Duta Besar Vatikan Datang, Mujizat Nyata Di Palangkaraya

Oleh: Timotius J

Sejak pagi, Palangkaraya diguyur hujan lebat. Tampaknya, berkah alam itu juga menjadi bagian dari peristiwa rahmat yang boleh dialami umat Katolik di Kota Cantik itu pada Minggu, 21 Februari 2016.

Gereja Katedral St. Maria Palangkaraya disesaki umat beriman yang datang dari dua paroki di Ibu Kota Provinsi Kalimantan Tengah tersebut. Sebagian umat juga datang dari luar Kota Palangkaraya, seperti Paroki St. Paulus Buntok, Paroki St. Clemens Puruk Cahu, Paroki Arnoldus Jansen Kuala Kurun, Paroki Kapuas dan beberapa paroki yang lainnya. 

Uskup Palangkaraya, Mgr. Aloysius M. Sutrisnaatmaka, MSF, menyatakan bahwa minggu kedua masa prapaskah tahun 2016 ini perlu dicatat dengan tinta emas dalam sejarah Keuskupan. Setidaknya, ada dua alasan mengapa hari itu menjadi istimewa. Yang pertama adalah kunjungan Duta Besar Vatikan untuk Indonesia Mgr. Antonio Guido Filipazzi. Dan kemudian, yang kedua adalah pentahbisan tiga orang imam diosesan Keuskupan Palangkaraya, yakni RD Simon Ludianto, RD Fransiskus Arisetyo dan RD C. Gatot Wibowo.

Dalam sambutannya, Mgr. Aloysius mengungkapkan peristiwa tersebut sebagai mujizat bagi umat Katolik di Keuskupan Palangkaraya. Ketua Komisi Teologi KWI tersebut mengatakan demikian: “Penumpangan tangan Duta Besar Vatikan telah memberikan muzijat bagi Keuskupan Palangkaraya di mana terjadi perubahan angka 6 menjadi angka 9. Jumlah imam diosesan Keuskupan Palangkaraya yang sebelumnya berjumlah 16 orang berubah menjadi 19 orang.”

Duta Besar Vatikan berekenan mengujungi Palangkaraya memang atas undangan  uskup Palangkaraya untuk pentahbisan tersebut yang merupakan puncak dari Pertemuan Pastoral Keuskupan Palangkaraya tahun 2016 ini. Maka, sebelum menerimakan Sakramen Imamat, sehari sebelumnya  (20/2/2016), Duta Besar Vatikan sempat bertemu dan berbincang-bincang dengan para imam yang ada di Keuskupan Palangkaraya.

Dalam kunjungan perdananya ini, Mgr. Antonio mengungkapkan rasa senang karena boleh mengunjungi kota dan Keuskupan Palangkaraya. Selain untuk menerimakan Sakramen Imamat, Duta Besar Vatikan juga datang membawa berkat Apostolik dari Paus Fransiskus bagi umat Katolik di Keuskupan Palangkaraya. Tidak lupa pula, beliau mohon doa bagi Bapa Suci, katanya: “Saya mohon agar saudara/i tetap berdoa bagi Bapa Suci seperti beliau meminta kepada kita semua.”

Mgr. Antonio Guido Filipazzi merupakan Duta Besar Vatikan ketiga yang telah mengunjungi Palangkaraya. Sebelumnya pada tahun 2001 umat Katolik di Palangkaraya telah dikunjungi oleh Mgr. Renzo Fratini. Kemudian, Mgr. Leopoldo Girelli juga telah mengunjungi Palangkaraya sebanyak dua kali.

Buah Sulung Seminari  Palangkaraya

RD Simon Ludianto yang memilih moto tahbisan “Gembalakanlah domba-domba-Ku” (Yoh 21: 17) merupakan imam sulung dari Seminari Menengah Raja Damai Palangkaraya. Duta Besar Vatikan dalam sambutannya juga menyatakan suka cita atas ditahbiskannya pastor kelahiran Pendang 7 Juni 1988 sebagai buah sulung dari seminari menengah yang diresmikan oleh Mgr. Aloysius pada 31 Juli 2002. Duta Besar Vatikan berharap kiranya makin banyak lagi imam yang akan dihasilkan oleh seminari ini apalagi seminari ini didirikan berangkat dari kekurangan pelayanan rohani yang disebabkan oleh keterbatasan jumlah imam di keuskupan ini.

Dua pastor yang lain berasal dari luar Keuskupan Palangkaraya. Pastor Fransiskus  Arisetyo yang pernah merenda kisah panggilan bersama Ordo Karmel tak Berkasut (OCD) di Bajawa (Flores, NTT), berasal Yogyakarta. Pada tahun 2011, Pastor Aris mengambil keputusan untuk menjadi imam Diosesan Keuskupan palangkaraya.

