ini terdapat banyak sungai besar, seperti Kapuas, Mahakam, Kahayan, Barito, dll., sehingga Kalimantan dijuluki pulau seribu sungai. Penduduk setempat banyak yang bermukim di sekitar sungai dan transportasi sungai menjadi kekhasannya.

Mayoritas penghuni Kalimantan adalah Suku Dayak. Nama “dayak” memiliki arti yang bervariasi. Misalnya, Dayak merupakan sebutan bagi stam-stam yang tidak beragama Islam di Kalimantan. Pendapat lain menyatakan bahwa Dayak merupakan sebutan bagi orang-orang yang tinggal di daerah udik Kalimatan, yaitu di hulu-hulu sungai yang mana daerahnya bergunung-gunung. Tidak semua orang menerima pendapat-pendapat ini. Arti lain dari nama dayak itu adalah gagah dan cantik. Terlepas dari pendapat yang berbeda tentang arti dari nama tersebut, Dayak diterima sebagai sebutan bagi suku pribumi yang mendiami Kalimantan.

Seturut catatan historiografi, Suku Dayak merupakan pendatang dari Yunan. Kurang lebih dua ratus tahun sebelum masehi, terjadilah perpindahan bangsa Melayu yang pertama ke Indonesia dari daerah Yunan. Di Kalimantan, mereka mula-mula berdiam di daerah pantai lalu terdesak ke pedalaman oleh kedatangan Melayu muda. Akan tetapi, orang Dayak sendiri tetap berpendirian bahwa mereka bukan pendatang tetapi penduduk asli yang diturunkan oleh  Ranying Hatalla dari langit ketujuh.

Keyakinan asli Suku Dayak adalah Kaharingan. Kaharingan telah ada sejak awal penciptaan. Ranying Hatalla telah mengatur segala sesuatunya untuk menuju jalan kehidupan, ke arah kesempurnaan yang kekal. Sejak manusia diturunkan ke alam kehidupan, terlebih dahulu mereka telah dibekali sengan segala aturan dan tata cara untuk menuju kehidupan sempurna.  Kaharingan meyakini bahwa setiap orang dalam kehidupannya mempunyai tugas dan misi tertentu. Maka, misi utama Kaharingan adalah mengajak manusia menuju jalan yang benar dengan berbakti serta mengagungkan Ranying Hatalla dalam setiap sikap dan perbuatan.

Nilai sosial Suku Dayak dapat terbaca dalam Rumah Betang. Rumah Betang adalah rumah adat Kalimantan yang terdapat di berbagai penjuru Kalimantan. Satu rumah Betang dapat menampung hingga lima puluh bahkan lebih keluarga. Selain sebagai tempat tinggal suku, Betang meyimpan kekayaan nilai hidup Suku Dayak yang menekankan kebersamaan, saling menghormati dan tenggang rasa. Kultur kebersamaan ini menumbuhkan kepribadian orang Dayak yang terbuka, jujur, kehalusan dan kelembutan.

Kehadiran Awal Gereja: Tamu yang Diwaspadai

Kisah awal misi Kalimantan sangat menantang. Berhasil menyusuri sungai hingga ke pedalaman, tidak otomatis sukses menggugah hati Suku Dayak untuk dibabtis. Suku Dayak begitu kokoh menjaga warisan leluhur dan tidak mudah digoyahkan oleh pendatang. Kekristenan dilihat sebagai tamu yang disambut dengan ramah. Meski demikian, Suku Dayak tetap berwaspada terhadap tamu baru itu. Suku Dayak memang membantu para misionaris, tetapi tidak serta merta memberi diri dibaptis menjadi orang Katolik. Para misionaris tidak patah semangat dan putus harapan untuk terus menawarkan karya keselamatan sehingga perlahan-lahan nama Yesus dikenal di rimba Kalimantan.

