Tampilkan postingan dengan label gerakan sosial. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label gerakan sosial. Tampilkan semua postingan

Civil Society dan Gerakan Sosial

Civil society dipahami sebagai ruang publik yang terejawantah dalam organisasi-oraganisasi nonnegara, seperti serikat kerja,  asosiasi-asosiasi pendidikan, badan-badan keagamaan dan media. Istilah civil society ditemukan oleh Adam Ferguson, filsuf Scotlandia pada abad ke 18.  Setelah Ferguson menemukan istilah tersebut, banyak pemikir sosial politik memberikan pengembangan lebih lanjut. 

Oleh: Timotius J 

Istilah civil society ditemukan oleh Adam Ferguson, filsuf Scotlandia pada abad ke 18.  Secara harafiah, civil society merupakan terjemahan dari istilah Latin, civilis societas yang digunakan oleh CICERO (106-43 S.M), orator Romawi Kuno. Sementara itu, civilis societas itu sebenarnya merupakan pengembangan lebih lanjut dari konsep Yunani politike koinonia. Setelah Ferguson menemukan istilah tersebut, banyak pemikir sosial politik memberikan pengembangan lebih lanjut. Menimbang kenyataan ini, maka tulisan ini akan coba menenelusuri beberapa pandangan yang pernah mengemuka sehingga diperoleh pemahaman yang cukup tentang konsep tersebut dewasa ini.

Tinjauan Analitis

Dalam telaahan Jean L Cohen dan Andrew Arto, ditemukan bahwa ide civil society dalam pemikiran Yunani terkandung dalam pemikiran Aristoteles tentang politike koinonia. Politike koinonia digunakan oleh Aristoteles untuk menggambarkan sebuah masyarakat politik dan etis di mana warga negara berkedudukan sama di depan hukum. Hukum sendiri dipahami sebagai seperangkap norma dan nilai yang disepakati tidak hanya berkaitan dengan prosedur politik tetapi juga sebagai substansi dasar kebajikan dari berbagai bentuk interaksi di antara warga komunitas.  

Dalam perkembangan selanjutanya, konsep Aristotelian ini mempengaruhi pemikiran Romawi Kuno yang dikembangkan oleh Cicero. Cicero memunculkan istilah societas civilis  yang mengacu kepada gejala budaya perorangan dan masyarakat. Dalam pemikiran Cicero terkandung pemahamana civil society sebagai sebuah masyarakat politik (political society) yang memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup. Adanya hukum yang mengatur pergaulan antar individu merupakan tanda keberadaban suatu masyarakat.  

Hingga abad 18, baik koinonia politike maupun societas civilis diterima sebagai arti dari civil society. Hal ini tampak dalam pemikiran Locke tentang pemerintahan politik.  Civil society merupakan arena bagi warga negara yang aktif secara politik. Istilah ini juga berkonotasi bahwa orang-orang yang terlibat di dalamnya adalah bagian dari masyarakat beradab yang mendasarkan hubungan-hubungannya pada suatu sistem hukum, bukannya pada tata hukum otokratis yang korup.  

Hegel merupakan orang yang berjasa dalam mengembangkan makna modern kosep civil society yang tertuang dalam bukunya berjudul Philosophy of  Right. Baginya civil society merupakan satu bagian saja dari tatanan politik (political order) secara keseluruhan. Bagian dari tatanan politik yang lain adalah negara (state). Civil society dipahami sebagai wadah kehidupan etis yang terletak di antara kehidupan keluarga dan kehidupan kewarganegaraan. Lebih lanjut civil society ditentukan oleh permainan bebas kekuatan-kekuatan ekonomi dan pencarian jati diri individual. Selain itu, civil society juga mencakup lembaga-lembaga sosial dan kenegaraan yang memwadahi dan mengatur kehidupan ekonomi yang selanjutnya memicu proses pendidikan bagi gagasan kehidupan kenegaraan secara rasional. Jadi, kekhasan masyarakat sipil telah melampaui universalitas negara.  Dengan demikian, Hegel membuat dikotomi antara negara dan masyarakat (state and society).

Pada awal abad 20 salah satu pemikir yang menaruh minat pada civil society adalah Antonio Gramsci yang tertuang dalam kumpulan tulisannya yang berjudul Prison Notebooks. Mengikuti Hegel, ia membedakan civil society dari negara dan lebih jauh membedakannya dari masyarakat ekonomi. Baginya civil society terdiri atas lembaga-lembaga yang terlepas dari pemaksaan dan aturan-aturan formal. Adapun lembaga-lembaga civil society itu adalah institusi keagamaan, sekolah serikat pekerja, dan berbagai organisasi lainnya. Walaupun lembaga-lembaga ini dalam kenyataannya acapkali juga dibelokkan menjadi sarana bagi kelas penguasa dalam memelihara hegemoninya terhadap masyarakat, namun lembaga-lembaga ini juga merupakan arena di mana hegemoni itu sendiri dapat ditentang atau digoyahkan secara sah.  

Dalam wacana kontemporer, Anthony Giddens menghubungkan civil society dengan fenomena globalisasi. Salah satu trend globalisasi adalah tuntutan desentralisasi dan penyebaran kekuasaan dalam masyarakat. Akibat trend itu, negara akan kehilangan efektivitasnya ketika ia bersikukuh dengan pemusatan kekuasaan, apalagi bila dilakukan dengan cara represif.  Karena itu, semakin mengemukanya pengaruh globalisasi membuat fokus pada komunitas menjadi penting. Di sini, komunitas merujuk pada sarana-sarana praktis untuk membantu renovasi sosial dan material lingkungan tempat tinggal, kota dan areal lokal yang lebih besar. Untuk itu, salah satu hal yang harus diperhatikan adalah soal terbentuknya ruang publik. 