Dari ziarah panggilannya, Pastor Aris mengakui bagaimana masyarakat majemuk juga turut membentuk ziarah imannya dalam menjawabi panggilan menjadi imam. Ketika tinggal di tempat kerja yang majemuk, setelah tamat SMA, ada saja warga komunitas kerja yang menyadarkan pastor kelahiran Magelang 18 Januari 1981 ini untuk mensyukuri kehidupan yang sedang dijalani dan selalu mengingatkannya untuk tidak lupa ke Gereja.

Sementara itu, Pastor C Gatot Wibowo yang merupakan mantan Guru di SMK Asisi Tebet, Jakarta Selatan, berasal dari Semarang. Jatuh cinta dengan panggilan hidup selibat bermula ketika bekerja di Novisiat Girisonta setelah lulus SMA. Obrolan dengan seorang frater tentang panggilan hidup begitu mengesankan dan menumbuhkan perasaan jatuh cinta untuk menjadi imam.

Pada awalnya, niat menjadi imam hanya samar-samar saja. Lambat laun begitu kuat oleh karena keterlibatannya dalam hidup menggereja. Pastor Gatot mengakui bahwa meskipun keterlibatannya hanya sebatas menjadi misdinar dan kegiatan mudika, tetapi hal itu justru semakin menuntunnya untuk mendengar panggilan Tuhan terutama untuk melayani lebih total lagi. Untuk mewujudkan niat suci itu, Pastor Gatot mulai meniti panggilan menjadi imam bersama kongregasi MSF. Pada tahun 2013 memutuskan untuk menjadi imam diosesan Keuskupan Palangkaraya.

Satu dalam Doa: “Merelakan” demi Panggilan Suci

Dalam Perayan Ekaristi pentahbisan tersebut, Duta Besar Vatikan mengajak seluruh umat berdoa untuk imam-imam yang baru agar mereka benar-benar menjadi sahabat Tuhan, yang sungguh berdedikasi menyelamatkan semua orang. Para imam baru dan semua imam kiranya dapat menimba pengalaman transfigurasi Yesus di atas gunung dalam Injil Lukas, 9: 28b-36. Maka, para imam hendaknya siap “naik” ke atas gunung untuk berdoa, mengalami Yesus dalam kemuliaan-Nya dan kemudian “turun” untuk bersaksi tentang kemuliaan Allah dalam karya pelayanan.

Selain itu, Mgr. Antonio juga mengajak seluruh umat beriman berdoa agar Tuhan menganugerahkan bagi Keuskupan Palangkaraya, seluruh Gereja Indonesia serta seluruh dunia panggilan kepada imamat, kepada hidup bakti dan hidup missioner yang banyak dan suci. Lebih lanjut, Duta Besar Vatikan juga mengharapkan para orang tua mendoakan anak-anaknya bagi panggilan suci. Para orang tua kiranya tidak hanya bersedia berdoa bagi panggilan dalam kelurga lain, tetapi rela menyerahkan anak-anaknya sendiri bagi panggilan suci. Menyapa senyum hangat, beliau berujar: “Semoga para orang tua tidak hanya mengharapkan panggilan bertumbuh dalam keluarga lain tetapi merelakan anak-anaknya sendiri untuk panggilan suci.”

Dalam sambutannya, wakil keluarga imam baru mengungkapkan suka cita atas kerelaan putera-putera mereka untuk menjawabi panggilan suci. Meski demikian, keluarga juga menyadari bahwa panggilan yang dijalani oleh mereka tidak mudah. Oleh karena itu, keluarga mengharapkan doa dari seluruh umat untuk menopang panggilan putera-putera mereka. Wujud lain dari doa untuk mereka adalah bersama-sama menjaga martabat imamat yang telah diterima dan mendorong para imam baru untuk hidup seturut panggilan hidup mereka.

Peristiwa tahbisan merupakan peristiwa rahmat  karena umat secara langsung terlibat dan menyaksikan sendiri bagaimana Allah secara nyata memanggil dan memilih umat yang merelakan dirinya untuk datang melayani, demikian kesaksian ketua Panitia Pentahbisan dalam sambutannya.  Lebih lanjut disampaikan bahwa tahbisan imam adalah juga peristiwa iman di mana sangat diharapkan akan semakin banyak umat yang terpanggil dan terpilih mengikuti jejak-jejak panggilan di masa yang akan datang.

Bapak Julius I. P Situngkir, selaku ketua panita, menyadari bahwa rangakain peristiwa berahmat ini berjalan dengan baik berkat keterlibatan seluruh umat. Baginya, dukungan dari seluruh umat untuk menyukseskan kegiatan pentahbisan merupakan tanda dan bukti bahwa umat Allah tetap satu dalam mendoakan panggilan menjadi imam di Keuskupan Palangkaraya. 