Hingga tahun 1900 umat Katolik Kalimantan merupakan kelompok kecil yang terdiri dari 356 orang dan jumlah ini hanya 1% dari jumlah umat Katolik di Hindia Belanda pada masa itu. Dua tempat yang tercatat dalam sejarah misi Kalimantan, adalah Singkawang dan Laham. Singkawang merupakan titik awal perkembangan umat Katolik di Kalimantan Barat. Pada tahun 1885, Singkawang menjadi stasi yang anggotanya hampir eksklusif Cina. Sementara itu, Laham merupakan kisah awal misi dari arah Timur Kalimantan. Laham terletak di daerah sungai Mahakam, Kalimantan Timur kurang lebih 500 km dari kota Samarinda. Kemudian, karya misi ini berkembang ke tempat-tempat lain. Hingga tahun 1938, ada 11 stasi tetap di Kalimanta Timur yaitu Laham, Tering (1928), Balikpapan (1931), Samarinda (1933), Tarakan (1934), Mamehak Besar, Batu Urah, Long Pahangai dan Barong Tongkok (1937) dan di Kalimantan Selatan, Stasi Banjarmasin dan Kelayan (1936).

Seiring bergulirnya waktu, karya misi Kalimantan terus berkembang. Kini,  wilayah Kalimantan terbagi dalam dua Provinsi Gerejawi, yaitu Provinsi Gerejawi Pontianak dan Provinsi Gerejawi Samarinda.  Provinsi Gerejawi Pontianak terdiri atas empat keuskupan, yaitu Keuskupan Agung Pontianak, Keuskupan Ketapang, Keuskupan Sanggau dan Keuskupan Sintang. Sementara itu, Provinsi Gerejawi Samarinda terdiri dari lima keuskupan, yaitu Keuskupan Agung Samarinda, Keuskupan Palangka Raya, Keuskupan Tanjungselor dan Keuskupan Banjarmasin.

Dalam rangka melahirkan agen-agen Pastoral, di Kalimatan sudah didirikan beberapa seminari menengah, misalnya Seminari Menengah St. Yohanes Don Bosco Samarinda, Seminari Menengah Santo Paulus, Topang  dan Seminari Menengah Raja Damai, Palangka Raya. Selain seminari menengah, kalimantan juga memiliki Seminari Tinggi Antonino Ventimiglia dan Sekolah Tinggi Teologi (STT) Pastor Bonus Pontianak yang menjadi lembaga formasi bagi calon imam Regio Kalimantan dari imam dioses Regio Kalimatan, tarekat CP, dan OFM Capusin. Selain pendidikan khusus untuk para calon imam, Kalimantan juga memiliki beberapa Sekolah Tinggi untuk menghasilkan kaum awam yang terpanggil untuk mewartakan kabar gembira, seperti STIPAS Tahasak Danum Pambelum milik Keuskupan Palangka Raya, Sekolah Tinggi Pastoral (STP) St Agustinus milik Keuskupan Agung Pontianak dan Sekolah Tinggi Kateketik Pastoral Katolik Bina Insan milik Keuskupan Agung Samarinda.

Gereja Dewasa:  Menjumpai Kristus Di Betang

Kini Gereja Kalimantan sedang berjuang menjadi Gereja dewasa. Menjadi Gereja dewasa  tidak lain merupakan suatu proses untuk mengakarkan iman dalam konteks Kalimatan sehingga Gereja tidak lagi dilihat sebagai tamu yang perlu diwaspadai. Salah satu upaya ke arah itu adalah inkulturasi musik liturgi. Di Regio Kalimantan telah diadakan lokakarya musik Liturgi yang dilakukan oleh Pusat Musik Liturgi di Buntok/Kalteng (1984), Tering/Kaltim (1985), Tanjung Isuy/ Kaltim (1987), Sanggau/Kalbar (1989), Putussibau/ Kalbar (2001) dan Palangka Raya (2008). Adalah suatu prestasi tersendiri ketika sudah diterbitkan Madah Bakti edisi khusus Regio Kalimantan yang berisikan lagu-lagu inkulturatif Suku Dayak. Kini, Ekaristi menjadi tidak asing lagi bagi Suku Dayak karena nuansa Dayak perlahan-lahan menginspirasi perayaan Gereja.