Sementara itu, Jeff Haynes mengutip Stepan mendefenisikan masyarakat sipil sebagai wilayah di mana terdapat banyak gerakan sosial  dan organisasi profesi yang berjuang untuk membentuk diri mereka menjadi suatu kerangka bersama guna menyatakan diri dan memajukan kepentingannya. Di sini, civil society dibedakan dari masyarakat politik karena masyarakat politik merupakan arena di mana keseluruhan bangsa secara spesifik menyusun dirinya sendiri dalam persaingan politik untuk memegang kendali atas kekuasaan public dan aparat Negara. Sementara civil society merupakan benteng bagi warga negara terhadap kekuasaan negara 

Bertolak dari uraian di atas, civil society dalam tulisan ini dipahami sebagai ruang publik yang terejawantah dalam organisasi-oraganisasi nonnegara, seperti serikat kerja,  asosiasi-asosiasi pendidikan, badan-badan keagamaan dan media. Civil society merupakan organisasi sukarela yang dibedakan dari masyarakat politik, masyarakat ekonomi dan negara. Civil society menjadi benteng bagi masyarakat dalam menghadapi hegemoni masyarakat ekonomi, masyarakat politik, maupun negara. Dengan kata lain, civil society membaktikan diri kepada masyarakat luas dengan mempengaruhi kebijakan-kebijakan dan keputusan-keputusan dari masyarakat ekonomi, masyarakat politik dan negara.

Peran Civil Society 

Pengutan civil society menjadi urgen mengingat kehadiran civil society memiliki beberapa peran penting. Setidak-tidaknya ada tiga peran pokok civil society. Pertama, dalam hubungan dengan negara civil society harus berdiri sebagai perisai bagi masyarakat dari perilaku negara yang cendrung hegemonik, otoritarian, dan represif. Civil society hendaknya menjadi pelindung yang kuat terhadap dominasi negara. Dengan kata lain, lembaga-lembaga dan badan-badan pendukungnya yang membentuk civil society idealnya haruslah cukup kuat untuk menjaga agar negara berada dalam pembatasan substansial dan prosedural sehingga tidak merugikan masyarakat. 

Sebagai perisai dan pelindung masyarakat, civil society merupakan ruang publik di mana para anggotanya melakukan public critical rational discourse dengan negara. Kemudian public critical rational discourse ini secara eksplisit harus memperkuat nilai-nilai demokrasi, dan terutama hak asasi manusia agar ruang lingkupnya semakin demokratis. Jika kandungan discourse yang dilakukan oleh para pelaku sipil tidak berdasarkan nilai-nilai dan norma demokrasi maka para pelaku tersebut tidak termasuk dalam civil society. 

Kedua, peran civil society berhadapan dengan masyarakat ekonomi dan masyarakat politik. Di sini masyarakat politik adalah organisasi-organasasi politik, seperti partai politk dan masyarakat ekonomi adalah perusahan, korporasi bisnis atau organisasi yang bergelut dalam bidang produksi dan distribusi. Kedua kelompok ini secara langsung berhubungan dengan kekuasaan negara dan produksi sumber-sumber ekonomi. Baik masyarakat politik maupun masyarakat ekonomi berjuang untuk kepentingan kelompoknya sendiri. Mereka harus mengontrol dan mengelola kepentingan mereka sendiri. Berhadapan dengan kedua kelompok ini, civil society memainkan peran seabagai pengontrol yang memperadabkan atau sekurang-kurangnya mempengaruhi keputusan-keputusan  yang harus di buat oleh masyarakat ekonomi dan politik sehingga tidak tidak merugikan masyarakat kebanyakan. 

Ketiga, civil society pada hakikatnya berpihak pada masyarakat. Bagi Anthony Giddens, pengembangan masyarakat madani yang aktif merupakan bagian yang mendasar dari politik jalan ketiga di mana politik baru ini menerima kekhawatiran akan menurunnya kualitas hidup masyarakat. Penurunan kualitas hidup masyarakat adalah real dan kasat mata dalam banyak sektor masyarakat kontemporer. Hal itu terlihat dalam melemanya rasa solidaritas di beberapa komunitas lokal dan lingkungan pedesaan, tingginya tingkat kejahatan dan porak porandanya perkawinan dan keluarga. 

Dengan penguatan civil society yang merupakan ruang publik di mana individu-individu bergabung dengan segala karakter masing-masing, Giddens optimis bahwa hal ini dapat mengatasi persoalan yang mendera masyarakat. Di sini, ia merujuk pada suatu penelitian di Amerika. Kehadiaran ruang publik telah melahirkan berbagai kelompok sukarela di mana anggota-anggotanya berkumpul untuk saling memberi dan mendapatkan perhatian, saling menolong dan seterusnya. Bagi mereka, kehadiran ruang publik mampu mengatasi kecendrungan-kecendrungan dislokasi masyarakat  dan bahkan membuat mereka mampu bersatu dan saling mendukung. 

Civil Society sebagai Pilar Strategis Gerakan Sosial

Term gerakan sosial biasanya digunakan untuk menunjukkan keanekaragaman yang luas akan usaha bersama untuk membawa suatu perubahan dalam institusi-institusi sosial tertentu atau menciptakan orde yang baru sama sekali.  Giddens menyatakan bahwa gerakan sosial merupakan suatu upaya kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama atau gerakan untuk mencapi tujuan bersama melalui tindakan kolektif di luar linkungan lembaga-lembaga yang mapan.  Di sini, gerakan sosial harus dibedakan dari kelompok-kelompok kepentingan yakni suatu asosiasi yang dibentuk untuk mempengaruhi para pembuat kebijakan dalam cara yang menguntungkan para anggotanya.  

Sementara itu, civil siciety merupakan asosiasi atau organisasi yang muncul secara sukarela, mandiri, rasional dan partisipatif baik dalam wacana maupun dalam praktis mengenai segala hal yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan. Sifat-sifat ini menunjukkan bahwa selain sebagai kekuatan penyeimbang dari kecendrungan dominatif negara, civil society juga dinilai mampu melahirkan kekuatan kritis reflektif dalam masyarakat. Bagi Jeff Haynes tekanan dari civil society di dunia ketiga sering melahirkan perubahan-perubahan di mana pemerintah di paksa untuk mengumunkan program-program demokrasi. 

Berkaitan dengan hal di atas, salah satu peristiwa yang bisa menjadi rujukan adalah gerakan solidaritas Polandia. Civil society kembali mengemuka ketika gerakan solidaritas di Polandia pimpinan Lech Walesa melancarkan perlawanan terhadap dominasi pemerintahan jenderal Jeruzelski. Dalam perlawanan tersebut, gerakan solidaritas memakai civil society sebagai dasar sekaligus arah perjuangan dengan penekanan utama pada perlawanan terhadap otoritarisme negara. Pola yang dipakai di Polandia ini akhirnya menjalar ke negara-negara Eropa Timur lainnya seiring dengan runtuhnya rezim komunisme. Keberhasilan gerakan-gerakan tersebut kemudian menjadi pemicu ramainya perbincangan civil society di berbagai belahan dunia.  