Agrowisata Rempah Cengkeh di Destinasi Pariwisata Superpremium

Oleh: Timotius J 

Kecenderungan wisata global dewasa ini adalah beralis dari wisata massal ke ekowisata. Salah satu bentuknya adalah agrowisata. Labuan Bajo yang sudah ditetapkan sebagai destinasi superpremium juga memiliki potensi untuk mengembangkan agrowisata.

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tengah merevitalisasi kejayaan jalur rempah. Upaya tersebut tentu bukan sekedar untuk bernostalgia dengan kejayaan masa lampau. Lebih dari itu, merevitaliasi jalur rempah adalah upaya untuk menggali dan merawat keragaman hayati nusantara.

Revitalisasi dan agrowisata rempah cengkeh dapat dipadukan dalam pengembangan pariwisata superpremium Labuan Bajo. Meskipun produksi cengkeh di Destinasi Superprioritas Labuan Bajo Flores tidak sebanding dengan produksi cengkeh di daerah lain, namun daya tarik wisata superpremiun menjadi peluang untuk diplomasi rempah cengkeh ke pada wisatawan global. 

Kejayaan yang Dihantui Petaka

Rempah cengkeh menjadi andalan kejayaan rempah Indonesia dalam perdagangan dunia. Namun demikian, kisah rempah cengkeh bukan tanpa masalah. Pada masa penjajahan Belanda, VOC memonopoli perdagangan rempah cengkeh. Tidak sebatas memonopoli perdagagangan, VOC bahkan membabat tanaman cengkeh di luar wilayah yang telah ditetapkan sebagai areal produksi cengkeh. Melalui ekspedisi Hongi, VOC menghancurkan pohon-pohon cengkeh di luar wilayah Pulau Ambon dan Kepulauan Lease (Mansyur, 2014: 1-76). Kemudian, dalam perjalanan selanjutnya, Belanda mulai mendepak rempah-rempah dan beralih ke komoditas lain seperti kopi, teh, coklat, dan tembakau (Rahman, 2019: 347-362).

Ketika bangsa Indonesia merdeka, monopoli perdagangan cengkeh terulang kembali. Orde Baru membentuk Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC) melalui Inpres sebagai lembaga perantara, yang memasarkan cengkeh produksi petani ke industri pengguna cengkeh. BPPC menjadi pengontrol satu-satunya di industri cengkeh. Harga cengkeh turun drastis hingga Rp.2.000,- per kilogram. Bahkan, pernah mencapai titik terendah, Rp.250,- per kilogram. 

Banyak  petani cengkeh kecewa dan tidak sedikit para petani yang menebang tanaman cengkehnya. Areal cengkeh petani raknyat berkurang dari 500 ribuan hektar (tahun 1982-1994) menjadi 400 ribuan hektar pada tahun 1995 (hingga tahun 2013). Areal cengkeh petani baru balik ke 500 ribuan hektar beberapa tahun setelah pembubaran BPPC, mulai tahun 2014 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2019).

Monopoli perdagangan cengkeh bukanlah satu-satunya tantangan dalam budidaya rempah cengkeh. Masalah lain yang mengintai adalah harga yang tidak menentu. Sesekali harga cengkeh melambung tinggi. Lalu, ketika produksi cengkeh relatif stabil kembali, harga cengkeh cenderung mencekik para petani. Pihak terkait beralasan bahwa harga ditentukan oleh mekanisme pasar. Sementara itu, masyarakat sudah bergantung pada hasil penjualan cengkeh untuk memenuhi berbagai kebutuhan. 

Situasi tersebut misalnya dialam hal ini dapat terbaca dari kisah petani cengkeh di Kecamatan Kuwus, Kabupaten Manggarai Barat. Pada tahun 1990-an sebagian besar pohon cengkeh di Kecamatan Kuwus dibabat dan digantikan dengan komuditas lain. Hanya beberapa orang saja yang membiarkan tanaman cengkehnya tanpa perawatan intensif. Ketika harga cengkeh melambung tinggi setelah pembubaran BPPC, beberapa petani yang tidak menebang tanaman cengkehnya meraup penghasilan yang tinggi. Petani lain pun tergiur dan mulai bersemangat lagi untuk menanam cengkeh. Komiditi yang lain dikorbankan dan lahannya ditanami cengkeh. Kini, tanaman cengkeh menjadi andalan. Namun, kadang harganya mencekik para petani dan juga perubahan iklim turut mempengaruhi produktivitas cengkeh. Bahkan, pada musim tertentu cengkeh tidak berbuah. 

Menangkap Peluang Pariwisata Superpremium

Pemerintah telah menetapkan lima destinasi pariwisata yang dijadikan superprioritas, yaitu Danau Toba, Borobudur, Mandalika, Likupang dan Labuan Bajo Flores. Untuk destinasi pariwisata Labuan Bajo Flores, pemerintah telah menetapkan Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) melalui Perpres Nomor 32 Tahun 2018 dengan 11 wilayah kordinatif, yakni kabupaten-kabupaten di daratan Flores, Lembata, Alor dan Bima.