Menjadi Gereja Dewasa berarti juga menjadi Gereja yang siap berziarah dalam dan bersama konteks di mana Gereja berada. Gerakan tersebut adalah juga panggilan Gereja Katolik Kalimanta dewasa ini.  Hal ini misalnya dapat disimak dalam arah dasar Keuskupan Palangka Raya2011-2015: “Umat Allah Keuskupan Palangka Raya yang hidup dalam kasih karunia Allah berusaha lebih mendewasakan imannya dengan memaksimalkan peran dan fungsi Dewan Paroki dan pewarta awam, mencintai Kitab Suci dan liturgi yang inkulturatif; meningkatkan martabat manusia melalui pengembangan ekonomi umat, pendampingan kaum muda, pemberdayaan kaum lemah, dialog antar umat beragama dan pelestarian lingkungan hidup.” Arah pastoral ini jelas menegaskan bahwa Gereja terpanggil untuk berjuang bersama mereka yang terpinggirkan dan tersisihkan dari rumahnya sendiri.

Mengakarkan Kristus dalam budaya setempat tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Bagaimana pun, perjumpaan antara iman Kristiani dan budaya setempat merupakan dialog yang tidak pernah selesai. Bentuk dialog sangat bergantung pada situasi konteks di mana perjumpaan itu terjadi. Demikian halnya Gereja Kalimantan terus berusaha menemukan dialog yang selaras zaman. Mengakarkan iman Kristiani dalam konteks Kalimantan dewasa ini adalah bagaimana menjumpai Kristus yang semula berdiam di rumah Betang, tetapi kini perlahan terdepak oleh kekuatan kapitalis yang tidak sungkan merenggut kemurnian dan kesucian Betang.

“Pengharapan tidak mengecewakan (Rm 5:5),” demikianlah seruan Mgr. Petrus Boddeng Timang dalam Surat Gembala menyambut Natal 2013 dan Tahun Baru 2014. Sabda ini tampaknya tepat juga untuk melukiskan tentang pertumbuhan Gereja Kalimantan. Awalnya, Gereja Katolik merupakan tamu bagi Suku Dayak, tetapi perlahan-lahan diterima dan kini tengah bertumbuh menjadi Gereja Dewasa. (Diolah dari berbagai sumber)

Melahirkan Katekis Berkarakter

Oleh: Timotius J

Setiap umat Kristiani terpanggil untuk terlibat dalam karya pewartaan Sabda sesuai dengan kharisma yang diterima dari Allah sendiri. Salah satu bentuk nyata panggilan kaum awam dalam karya evangelisasi adalah menjadi katekis. 

STIPAS Tahasak Danum Pambelum (TDP) adalah jawaban bagi tersedianya katekis di Kalimantan umumnya dan teristimewa di Keuskupan Palangkaraya. Lembaga pendidikan tinggi ini telah memberikan sumbangan berarti bagi karya evangelisasi di Borneo untuk satu dasawarsa terakhir. Betapa tidak, dalam rentangan usia 12 tahun, STIPAS TDP telah meluluskan 329 orang katekis dari Angkatan I-IX. Para alumni tersebut melayani umat dalam pengajaran iman, peribadatan, dan juga hal-hal praksis karya pastoral entah di lembaga pendidikan sebagai guru Agama Katolik maupun sebagai katekis di paroki.

Komitmen untuk terlibat dalam membangun Gereja dan masyarakat melalui pelaksanaan pelayanan pendidikan kini kian terpacu dengan diterbitkannya Keputusan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi No. 051/SK/BAN-PT/Ak XV/S/II/2013 pada tanggal 14 Februari 2013. Program Studi yang ditawarkan STIPAS TDP, yaitu Pendidikan Pengajaran Agama Katolik mendapat peringkat B. Pastor Fransiskus Janu Hamu, Pr selaku Ketua STIPAS menyatakan bahwa semoga sertifikasi ini dapat menambah keyakinan dan pengakuan masyarakat bahwa STIPAS mampu melaksanakan pelayanan pendidikan serta  kegiatan-kegiatan  pendukungnya yang memenuhi Standar Pendidikan Nasional.