Gerakan sosial selalu terarah pada perubahan sosial.  Hal ini mengandaikan bahwa anggota masyarakat memiliki kekuatan reflektif kritis untuk melihat situasi di sekelilingnya. Kekuatan reflektif kritis ini merupakan kandungan esensial dari civil society. Di sini, menjadi eviden bahwa civil society merupakan pilar strategis dalam melahirkan gerakan sosial. Gerakan sosial (social movement) adalah bagian yang esensial dan merupakan pertanda kehadiran civil society.  Dengan kata lain, gerakan civil society merupakan suatu gerakan yang mempelopori perubahan dalam kehidupan publik. 

Sumber Daya Civil Society

Menurut Niels Mulder, masyarakat madani bersifat politis dalam arti  bahwa civil society berhubungan dengan pemberdayaan warga negara untuk berhadapan dengan negara dan pasar.  Civil society tidak berhadapan secara langsung dalam melawan negara dan pasar, melainkan berusaha memperadabkan negara dan pasar, menjinakkan sifat dasar kekuasaan dan uang sehingga kepentingan umum terjamin. Dengan demikian, civil society memantau tindakan negara, pasar ekonomi dan politik dan mengambil bagian dalam pembuatan kebijakan umum. Civil society bahkan turut serta dalam melaksanakan kebijakan umum terlebih-lebih pada tingkat akar rumput.

Menimbang bahwa civil society merupakan pilar strategis gerakan sosial, maka civil society harus memiliki sumber daya. Hal ini sejalan dengan teori gerakan sosial terutama teori mobilisasi sumber daya. Menurut teori ini sebuah gerakan sosial akan berhasil kalau didukung oleh sumber-sumber daya yang perlu. Dengan demikian, di samping faktor eksternal seperti perlawanan dari pihak penguasa, keberhasilan dan kegagalan sebuah gerakan sosial juga bergantung pada sumber daya yang dimiliki (internal).  

Berkaitan dengan hal di atas, mau tidak mau civil society harus memiliki sumber-sumber daya yang bisa dijadikan sebagai basis kekuatan dalam menjalankan peran sebagai pilar gerakan sosial. Sekurang-kurangnya, beberapa hal berikut bisa dijadikan sebagai basis kekuatan gerakan civil society..  

Pertama, kemampuan intelektual atau latar pendidikan.  Sebagaimana yang telah diuraiakan pada bagian terdahulu, civil society merupakan ruang publik yang terejawantah dalam organisasi-organisasi sukarela dan nonnegara. Di dalam ruang publik itu, terjadi apa yang disebut public critical rational discourse. Hal ini mengandaikan bahwa anggota yang tergabung di dalamnya memiliki kemampuan intelektual sehingga bisa melihat secara kritis tingkah laku negara, politik, dan pasar. Karena itu, jika anggota-anggota memiliki basis intelektual atau pendidikan, maka civil society dapat menjalankan tugasnya dengan baik. 

Kedua, kemandirian ekonomi. Selain kemampuan intelektual, kemandirian ekonomi juga bisa merintis gerakan civil society. Misalnya, pergolakan civil society di Eropa pada zaman penguasa feodal. Sekitar tahun 1100, para pedagang, bankir, dan pengusaha tumbuh menjadi cukup kuat untuk merebut hak istimewa dari penguasa feodal. Setelah memberikan pinjaman uang kepada penguasa feodal, mereka kemudian menuntut penguasa feodal untuk memberi jalan bagi kebebasan pasar dan kota.   Hal ini mau mengatakan bahwa gerakan civil society bisa muncul jika anggotanya memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Kemandirian ekonomi dijadikan sebagai senjata untuk melawan kekuasaan hegemonik.

Ketiga, modal sosial. Modal sosial berhubungan dengan sikap saling mempercayai, hubungan timbal  balik, toleransi, ketercakupan, penghormatan kepada hukum, dan tata tertib dan sifat lainnya yang diperlukan untuk bekerja secara efektif, bertukar pandangan dan bekerja sama.  Modal sosial ini sangat penting dalam membuka jaringan. Dalam gerakan sosial, kemampuan membuka jaringan dengan elemen-eleman lain juga turut mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan sebuah gerakan.  Di sini, civil society dalam usaha dan perjuangan hendaknya membuka jaringan dengan kelompok-kelompok civil society lainnya. 

Gerakan Mahasiswa Tahun 1998

Gerakan mahasiswa 1998 telah membuahkan hasil dengan turunnya Soeharto dari takhta kepresidenan dan keberhasilan Sidang Istimewa MPR bulan November 1998. Peran yang dimainkan oleh mahasiswa tampak dalam membangun organisasi dan membuka jaringan, melakukan aksi demonstrasi, menuangkan gagasan reformasi melalui diskusi dan penerbitan pers mahasiswa. 

Oleh: Timotius J 

Pengantar

Universitas/Perguruan Tinggi merupakan salah satu institusi yang diandalkan dalam gerakan civil society di tanah air. Mahasiswa merupakan bagian penting dari civitas academika yang diharapkan dapat menampilkan suatu gerakan sosial.  Bertolak dari kenyataan bahwa keberhasilan meruntuhkan rezim Orba dan datangnya Orde Reformasi tidak bisa dilepaskan dari gerakan mahasiswa 1998, maka artikel ini ingin merangkai gerakan mahasiswa 1998 dengan menggunakan analisa peran.

Analisa Peran dalam Gerakan Sosial

Gerakan sosial merupakan salah satu tema menarik dalam kajian ilmu sosial, khususnya sosiologi. Sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian terdahulu, term gerakan sosial biasanya digunakan untuk menunjukkan keanekaragaman yang luas akan usaha bersama untuk membawa suatu perubahan dalam institusi-institusi sosial tertentu atau menciptakan orde yang baru sama sekali. Tarrow menempatkan gerakan sosial sebagai politik perlawanan.  Dalam hal ini, rakyat biasa dan kelompok-kelompok masyarakat yang lebih berpengaruh menggalang kekuatan untuk melawan para elit, pemegang otoritas dan pihak-pihak lawan lainnya. Politik perlawanan ini akan menghasilkan gerakan sosial manakala didukung oleh jaringan sosial yang kuat dan digaungkan oleh resonansi kutural serta simbol-simbol aksi sehingga mengarah ke interaksi yang berkelanjutan dengan pihak-pihak lawan. Lebih lanjut, mengacu pada Giddens, gerakan sosial tersebut diarahkan untuk mengejar kepentingan bersama dan dilakukan oleh pihak-pihak di luar lingkungan lembaga-lembaga yang mapan. 