Ekowisata merupakan tren pariwisata global beberapa tahun terakhir. Beriringan dengan pengembangan pariwisata superpremium, salah satu yang bisa dikembangkan adalah agrowisata rempah nusantara. Destinasi pariwisata superprioritas Labuan Bajo juga berpeluang untuk mengembangkan agrowisata rempah cengkeh. 

Meskipun produksi cengkeh tidak sebesar provinsi lain, namun sentra budidaya cengkeh di Nusa Tenggara Timur berada dalam kawasan pariwisata superpremium. Sebagai gambaran, total produksi cengkeh Provinsi NTT sebesar 3.169 ton pada tahun 2016. Sebagian besar pasokan cengkeh NTT tersebut berasal dari kabupaten yang berada dalam wilayah pengembangan pariwisata superpremium, yaitu Manggarai Timur 770 ton, Sikka 443 ton, Ende 382 ton, Manggarai Barat, 376 ton dan Manggarai 362 ton.

Relatif dekat dari Labuan Bajo, Kecamatan Kuwus berpotensi untuk agrowisata rempah cengkeh. Kecamatan Kuwus merupakan penghasil cengkeh terbesar di Kabupaten Manggarai Barat. Produksi cengkeh Kabupaten Manggarai Barat sebagian besar (50-an%) berada di Kecamatan Kuwus. 

Ketika harga cengkeh tidak menentu dan juga hasil panen juga tidak stabil, salah satu peluang yang bisa menjadi alternanetif adalah pengembangan agrowisata rempah cengkeh. Petani cengkeh didampingi untuk menangkap peluang pariwisa superpremium ini. Pengembangan agrowisa rempah cengkeh ini mengandaikan keterlibatan banyak pihak. Salah satunya adalah BPOLBF yang diberi wewenang untuk mengembangkan destinasi pariwisata superpremium Labuan Bajo Flores. 

Pengembangan agrowisata rempah cengkeh dalam kawasan pariwisata superpremium ini tentu akan memperkaya destinasi serentak merawat kejayaan rempah negeri ini. Pengembangan destinasi pariwisata kiranya juga menjadi jalan untuk menggali dan merawat potensi keragaman hayati, termasuk rempah cengkeh melalui agrowisata. 


MENGHADAPI HEGEMONI PASAR: KOMUNITAS BASIS GEREJAWI SEBAGAI PILAR GERAKAN CIVIL SOCIETY

Timotius Jelahu 

Komunitas Basis Gerejawi dapat membentengi anggotanya dari struktur-struktur ekonomi yang tidak berpihak pada kesetaraan martabat manusia dan keadilan. Partisipasi Gereja Katolik Indonesia dalam gerakan civil society menyata dalam persekutuan umat yang dikenal dengan Komunitas Basis Gerejawi (KBG). Salah satu bentuk jalan yang dapat ditempuh oleh Komunitas Basis Gerejawi adalah penguatan ekonomi umat melaui koperasi di tengah globalisasi ekonomi yang syarat dengan hegemoni pasar.

Pengantar

Civil society merupakan ruang publik yang terejawantah dalam organisasi-organisasi nonnegara dan dalam hal ini posisi agama diperhitungkan dalam penguatan gerakan civil society. Partisipasi Gereja Katolik Indonesia dalam gerakan civil society menyata dalam persekutuan umat yang dikenal dengan Komunitas Basis Gerejawi (KBG).  Nota Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) 2006 menyerukan agar Gereja tidak berpangku tangan di tengah kondisi buram kehidupan ekonomi. Para uskup mengidealkan suatu model tata ekonomi yang adil dan tata ekonomi yang dapat mewujudkan masyarakat yang manusiawi dan bermartabat melalui gerakan mengawinkan usaha credit union dengan kewirausahaan (entrepreneurship) di antara orang-orang biasa. 

Penguatan Civil society Di Indonesia 

Pemahaman Konsep Civil society 

Dalam telaahan Jean L Cohen dan Andrew Arto, ditemukan bahwa ide civil society dalam pemikiran Yunani terkandung dalam pemikiran Aristoteles tentang politike koinonia. Politike koinonia digunakan oleh Aristoteles untuk menggambarkan sebuah masyarakat politik dan etis di mana warga negara berkedudukan sama di depan hukum. Hukum sendiri dipahami sebagai seperangkap norma dan nilai yang disepakati tidak hanya berkaitan dengan prosedur politik tetapi juga sebagai substansi dasar kebajikan dari berbagai bentuk interaksi di antara warga komunitas. 