Lembaga pendidikan tinggi ini merupakan milik Keuskupan Palangkaraya yang bernaung di bawah Yayasan Tahasak Danum Pambelum. Pendirian STIPAS merupakan bagian dari upaya Keuskupan Palangkaraya untuk memperkuat barisan tenaga pastoral awam Katolik yang profesional, mandiri dan berdedikasi tinggi dalam menjalankan pastoral sekolah dan pastoral umat bersama Hierarki Gereja Katolik. Awalnya, yayasan ini mengelola PGAK Tahasak Danum Pambelum yang dimulai pada tanggal 21 Juli 1985. Kemudian, pendidikan tenaga guru Agama Katolik dan katekis ditingkatkan dengan menawarkan Program Diploma Kateketik Pastoral yang berafiliasi dengan Institut Pastoral Indonesia (IPI) Malang.

Pada tahun 2002, penyelenggaraan pendidikan di lembaga ini berdiri sendiri dan statusnya ditingkatkan menjadi Sekolah Tinggi Pastoral yang dikukuhkan oleh Direktorat Jendral Bimas Katolik Departemen Agama RI pada tanggal 2 Desember 2002. Kuliah perdana angkatan pertama tahun ajaran 2002/2003  dimulai pada tanggal 1 September 2002. Pada tanggal 12 Maret 2012, Direktorat Jendral Bimas Katolik Kementrian Agama RI memperpanjang izin operasional STIPAS TDP.

Kampus dan Asrama: Satu Paket Pembinaan

Paus Yohanes Paulus II menyebutkan bahwa para katekis adalah para pekerja yang khusus, para saksi iman yang langsung, para evangelis yang tak tergantikan, yang mewakili kekuatan dasar komunitas Kristiani. Menyadari posisi strategis katekis dalam karya evangelisasi, pembinaan katekis kiranya diselenggarakan sedemikian sehingga kelak mereka dapat menjalankan panggilannya dengan baik. Tentang pembinaan katekis, di dalam Kitab Hukum Kanonik dikemukanan bahwa hendaknya para katekis disiapkan dengan semestinya untuk dapat melaksanakan tugas mereka dengan sebaik-baiknya, yakni supaya dengan diberikan pembinaan yang terus-menerus mereka memahami dengan baik ajaran Gereja dan mempelajari secara teoretis dan praksis norma-norma yang khas untuk ilmu-ilmu pendidikan (Kan. 780).

Sejalan dengan himbaun Paus Yohanes Paulus II dan isi Kanon tersebut, STIPAS TDP menekankan pembinaan karakter pribadi para calon (personal character building). Karakter pribadi yang menjadi sasaran pembinaan adalah kedisiplinan pribadi dalam nuansa Kristiani yang syarat bernafaskan kasih dan pengorbanan diri sehingga menghasilkan guru Agama Katolik dan katekis paroki yang mampu mengembangkan potensi dasarnya, mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dan dapat menggunakan teknologi komunikasi dan informasi serta peduli dan tanggap terhadap masalah yang dihadapi masyarakat.

Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, STIPAS TDP menjalankan pola pembinaan kampus dan asrama sebagai satu paket pembinaan. Para calon katekis wajib tinggal di asrama yang disiapkan lembaga. Ada empat unit asrama yang disiapkan, dua unit untuk putra dan dua unit untuk putri. Dengan demikian, proses pembinaan dan pendampingan lebih terarah dan berkesinambungan antara kampus dan rumah studi (asrama) yang difokuskan pada pembinaan akademis, bimbingan konseling, pengembangan minat dan bakat, dan pegembangan soft skills.

Untuk menunjang proses pembinaan, STIPAS TDP memiliki sarana dan prasarana yang cukup seperti ruang praktik komputer, ruang perkuliahan nyaman dengan LCD permanen, dan jaringan internet Wi-Fi/tanpa kabel yang dapat diakses oleh mahasiswa. Dengan fasilitas yang tersedia, para mahasiswa juga mengembangkan diri melalui beberapa kegiatan ekstrakurikuler seperti mading, paduan suara, olah raga, seni tari, band, musik tradisional,  komputer, Bahasa Inggris, menjahit dan berkebun.