Bertolak dari pemahaman gerakan sosial seperti di atas, maka gerakan mahasiswa 1998 bisa dilihat sebagai suatu bentuk gerakan sosial. Gerakan mahasiswa 1998 merupakan suatu gerakan yang menuntut perubahan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Hal ini dilatari oleh menderanya negara tercinta dalam krisis multidimensi yang tidak mampu diatasi pemerintah Orba. Gerakan mahasiswa 1998 ini telah berhasil menggulingkan rezim Orba dan melahirkan orde reformasi. Ada banyak kalangan yang terlibat dalam gerakan tersebut, misalnya kelompok proreformasi, masyarakat luas, dan kaum intelektual atau kaum akademisi. Banyak kalangan yang menilai bahwa walaupun ada banyak ide dari kalangan-kalangan yang menginginkan reformasi, namun reformasi tidak bisa berjalan tanpa demonstrasi mahasiswa (baca: gerakan mahasiswa). Salah satunya adalah Prof Dr. Ahmad Syafi’I Ma’arif yang menyebut gerakan mahasiswa sebagai kekuatan pendobrak. Ia mengatakan demikian, “Mahasiswa merupakan kekuatan pendobrak. Walaupun ada Ide dari tokoh pembaru, reformasi, tapi tanpa demonstrasi mahasiswa saya rasa tidak berhasil….” 

Dalam menggambarkan suatu gerakan, sosiologi menyiapkan beberapa model analisa. Gerd Theissen dalam upaya untuk memahami gerakan Yesus menggunakan tiga model analisa, yaitu analisa peran, analisa faktor dan analisa fungsional. Dengan menggunakan beberapa model analisa ini,  Gerd Theissen coba mengantar sidang pembaca pada sebuah pemahaman sosiologis tentang jemaat Kristen Perdana. 

Sebagaimana yang telah dibuat oleh Gerd Theissen, maka untuk mendapatkan gambaran gerakan mahasiswa 1998, di sini akan digunakan analisa peran. Menimbang banyaknya pihak yang terlibat dalam gerakan mahasiswa 1998, penelitian ini hanya terkonsentrasi pada peran kelompok mahasiswa. Sementara peran kelompok lain juga akan disinggung sejauh berhubungan dengan peran yang ditampilkan kelompok mahasiswa.

Sasaran dari analisa peran di sini adalah untuk mendapatkan gambaran pola perilaku yang ditampilkan dalam gerakan tersebut.  Dalam kaitan dengan gerakan mahasiswa yang ditelaah di sini, pola tingkah laku dibedakan atas dua, yaitu pola tingkah laku mahasiswa sendiri (perilaku internal) dan pola perilaku elemen-elemen lain yang terlibat dalam gerakan tersebut (perilaku eksternal).

Perilaku Internal

Perilaku internal ini diarahkan untuk menggalang kekuatan dari rekan-rekan sesama mahasiswa sehingga bersatu membuat gerakan. Dengan kata lain, perilaku internal ini berhubungan dengan pola perilaku yang diarahkan untuk memperkuat barisan kelompok mahasiswa sendiri dan juga dalam melakukan gerakan secara bersama-sama oleh mahasiswa sendiri. Perilaku internal kelompok mahasiswa ini dapat terlihat dalam hidup berorganisasi, pembentukan aksi publik, yaitu aksi demo demonstrasi,  pengorganisasian sarana (pers mahasiswa), dan pembentukan ide bersama (diskusi).

Organisasi dan Jaringan

Berkaitan dengan organisasi gerakan mahasiswa 1998, ada yang berpendapat bahwa gerakan mahasiswa 1998 tidak memiliki pemimpin, tanpa organisasi sentral, kurang menekankan pada pentingnya koordinasi, tidak terstruktur serta tidak memiliki ideologi. Dengan demikian, tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa praktisnya gerakan mahasiswa sekarang 1998 bagaikan ayam kehilangan induk alias tidak ada yang memiliki kualitas sebagai pemimpin mahasiswa.  Namun, hal ini tidak berarti bahwa gerakan mahasiswa 1998 tanpa organiasi. Sebagaimana setiap gerakan umumnya memiliki organisasi, demikian halnya dengan gerakan mahasiswa juga memiliki organisasi yang mengatur peran aktor dalam gerakan.

Dalam pengamatan Denny J A, salah satu faktor yang memicu adanya gerakan mahasiswa 1998 adalah para pelaku dan pemimpin mahasiswa itu sendiri. Dia menyatakan demikian: “Lingkungan hanya menyediakan lapangan yang memberikan kemungkinan bagi tumbuhnya gerakan. Pada akhirnya adalah seorang pemimpin yang harus memanfaakan lingkungan dan mengubah potensi menjadi aksi.”  Di sini, ia mengakui bahwa institusi penting gerakan mahasiswa 1998 adalah adanya senat mahasiswa yang menaungi satu universitas. Institusi ini secara formal dan organisatoris memudahkan pemimpin mahasiswa menyatukan aksi selingkungan universitas.  Kemudian aksi ini menjalan ke luar lingkungan universitas.

Apa yang diamati oleh Denny J A ini juga diamati oleh Arie Sujito dkk. Mereka mengamati bahwa di dalam kampus gerakan mahasiswa dimotori oleh kelompok radikal independen yang secara konsisten menyuarakan demokratisasi dan dihargainya hak-hak sipil di Indonesia. Kelompok inilah yang menyeret kekuatan formal-korporatif dalam kampus untuk masuk dalam arus besar itu terutama Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT).

Selain itu, gerakan mahasiswa juga memiliki jaringan antarkota sehingga tuntutan politik di tingkat makro menjadi lebih homogen. Beberapa forum di tingkat kota seperti forum kota, forum senat mahasiswa, pers mahasiswa, dan beberapa pusaran lain di tiap-tiap kota ternyata bersinggungan baik taktis maupun strategis.  Selain itu, aktivis mahasiswa juga membuka jaringan dengan dengan aktivis-aktivis lainnya, seperti LSM dan intelektual kritis. Menurut Denny J A, jaringan informal antara universitas ini rupanya sudah dibangun oleh aktivis mahasiswa pada periode sebelumnya.  