Hegel merupakan orang yang berjasa dalam mengembangkan makna modern kosep civil society yang tertuang dalam bukunya berjudul Philosophy of  Right. Baginya civil society merupakan satu bagian saja dari tatanan politik (political order) secara keseluruhan. Bagian dari tatanan politik yang lain adalah negara (state). Civil society dipahami sebagai wadah kehidupan etis yang terletak di antara kehidupan keluarga dan kehidupan kewarganegaraan. Lebih lanjut civil society ditentukan oleh permainan bebas kekuatan-kekuatan ekonomi dan pencarian jati diri individual. Selain itu, civil society juga mencakup lembaga-lembaga sosial dan kenegaraan yang memwadahi dan mengatur kehidupan ekonomi yang selanjutnya memicu proses pendidikan bagi gagasan kehidupan kenegaraan secara rasional. Jadi, kekhasan masyarakat sipil telah melampaui universalitas negara. Dengan demikian, Hegel membuat dikotomi antara negara dan masyarakat (state and society).

Pada awal abad 20 salah satu pemikir yang menaruh minat pada civil society adalah Antonio Gramsci yang tertuang dalam kumpulan tulisannya yang berjudul Prison Notebooks. Mengikuti Hegel, ia membedakan civil society dari negara dan lebih jauh membedakannya dari masyarakat ekonomi. Baginya civil society terdiri atas lembaga-lembaga yang terlepas dari pemaksaan dan aturan-aturan formal. Adapun lembaga-lembaga civil society itu adalah institusi keagamaan, sekolah, serikat pekerja, dan berbagai organisasi lainnya. Walaupun lembaga-lembaga ini dalam kenyataannya acapkali juga dibelokkan menjadi sarana bagi kelas penguasa dalam memelihara hegemoninya terhadap masyarakat, namun lembaga-lembaga ini juga merupakan arena di mana hegemoni itu sendiri dapat ditentang atau digoyahkan secara sah. 

Dalam wacana kontemporer, Anthony Giddens menghubungkan civil society dengan fenomena globalisasi. Salah satu trend globalisasi adalah tuntutan desentralisasi dan penyebaran kekuasaan dalam masyarakat. Akibat trend itu, negara akan kehilangan efektivitasnya ketika ia bersikukuh dengan pemusatan kekuasaan, apalagi bila dilakukan dengan cara represif. Karena itu, semakin mengemukanya pengaruh globalisasi membuat fokus pada komunitas menjadi penting. Di sini, komunitas merujuk pada sarana-sarana praktis untuk membantu renovasi sosial dan material lingkungan tempat tinggal, kota dan areal lokal yang lebih besar. Untuk itu, salah satu hal yang harus diperhatikan adalah soal terbentuknya ruang publik.

Sementara itu, Jeff Haynes mengutip Stepan mendefinisikan masyarakat sipil sebagai wilayah di mana terdapat banyak gerakan sosial  dan organisasi profesi yang berjuang untuk membentuk diri mereka menjadi suatu kerangka bersama guna menyatakan diri dan memajukan kepentingannya. Di sini, civil society dibedakan dari masyarakat politik karena masyarakat politik merupakan arena di mana keseluruhan bangsa secara spesifik menyusun dirinya sendiri dalam persaingan politik untuk memegang kendali atas kekuasaan publik dan aparat Negara. Sementara civil society merupakan benteng bagi warga negara terhadap kekuasaan negara.

Bertolak dari uraian di atas, civil society dalam tulisan ini dipahami sebagai ruang publik yang terejawantah dalam organisasi-oraganisasi nonnegara, seperti serikat kerja,  asosiasi-asosiasi pendidikan, badan-badan keagamaan dan media. Civil society merupakan organisasi sukarela yang dibedakan dari masyarakat politik, masyarakat ekonomi dan negara. Civil society menjadi benteng bagi masyarakat dalam menghadapi hegemoni masyarakat ekonomi, masyarakat politik, maupun negara. Dengan kata lain, civil society membaktikan diri kepada masyarakat luas dengan mempengaruhi kebijakan-kebijakan dan keputusan-keputusan dari masyarakat ekonomi, masyarakat politik dan negara.

Peran Civil society  

Pengutan civil society menjadi urgen mengingat kehadiran civil society memiliki beberapa peran penting. Setidak-tidaknya ada tiga peran pokok civil society. Pertama, dalam hubungan dengan negara civil society harus berdiri sebagai perisai bagi masyarakat dari perilaku negara yang cendrung hegemonik, otoritarian, dan represif. Civil society menjadi pelindung yang kuat terhadap dominasi negara. Dengan kata lain, lembaga-lembaga dan badan-badan pendukungnya yang membentuk civil society idealnya haruslah cukup kuat untuk menjaga agar negara berada dalam pembatasan substansial dan prosedural sehingga tidak merugikan masyarakat.

Sebagai perisai dan pelindung masyarakat, civil society merupakan ruang publik di mana para anggotanya melakukan public critical rational discourse dengan negara. Kemudian public critical rational discourse ini secara eksplisit harus memperkuat nilai-nilai demokrasi, dan terutama hak asasi manusia agar ruang lingkupnya semakin demokratis. Jika kandungan discourse yang dilakukan oleh para pelaku sipil tidak berdasarkan nilai-nilai dan norma demokrasi maka para pelaku tersebut tidak termasuk dalam civil society.