Sadar Konteks

Sejak awal berdirinya, lembaga pendidikan tinggi ini menyelenggarakan pembinaan sadar konteks. Hal ini dapat disimak dari visinya, yaitu terwujudnya lembaga STIPAS yang menghasilkan tenaga pastoral sekolah dan pastoral  umat yang  beriman, profesional, mandiri,  berdedikasi tinggi, dan terlibat aktif dalam pelestarian budaya dan lingkungan hidup. Nama lembaga ini pun diambil dari kearifan tradisi setempat, yakni Tahasak Danum Pambelum yang berarti sumber air kehidupan. Demikian pun lambang lembaga juga diambil dari kekhasan budaya setempat, seperti perisai (alat perang untuk melindungi diri dari serangan musuh yang dalam bahasa setempat disebut telabang), tempayan (tempat untuk mengisi air untuk orang Dayak Kalimantan Tengah) dan tujuh Aliran Sungai yang menunjukkan tujuh sungai besar yang berada di wilayah Keuskupan Palangkaraya yang memberikan kesuburan kepada alam sekitarnya. 

Menurut BPS Provinsi Kalimantan Tengah 2011, umat Katolik di propinsi ini berjumlah 76 419 jiwa (3,38% dari total penduduk). Meski demikian, jumlah imam yang melayani masih kurang sebagaimana ditandaskan oleh Bapak Uskup Keuskupan Palangkaraya, Mgr. Sutrisnaatmaka ketika meresmikan gedung baru STIPS pada Juli 2014 yang lalu. Karena itu, STIPAS diharapkan mampu menyiapkan agen-agen pastoral untuk menjawabi kebutuhan umat akan pelayanan pastoral. Memang, Gereja universal mengakui pentingnya keterlibatan awam dalam karya pewartaan. Misalnya, dalam Ecclesia in Asia 45 dinyatakan bahwa di mana kehadiran petugas pastoral tertahbis masih belum memadai, kaum awam, dalam hal ini para katekis tampil sebagai garda depan.

Salah satu point yang ditekankan oleh Keuskupan Palangkaraya dalam Arah Dasar Keuskupan untuk jangka waktu 5 tahun (2012-2017) adalah beriman mandiri, artinya memiliki kemampuan dan kepercayaan diri untuk membangun dan mengembangkan Gereja di Keuskupan Palangkaraya meskipun tetap memerlukan batuan dari berbagai pihak; tetapi tidak menggantungkan diri pada pihak lain. STIPAS merealisasikan niat luhur itu dengan menghasilkan katekis yang siap mejawabi kebutuhan agen pastoral di Keuskupan Palangkaraya.

Sebagai bentuk pembinaan katekis yang sadar konteks, para mahasiswa dilibatkan dalam berbagai karya pastoral nyata. Keterlibatan para mahasiswa dalam berbagai karya pastoral nyata merupakan kesempatan belajar mengabdi dan melayani sesuai dengan kebutuhan konteks pastoral. Karena itu, dosen-dosen yang menangani komisi-komisi di keuskupan melibatkan mahasiswa dalam menjalankan kegiatan-kegiatan tertentu, seperti pendampingan rekoleksi untuk anak, remaja dan kaum muda, pelatihan bagi para pembina Sekami, merekam lagu dan gerak untuk kegiatan Bina Iman Anak dan Remaja. Mereka juga dilibatkan dalam berbagai kegiatan di lingkungan bersama umat dan pada semester ketujuh  mejalani praktek pastoral (KKN) selama enam bulan di paroki.  Keterlibatan dalam karya pastoral nyata kemudian direfleksikan dalam bentuk laporan dan skripsi mahasiswa merupakan hasil penelitian dalam konteks pastoral Keuskupan Palangkaraya.

Setiap umat Kristiani terpanggil untuk terlibat dalam karya pewartaan Sabda sesuai dengan kharisma yang diterima dari Allah sendiri. Salah satu bentuk nyata panggilan kaum awam dalam karya evangelisasi adalah menjadi katekis. STIPAS TDP Keuskupan Palangkaraya telah dan akan selalu siap menjadi rumah bagi siapa saja yang hendak menanggapi panggilan istimewa tersebut. (Diolah dari berbagai sumber)