Demonstrasi

Menurut Ensiklik Populer Politik Pembangunan Pancasila, demonstrasi diartikan sebagai gerakan bersama-sama untuk mempertunjukkan kehendak atau pendapat. Pihak yang melakukan demonstrasi biasanya bertujuan untuk memprotes atau tidak setuju terhadap keadaan atau tindakan suatu badan, golongan atau tindakan seseorang.  Di sini, demonstrasi merupakan ekspresi suatu relasi yang erat antara manusia dengan hati nuraninya di mana demonstrasi terjadi ketika kebebasan dan otonomi individu tereliminasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.  Dengan demikian, demonstrasi harus dibedakan dengan kerusuhan yang cendrung destruktif sebagaimana yang terjadi di di berbagai tempat di Indonesia pada tahun 1996-1998.

Menurut catatan Kompas, demonstrasi mahasiswa 1998 pertama kali dilakukan oleh mahasiswa Universitas Indonesia pada tanggal 26 Februari di Kampus UI, Depok Jawa Barat dengan substansinya adalah reformasi di bidang politik dan ekonomi dalam mengatasi krisis. Dalam bulan-bulan berikutnya, demonstrasi mahasiswa kian marak di seluruh tanah air.  Puncak demonstrasi mahasiswa adalah pendudukukan gedung MPR/DPR pada tanggal 18 Mei hingga 22 Mei 1998 dan Soeharto akhirnya mengundurkan diri dari jabatan sebagai presiden Republik Indonesia. Tentang peristiwa pendudukan gedung MPR/DPR, Harian Kompas menulis sebagai berikut:

“Puluhan ribu mahasiswa dari puluhan perguruan tinggi di wilayah Jabotabek, selasaa (19/5) “menduduki gedung DPR/MPR. Mereka bukan saja memadati pelataran DPR, tetapi juga menaiki kubah gedung, memenuhi taman-taman, lorong-lorong, maupun rungan lobi. Ini merupakan demonstrasi terbesar yang dilakukan oleh mahasiswa selama 30 tahun terakhir di Gedung DPR/MPR”  

Setelah Soeharto mengundurkan diri dari kursi kepresidenan, demonstrasi mahasiswa masih berlanjut. Hal ini membuktikan bahwa demonstrasi yang mereka lakukan tidak semata-mata untuk menuntut Soeharto mundur, tetapi lebih merupakan seruan agar reformasi di segala bidang harus dilaksanakan. Sekurang-kurangnya demonstrasi ini dilakukan di Ujung Pandang, Solo, Medan.           

Pers Mahasiswa

Pers mahasiswa merupakan salah satu sarana yang digunakan oleh gerakan mahasiswa dalam memperjuangkan dan mempublikan aspirasi reformasi di kalangan mahasiswa. Kala  itu, ada begitu banyak pers mahasiswa yang lahir seperti bergerak, XPOS, dan KdP di Jakarta, Gugat dan Turun Ke Jalan di Yogyakarta, Teknokra dari Universitas Lampung, dan  Suara Airlangga dan retorika di Surabaya.  Tentang kehadiran pers mahasiswa ini, mingguan Time edisi 30 Maret 1998 menyebut pers mahasiswa sebagai salah satu pendukung yang tak terduga di panggung unjuk rasa. Menurut Time pers mahasiswa bahkan menjadi sasaran nara sumber bagi pers manca negara, seperti Suara Airlangga (Unair) dan Bergerak (UI Depok).

Tentang kehadiran pers mahasiswa, Aris Sumantyoko menyatakan bahwa memang pers mahasiswa bukan syarat gerakan tetapi ketika ada ia benar-benar bermanfaat sebagai bagian penting dan tak terpisahkan dari proses gerakan mahasiswa. Sebagaimana yang dikemukanan oleh  Melania Wahyu W (koordinator buletin Gugat dari UGM) pers mahasiswa juga hadir untuk menampung ketidakpuasan para aktivis mahasiswa tentang pemberitaan media massa umum tentang aksi reformasi yang dinilai sangat singkat atau sangat kecil porsinya. Hal senada juga diungkapkan oleh Fadihabaru, pemered Teknokra dari Universitas Lampung di mana ia mengatakan: “Upaya kami adalah melaporkan berbagai kejadian nyata yang tidak dilaporkan secara jelas oleh media massa umum. Kalau koran umum di luar kampus tidak berani mengungkapkan yang sebenarnya, koran kampus mengupas secara detail kejadiaannya.”

Penerbitan pers mahasiswa tidak bebas dari hambatan. Hambatan ini datang dari intervensi pihak luar yang masuk melalui tangan struktur organisasi kampus. Hal ini misalnya dialami majalah Arrisalah Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya. Dana penerbitan majalah ini tidak dicairkan oleh pihak rektorat karena pada edisi sebelumnya Arrisalah memuat berita seputar kekayaan pejabat negeri. Padahal Dana untuk penerbitan ini berasal dari uang SPP mahasiswa sendiri.       

Diskusi

Pada tanggal 18 April 1998 Senat Mahasiswa IPB menyelenggarakan dialog aksi mahasiswa Indonesia. Pada kesempatan tersebut, hadir sekitar 4000 mahasiswa PTN/PTS di Bogor dan juga utusan-utusan dari kota lain. Adapun tema yang diangkat dalam kegiatan itu adalah “Kesamaan Visi dan Identifikasi Reformasi oleh Mahasiswa: suatu Keharusan.”  

Pembicara dalam kegiatan itu berasal dari mahasiswa sendiri, seperti Nurdin dari Presidium SM IPB, Cahyo Pamungkas (Ketua II badan eksekutif SM UGM Yogya), , Rama (ketua SM UI) dan Fitrah (Sekum SM UI). Dialog ini di buka Purek III IPB Dr. Pallawarukka sedang Pudek Famipa IPB, Rizaldi Boer, bertindak sebagai moderator dialog.