Kedua, peran civil society berhadapan dengan masyarakat ekonomi dan masyarakat politik. Di sini masyarakat politik adalah organisasi-organasasi politik, seperti partai politk dan masyarakat ekonomi adalah perusahan, korporasi bisnis atau organisasi yang bergelut dalam bidang produksi dan distribusi. Kedua kelompok ini secara langsung berhubungan dengan kekuasaan negara dan produksi sumber-sumber ekonomi. Baik masyarakat politik maupun masyarakat ekonomi berjuang untuk kepentingan kelompoknya sendiri. Mereka harus mengontrol dan mengelola kepentingan mereka sendiri. Berhadapan dengan kedua kelompok ini, civil society memainkan peran sebagai pengontrol yang memperadabkan atau sekurang-kurangnya mempengaruhi keputusan-keputusan  yang harus dibuat oleh masyarakat ekonomi dan politik sehingga tidak merugikan masyarakat kebanyakan.

Ketiga, civil society pada hakikatnya berpihak pada masyarakat. Bagi Anthony Giddens, pengembangan masyarakat madani yang aktif merupakan bagian yang mendasar dari politik jalan ketiga di mana politik baru ini menerima kekhawatiran akan menurunnya kualitas hidup masyarakat. Penurunan kualitas hidup masyarakat adalah real dan kasat mata dalam banyak sektor masyarakat kontemporer. Hal itu terlihat dalam melemahnya rasa solidaritas di beberapa komunitas lokal dan lingkungan pedesaan, tingginya tingkat kejahatan dan porak porandanya perkawinan dan keluarga.

Dengan penguatan civil society yang merupakan ruang publik di mana individu-individu bergabung dengan segala karakter masing-masing, Giddens optimis bahwa hal ini dapat mengatasi persoalan yang mendera masyarakat. Di sini, ia merujuk pada suatu penelitian di Amerika. Kehadiaran ruang publik telah melahirkan berbagai kelompok sukarela di mana anggota-anggotanya berkumpul untuk saling memberi dan mendapatkan perhatian, saling menolong dan seterusnya. Bagi mereka, kehadiran ruang publik mampu mengatasi kecendrungan-kecendrungan dislokasi masyarakat  dan bahkan membuat mereka mampu bersatu dan saling mendukung.

Sumber Daya Civil society 

Menurut Niels Mulder, masyarakat madani bersifat politis dalam arti  bahwa civil society berhubungan dengan pemberdayaan warga negara untuk berhadapan dengan negara dan pasar. Civil society tidak berhadapan secara langsung dalam melawan negara dan pasar, melainkan berusaha memperadabkan negara dan pasar, menjinakkan sifat dasar kekuasaan dan uang sehingga kepentingan umum terjamin. Dengan demikian, civil society memantau tindakan negara, pasar ekonomi dan politik dan mengambil bagian dalam pembuatan kebijakan umum. Civil society bahkan turut serta dalam melaksanakan kebijakan umum terlebih-lebih pada tingkat akar rumput.

Menimbang bahwa civil society merupakan pilar strategis gerakan sosial, maka civil society harus memiliki sumber daya. Hal ini sejalan dengan teori gerakan sosial terutama teori mobilisasi sumber daya. Menurut teori ini sebuah gerakan sosial akan berhasil kalau didukung oleh sumber-sumber daya yang perlu. Dengan demikian, di samping faktor eksternal seperti perlawanan dari pihak penguasa, keberhasilan dan kegagalan sebuah gerakan sosial juga bergantung pada sumber daya yang dimiliki (internal). 

Berkaitan dengan hal di atas, mau tidak mau civil society harus memiliki sumber-sumber daya yang bisa dijadikan sebagai basis kekuatan dalam menjalankan peran sebagai pilar gerakan sosial. Sekurang-kurangnya, beberapa hal berikut bisa dijadikan sebagai modal kekuatan gerakan civil society.

Pertama, kemampuan intelektual atau latar pendidikan. Sebagaimana yang telah diuraiakan pada bagian terdahulu, civil society merupakan ruang publik yang terejawantah dalam organisasi-organisasi sukarela dan nonnegara. Di dalam ruang publik itu, terjadi apa yang disebut public critical rational discourse. Hal ini mengandaikan bahwa anggota yang tergabung di dalamnya memiliki kemampuan intelektual sehingga bisa melihat secara kritis tingkah laku negara, politik, dan pasar. Karena itu, jika anggota-anggota memiliki basis intelektual atau pendidikan, maka civil society dapat menjalankan tugasnya dengan baik. 

Kedua, kemandirian ekonomi. Selain kemampuan intelektual, kemandirian ekonomi juga bisa merintis gerakan civil society. Misalnya, pergolakan civil society di Eropa pada zaman penguasa feodal. Sekitar tahun 1100, para pedagang, bankir, dan pengusaha tumbuh menjadi cukup kuat untuk merebut hak istimewa dari penguasa feodal. Setelah memberikan pinjaman uang kepada penguasa feodal, mereka kemudian menuntut penguasa feodal untuk memberi jalan bagi kebebasan pasar dan kota.  Hal ini mau mengatakan bahwa gerakan civil society bisa muncul jika anggotanya memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Kemandirian ekonomi dijadikan sebagai senjata untuk melawan kekuasaan hegemonik.

Ketiga, modal sosial. Modal sosial berhubungan dengan sikap saling mempercayai, hubungan timbal  balik, toleransi, ketercakupan, penghormatan kepada hukum, dan tata tertib dan sifat lainnya yang diperlukan untuk bekerja secara efektif, bertukar pandangan dan bekerja sama. Modal sosial ini sangat penting dalam membuka jaringan. Dalam gerakan sosial, kemampuan membuka jaringan dengan elemen-eleman lain juga turut mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan sebuah gerakan. Di sini, civil society dalam usaha dan perjuangan hendaknya membuka jaringan dengan kelompok-kelompok civil society lainnya. 

Agama sebagai Kelompok Strategis dalam Gerakan Civil society 

Sebagaimana yang diuraikan pada bagian terdahulu, civil society merupakan ruang publik yang terejawantah dalam organisasi-organisasi nonnegara. Organisasi-organisasi tersebut bersifat otonom dan independen terhadap kekuasaan negara. Di Indonesia ada beberapa kelompok strategis yang diharapkan mengambil bagian dalam gerakan civil society. Pada bagian berikut, akan disodorkan agama sebagai kelompok strategis untuk menjalankan gerakan civil society. 

Salah satu negara yang bisa dijadikan rujukan di mana kelompok agama menjadi kelompok strategis dalam gerakan civil society adalah Polandia. Polandia merupakan sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama Katholik. Di balik organisasi dan gerakan buruh, berdiri kekuatan sosial Gereja. Lebih dari itu, fondasi serikat buruh itu adalah umat beragama yang telah tumbuh menjadi kekuatan rakyat (people's power). Dengan demikian, dalam kasus Polandia kesadaran sipil itu tumbuh dari masyarakat Katholik yang kuat. Gereja Katholik mampu mengartikulasikan kepentingan dan aspirasi rakyat, dan karena itu menjadi sebuah lembaga dalam masyarakat sipil. Dalam kasus Polandia, agama menjadi ibu dari atau paling tidak memangku kelahiran gerakan civil society.

Di Indonesia peran kelompok agama tidak disisihkan. Hal ini dilatari oleh konsep negara integralistik yang diajukan oleh Soepomo dan dasar negara Pancasila. Dalam konsep negara integralistik, peranan agama-agama diakui dan dilindungi, dijadikan sebagai acuan dan sumber dalam mencari sistem nilai bagi negara. Namun, pada sisi lain agama dicegah untuk mewarnai hukum dan institusi politik. 

Berhubungan dengan gerakan civil society, agama Islam telah memberikan konstibusi yang baik. Hal ini dijalankan baik oleh kelompok islam modernis maupun tradisionalis. Walaupun terdapat perbedaan di atara kedua kelompok tersebut dalam pemaknaan terhadap civil society, namun harus diakui bahwa kedua kelompok itu telah memperkaya pemahaman tentang gerakan civil society di Indonesia. Kedua kelompok tersebut banyak memberi kajian dan penerbitan yang berhubungan gerakan civil society. Kedua kelompok itu, sama-sama mengakui bahwa gerakan civil society merupakan prasyarat demokratisasi. 

Sementara itu, dalam Gereja Katolik Indonesia, partisipasinya dalam gerakan civil society menyata dalam persekutuan umat yang dikenal dengan Komunitas Basis Gerejawi (KBG). KBG didefenisikan sebagai satuan umat yang relatif kecil, inklusif, yang bertemu secara berkala (tetap dan teratur) untuk berbagi masalah-masalah hidup harian dan bersama-sama mencari pemecahannya dalam terang Kitab Suci. Di dalam defenisi di atas, terkandung beberapa hal yang menjadi fokus pengembangan civil society, seperti pembentukan komunitas, dialog dan kerja sama (sifat inklusif), transformatif: membebaskan dan memberdayakan umat manusia. Hasil sebuah riset yang dilakukan Candraditya 2004-2007, menunjukkan bahwa KBG memang telah mampu mengemban tugas sebagai ruang publik yang membuat anggotanya memiliki ketahanan dalam perjuangan melawan ketidakadilan dan toleran terahadap orang dari daerah atau suku lain. 