Pada kesempatan tersebut, Cahyo Pamungkas menegaskan bahwa visi gerakan mahasiswa yang harus diperjuangkan adalah perubahan. Dia mengatakan: “sekarang ini, kita tidak lagi menyamakan visi karena visi kita (mahasiswa) sama , yaitu perubahan. Diam berarti pengkianatan dan diam berarti tertindas.” Cahyono menolak ajakan pejabat agar mahasiswa membuat konsep untuk perubahan politik maupun ekonomi. Baginya: “Itu bukan tugas mahasiswa, kita mahasiswa mengingatkan kalangan pimpinan pemerintahan terhadap dilema-dilema yang terjadi saat ini.” Sementara itu, Rama menyatakan bahwa pemerintah hanya memberikan solusi-solusi yang bersifat simbolis. Ia  mengatakan; “Desakan-desakan untuk melakukan reformasi dari mahasiswa dijawab dengan solusi dialog. Bagi kita dialog bukan puncak perjuangan kita.”

Setelah Soeharto mengundurkan diri dari tahta kepresidenan, gerakan mahasiswa melihata bahwa Indonesia baru belum terwujud. Sementara itu, masyarakat umumnya sudah siap untuk menghadapi Pemilu 1999 yang diyakini sebagai soluisi bagi terwujudakan suatu perubahan ke arah kehidupan yang lebih demokratis dan beradilan sosial. Sementara itu, ada kalangan mahasiswa terutama kelompok mahasiswa radikal yang tidak sependapat di mana pemilu dapat membawa perubahan. Karena itu, gerakan mahasiswa radikal mengadakan konsilidasi-konsidasi di antara mereka, membuat koalisi-koalisi, diskusi-diskusi untuk mencari solusi agar negara bisa keluar dari krisis.

Puncak dari konsolidasi itu adalah Rembug Nasional Mahasiswa Indonesia tanggal 28 Maret sampai dengan 1 April 1999 di Udayana Bali.   Kegiatan ini diikuti oleh 101 orang dari 52 organisasi gerakan mahasiswa dari 16 propinsi yang  menghasilkan empat butir resolusi. Keempat resolusi itu adalah pertama, pemilu yang diselenggarakan oleh rezim Habibie 7 Juni 1999 merupakan pemilu yang tidak demokratis, tidak jurdil karena dihasilkan oleh DPR hasil pemilu 1997. Kedua, tidak percaya pada pemilu yang akan diselenggarakan sebagai solusi atas krisis multidimensi yang melanda Indonesia. Ketiga, pembentukan sebuah pemerintah transisi yang berasal dan tak terpisah dengan arus besar gerakan rakyat dan bebas dari unsur-unsur yang sebelumnya menindas rakyat. Pemerintah transisi ini bebas dari intervensi militer atau demokrasi sipil. Keempat, mereka melihat adanya keyakinan politik di kalangan rakyat Aceh dan Irian Jaya untuk menentukan nasipnya sendiri bukan sekedar masalah disintegrasi dan juga menuntut referendum untuk Timor Leste.      

Perilaku Eksternal

Perilaku eksternal yang dimaksudkan di sini adalah pola perilaku elemen-elemen lain yang terlibat dalam gerakan tersebut. Di sini, perhatian diarahkan pada pola perilaku yamg ditampilkan sebagai tanggapan terhadap kelompok mahasiswa. Di sini, perilaku eksternal dapat terlihat dalam Soeharto sebagai presiden, ABRI, kelompok proreformasi, dan masyarakat luas. 

Soeharto

Berdahadapan dengan krisis ekonomi yang berlum terpulihkan, mahasiswa dan kalangan lain menuntut reformasi. Menanggapi seruan reformasi, Soeharto menyatakan bahwa reformasi dapat dilaksanakan pada tahun 2003 ke atas.  Walapun pada kesempatan berikutnya melalui Alwi Dahlan dan R. Hartono, ditegaskan bahwa Soeharto selaku presiden pada intinya membuka pintu bagi munculnya berbagai langkah reformasi, namun secara inplisit tampak keengganan Soeharto untuk melakukan reformasi dengan segera sesuai dengan tuntutan banyak kalangan. Soeharto berkilah, sebelum reformasi harus dibuat persiapan dan penelitian yang mendalam.

Berhadapan dengan Soeharto  yang berusaha untuk mepertahankan status quo ini, mahasiswa mengajukan tuntutan yang radikal, yakni Soeharto harus mengundurkan diri. Hampir seluruh perguruan tinggi di tanah air menyuarakan hal yang sama, Soeharto mengundurkan diri. Soeharto akhirnya mundur jari jabatan sebagai presiden. 

Pada saat-saat akhir sebelum mengundurkan diri, Soeharto masih berjuang untuk mempertahankan kekuasaannya. Berdasarkan penuturan Prof. Dr. Ahmad Syafi’I Ma’arif dalam wawancara dengan Kompas, Soeharto agak berat untuk mengundurkan diri. Ma’arif menuturkan demikian:

“Pak Harto sendiri tidak mengira akan terjadi perubahan yang cepat. Dia merasa kekuatannya masih besar dan solit. Bahkan pada tanggal 20 Mei malam dia tidak yakin akan jatuh. Pkl. 20.00 WIB dia masih mencoba mengutak-atik strategi pemerintahannya. Tetapi setelah Nurcholish Madjid yang diminta jadi ketua Komite Reformasi menolak tawaran itu, Pak Harto mulai ragu. Malam itu ABRI juga menyatakan tidak sanggup lagi mengamankan ditambah Harmoko memberi ultimatum agara mengudurkan diri dalam dua kali 24 Jam. Maka, mau tidak mau Pak Harto harus mengudurkan diri.”  

ABRI

Pada masa Orba, ABRI mempunyai fungsi pertahanan dan keamanan dan fungsi sosial politik. Dalam kaitan dengan fungsi pertahanan dan keamanan, ABRI berurusan dengan soal pertahanan dan keamanan di mana ABRI adalah alat negara yang diatur oleh pemerintah. Sementara dalam kaitan dengan fungsi sosial politik, ABRI bukan alat negara atau pemerintah tetapi lebih merupakan salah satu kekuatan sosial politik yang ada dalam masyarakat. Di sini ABRI bertujuan untuk memajukan kepentingan rakyat.  Hal ini menjadi nyata ketika ABRI memiliki wakil di DPR. Dengan demikian, ketika wacana reformasi bergulir tidak heran kalau banyak kalangan yang menaruh harapan sekaligus mempertanyakan peran ABRI.

Menanggapi seruan kelompok proreformasi, maka pada pertengahan Maret 1998 Pangab Wiranto mengutus para stafnya agar melakukan pendekatan degan tokoh-tokoh kritis dan mahasiswa. Kassospol ABRI Letjen TNI Bambang Yudhoyono diutus menemui Amien Rais di Yogyakarta. Sedangakan dialog dengan mahasiswa diagendakan berlangsung pada 4 April dengan mediator ketua Ikatan Keluarga Besar Lasykar Arief Rachman Hakim, Djusril Juhsan. Acara dialog yang diagendakan sedianya ini batal karena sebagian besar mahasiswa menampik ajakan ABRI itu. Mahasiswa menilai bahwa ajakan itu hanya tawaran sepihak dan belum ada kesepakatan mengenai format dialog. Selain itu, mahasiswa juga menolak acara yang dinilai hanya seremonial, simbolis, pemuas sementara dan tidak menyentuh esensi persoalan. Kalaupun mau berdialog, mahasiswa lebih suka berdialog langsung tanpa lewat perantaraan tokoh lain. Bahkan ada yang lebik suka bila berdialog langsung saja dengan Presiden Soeharto. 

Beberapa waktu kemudian, dialog yang diselenggarakan oleh ABRI berhasil dilaksanakan. Namun, ABRI tidak mengundang senat mahasiswa atau perwakilan dari Perguruan Tinggi besar seperti UI, UKI, Jayabaya, Unpad Bandung, ITB, dan UGM. Berkaitan dengan hal ini, Wiranto mengatakan demikian: “Tidak ratanya undangan terhadap SMPT ini tidak ada nuansa politik. Tidak juga menganaktirikan dan menganakemaskan. Tetapi semata-mata hanya untuk mengefektifkan dan mengefisiensikan dialog. Saya minta maaf kepada SMPT yang tidak kita undang dalam kesempatan pertama ini.” 

Sementara Kassospol  ABRI Letjen TNI Bambang Yudhoyono mengatakan demikian: “Sebelumnya kita telah rundingkan dengan mereka akan ada dialog seperti ini yang bebas dari isu penjinakkan gerakan mahasiswa dan bebas dari formalita dan sebagainya. Sebagian yakni 70 % menyatakan akan datang. 15 % mengatakan kami akan bicarakan dengan teman-teman. Kemudian 15 persen lainnya mengatakan tidak sepaham dengan ABRI lebih baik melakukannya dengan presiden. Bahkan ada yang menyangsikan dialog itu sendiri.” Kepada yang menolak itulah ABRI tidak memberikan undagan. 

Dalam dialog tersebut, menanggapi perkembangan di masyarakat, Wiranto menyatakan: “ABRI sangat peka terhadap berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat saat ini. Namun dalam menanggapinya, ABRI tetap bertumpu pada sapta marga.”  ABRI pasti mendukung reformasi namun secara gradual dan dalam kerangka konstitusional. Sementara menanggapi tuntutan mahasiswa agar Presiden Soeharto mundur dari jabatannya, Wiranto menjawab bahwa pemilihan Soeharto sebagai presiden sudah melalui suatu proses konstitusi yang panjang. Namun, jika kemudian ada suara-suara dari elemen bangsa yakni mahasiswa yang menginginkan seperti itu, maka masih ada elemen bangsa lain di masyarakat yang tidak sependapat dengan mahasiswa. 

Menanggapi sikap ABRI dalam hubungan dengan reformasi, Prof. Dr. Ahmad Syafi’I Ma’arif mengatakan bahwa secara pribadi memang ada yang mendukung reformasi, tetapi secara korps sikapnya mengambang. Hal ini tampak dalam pernyataan kalangan ABRI bahwa apa yang terbaik bagi rakyat, terbaik bagi ABRI. Namun, di pihak lain mereka tetap setia kepada panglima tertinggi (pangti)nya. Padahal dalam kenyataan Soeharto sebagai pangti sudah terputus komunikasinya dengan rakyat.

Dengan ini, tampaklah bahwa tidak mengherankan kalau ada yang berpendapat bahwa gerakan mahasiswa 1998 berhasil menumbangkan Orba tanpa campur tangan militer. Bahkan gerakan mahasiswa 1998 justru mendapat represi dari militer. Dalam berbagai demonstrasi tidak jarang terjadi bentrokan fisik dengan aparat, misalnya pada Sabtu (25/4) terjadi bentrokan antara aparat keamanan dengan mahasiswa di mana mahasiswa melempar batu ke arah aparat dan disambut tembakan peluru karet, bahkan gas air mata. Hal ini misalnya terjadi di Lombok, Medan, Jambi.  Selama demonstrasi 1998, di pihak mahasiswa ada banyak yang menderita luka ringan dan serius. Bahkan demonstrasi 1998 juga telah menelan korban di pihak mahasiswa. Di perkirakan ada  15-20 orang mahasiswa yang meninggal.  Berhadapan dengan sikap militer seperti ini, tidak mengherankan jika gerakan mahasiswa 1998 juga menyindir militer dalam lagu perjuangan yang mudah diikuti oleh massa, yaitu “sial-sialan  aparat kayak preman”              

Kelompok Proreformasi

Reformasi yang didengungkan oleh mahasiswa juga tidak terlepas dari ide-ide tokoh-tokoh proreformasi. Ketika 10 ribu mahasiswa berkumpul di kampus UI Depok sehari stelah presiden dan wapres disumpas, salah satu tokoh proreformasi  Amien Rais memberikan siraman rohani kepada mereka. Dalam kesempatan tersebut, dosen Fisipol UGM ini kembali menegaskan ulitmatumnya, yaitu akan mengerahkan people power yang damai jika dalam tempo enam bulan pemerintah yang baru terbentuk tak mampau mengatasi krisi ekonomi dan moneter.  Mayor jenderal (purn.) Hariadi Darmawan membacakan pernyataan keprihatianan yang menuntuut pemerintah segera mengatasi berbagai krisis. Sementara itu yang juga Inspektur Jenderal Departemen Kehutanan itu mengakau tak taku  kehilangan jabatannya gara-gara aksi kprihatinan, “Harus ada yang menyerukan kebenaran betapun pahitnya. Saya bukan superman tapi saya lebih takut kepada Allah. 

Sementara itu, tokoh proreformasi yang lain, yaitu Prof Dr. Selo Soermardjan menganjurkan agar para mahasiswa untuk meneruskan perjuangan dalam mewujudkan reformasi. Selain itu, beliau juga mengingatkan para mahasiswa untuk ikut berperan aktif menentukan kehidupan bangsa apalagi di tengah krisis (ekonomi). Baginya adalah suatu kewajiban agar para mahasiswa untuk memberikan sumbangsihnya terutama melalui intelektualitasnya.  

Dukungan dari golongan proreformasi ini telah memberikan semangat besar kepada para mahasiswa untuk terus berjuang. Hasilnya aliansi civitas academica ala UI di mana para mahasiswa bergabung dengan dengan para dosen dan senior mereka menular ke berbagai Kampus dari UGM, Unhas, universitas airlangga. Bagkah rektor Universitas Dokter Soetomo Surabaya, Poncol Marjada, samapi menginstruksikan mahasiswanya ikut apel akbar keprihatinan.  

Masyarakat Luas

Gerakan mahasiswa juga tidak bisa dilepaskan dari masyarakat luas. Ketika Indonesia terjerembat dalam krisis ekonomi, harga sembilan bahan pokok melambung. Pemerintahan Soeharto tidak sanggup memulihkan keadaan ekonomi. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah semakin besar. 

Ketika gerakan mahasiswa kian marak, masyarakat luas memberikan dukungan dan bersama-sama menuntut reformasi. Dukungan dari masyarakat juga tampak dalam partisipasi kaum relawan di mana para ibu sederhana menyiapkan nasi bungkus dan minuman bagi para mahasiswa yang dikoordinir oleh Kalyanamitra.  Di Solo, Paku Buwono XII dari kraton Surakarta memberikan dukungan yang secara simbolis dengan memberikan sumbangan sebesar 1.111.111 kepada gerakan mahasiswa yang memperjuangkan reformasi. Dalam kesempatan tersebut, beliau mengatakan bahwa sumbangan ini merupakan simbol persatuan masyarakat dan rakyat yang harus dipertahankan hingga perjuangan selesai. Menyambut dukungan dari rakyat, Udin salah satu aktivis mahasiswa mengingatkan para mahasiswa agar tidak terlena dengan mundurnya Soeharto.  

Selain menerima dukungan dari masyarakat luas, gerakan mahasiswa juga mendapat tantangan dari masyarakat. Hal ini terjadi karena ada oknum-oknum yang memboncengi perjuangan para mahasiswa. Peristiwa ini nyata ketika mahasiswa Jakarta menduduki gedung MPR/DPR didatangi oleh kelompok pemuda dan masyarakat yang mengaku berasal dari Tanjungpriok, Tanah Abang, dan pendekar Banten serta Bogor yang dipimpin oleh Sumargono Ketual pelaksana harian KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam), Fadly Zon direktur Eksekutif institute forPolices Studies serta Andreabto dari Humanika) Kelompok ini secara tegas mendukung Habibie dan meminta mahasiswa segera bubar dari Gedung MPR/DPR. 

Dalam peristiwa ini hampir saja terjadi bentrokan fisik, untung saja ada beberapa mahasiswa melakukan pendekatan dengan para pimpinan mereka. Di antara mahasiswa sendiri, mereka saling mengingatkan untuk menahan diri dan tidak emosi. Selain itu sejumlah pimpinan senat mahasiswa mengadakan negosiasi dengan Toto Tasmara yang menurut kabar yang diterima mahasiswa merupakan pinpiman massa. 

Tekanan Internasional

Dalam pengamatan Denny JA, Soeharto tampaknya agak moderat terhadap oposisi (baca: gerakan mahasiswa). Namun, Soeharto bersikap moderat karena dipaksa oleh tekanan organiasi dan komunikasi internasional. Misalnya, besarnya pengaruh IMF terhadap formulasi kebijakan ekonomi dan kebijakan politik pun totonan internasional akibat semakin canggihnya media komunikasi. Berita aktivis yang hilang secara cepat menyebar di internet AS dan dengan cepat membuat lembaga internasional di bidang hak asasi bereaksi. Jika pemerintah RI tidak semakin moderat, tekanan internasional akan semakin bertubi-tubi.  

Penutup

Pola perilaku yang ditampilkan oleh gerakan mahasiswa 1998 telah membuahkan hasil. Bagi Magnis Suseno, dua keberhasilan yang diraih gerakan mahasiswa adalah turunnya Soeharto dari takhta kepresidenan dan keberhasilan Sidang Istimewa MPR bulan November 1998. Peran yang dimainkan oleh mahasiswa tampak dalam membangun organisasi dan membuka jaringan, melakukan aksi demonstrasi, menungkan gagasan reformasi melalui diskusi dan penerbitan pers mahasiswa. Gerakan mahasiswa ini mendapat tanggapan dari banyak kalangan. Ada banyak kalangan yang memberikan tanggapan atas pola perilaku.

Referensi:

Adolf Heuken, et al., “Demonstrasi” dalam Ensiklopesi Populer Politik Pembangunan Pancasila, Jakarta: Ichtiar Baru, 1984. 
Riyanto, Armada, “Demonstrasi dan Hati Nurani” dalam Kompas, 21 Mei 1998. 
Chalil, Munawar dan Tony Hasyim, “Reformasi Apa Itu” dalam Forum Keadilan, Edisi Khusus Ulang Tahun (April, 1998) 
JA, Denny Menjelaskan Gerakan Mahasiswa dalam Kompas, 25 April 1998. 
Kompas, 19 April 1998.
Kompas, 26 April 1998. 
Kompas, 2 Mei 1998.
Kompas, 3 Mei 1998.
Kompas, 20 Mei 1998. 
Kompas, 22 Mei 1998.   
Kompas, 24 Mei 1998.  
Kompas, 25 Mei 1998. 
Kompas,  31 Mei 1998.
Kompas, 3 Juni 1998. 
Putra, Fadilah, Heri Setiono, dkk., Gerakan Sosial, Malang: Averroes dan KID, 2006. 
Rachman, M.Fadjroel,  Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat, Jakarta: Koekoesan, 2007.
Simanungkalit, Salomo, Indonesia Dalam Krisis, Jakarta: Kompas, 2002. 
Sindhunata, “Mahasiswa Mendobrak Pintu Krisis” dalam BASIS, Thn. ke-47 (Mei-Juni 1998)
Singh, Bilveer,  Dwifungsi ABRI, Jakarta: Gramedia, 1996.
Sujito, Arie, A. Wisnuhardana, dkk,  “Tikungan Reformasi: Mahasiswa Kebingungan” dalam Basis, Thn. Ke-47 (Juli-Agustus, 1998).
Theissen, Gerd, Gerakan Yesus, Maumere: Ledalero, 2005.