Menghadapi Hegemoni Pasar: Menumbuhkan semangat Berkoperasi dalam Lingkup KBG

KBG sebagai Model Gerakan Civil society 

Peserta Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia pada tahun 2000 memahami komunitas basis sebagai cara hidup berdasarkan iman, jumlah anggotanya tidak terlalu banyak, komunikasi terbuka antar-anggota dalam semangat persaudaraan, membangun solidaritas dengan sesama, khususnya dengan saudara yang miskin dan tertindas. Inspirasi dasar pemahaman demikian adalah teladan hidup jemaat perdana sehingga komunitas basis merupakan Gereja mini yang hidup dinamis dalam pergumulan iman. Dengan cara seperti ini, diyakini bahwa kehadiran Gereja bisa lebih mengakar, lebih kontekstual dan mampu menjalankan perannya untuk menjadi terang dan menggarami dunia seturut irama zaman.  

Peserta Sidang mengakui bahwa sebagai bagian integral dari bangsa, umat Katolik Indonesia sepenuhnya ikut menghadapi permasalahan dan tantangan-tantangan yang dihadapi Bangsa Indonesia, seperti reformasi, situasi penuh ketakutan dan penderitaan. Dengan mengembangkan komuntas basis, kehidupan beriman dan menggereja kiranya lebih aktif dan lebih siap untuk ikut berperan di tengah masyarakat. Hal senada juga menjadi harapan para uskup, yaitu kiranya usaha menumbuhkan komunitas-komunitas basis menjadi salah satu cara Gereja untuk berperan dalam membangun masyarakat yang lebih adil, sejahtera, demokratis dan manusiawi.  

Peserta sidang juga menyadari bahwa membangun komunitas basis bukanlah hal mudah. Ada banyak tantangan yang mungkin dihadapi seperti faktor-faktor geografis, intervensi dari luar, budaya paternalistik dan individualistik, isu SARA, ketidakadilan jender, kekurangan pendidikan dan konflik budaya. Selain itu, masalah lain adalah soal komunikasi antara pastor dengang awam, perbedaan kebijakan paroki dan keuskupan, dan struktur Gereja yang tidak luwes dan feodal. 

Berhadapan dengan masalah-masalah di atas, peserta sidang menganjurkan adanya perubahan dari pola spiritualitas yang terlalu individualisitis dan hanya vertikal ke pola religiositas yang memerdekakan, dari sikap yang mendominasi ke pola kesetaraan martabat manusia, dari pola eksklusif ke keterbukaan terhadap saudara seiman maupun umat lain, dari liturgi yang ritualistik ke liturgi yang berpihak kepada kaum miskin, dari Gereja yang legalistik ke Gereja yang spiritual-profetis, dari sikap eksploitasi ke pelestarian lingkungan hidup, dari sikap sibuk sendiri ke sikap tanggap terhadap situasi bangsa dan negara. Dengan demikian, gerakan pertumbuhan komunitas basis adalah suatu gerakan bagi Gereja untuk memaknai panggilannya seturut peran dan tugasnya masing-masing demi pemberdayaan kaum marginal, sehingga setiap manusia sungguh dihargai menurut martabat sebagai gambaran wajah Allah. Panggilan ini merupakan panggilan bagi semua orang sebagai tanggapan atas panggilan Roh Allah sendiri. 

Penguatan Koperasi Kelompok Kategorial: Kisah Perjuangan Ibu Rumah Tangga Kelompok Doa Legio Maria dan St. Anna 

Berhadapan dengan gagasan pembangunan dan pengembangan ekonomi, Gereja Katolik menekankan perlunya pembangunan integral agar bisa diperoleh suatu kemajuan yang sungguh membawa kesejahteraaan kepada masyarakat. Walaupun Ajaran Sosial Gereja tidak memberikan solusi taktis dan praktis bagi persoalan ekonomi, namun Gereja selalu mengajak orang beriman dan semua orang yang berkehendak baik agar mempraktikan keutamaan sosial sebagai dasar mutlak untuk membaharui struktur-struktur sosial dan ekonomi.  Berhadapan dengan situasi dunia dewasa ini yang diwarnai oleh kesenjangan ekonomi, Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium menyerukan “jangan” pada ekonomi pengucilan dan ketidaksetaraan. Dalam paraktek ekomomi seperti ini, dunia diwarnai oleh hukum kompetisi dan the survival of the fittest di mana yang kuat menguasasi yang lemah, maka akibatnya adalah sebagian masyarakat menemukan diri mereka sendiri tersisih dan tersingkir: tanpa pekerjaan, tanpa kemungkinan, tanpa jalan keluar. 

Gereja Indonesia juga berupaya untuk tidak berpangku tangan di tengah kondisi kehidupan ekonomi dari begitu banyak warga negara yang masih sangat memprihatinkan. Dalam Nota Pastoral tahun 2006, para uskup mengidealkan suatu model tata ekonomi yang adil dan tata ekonomi yang sangat menentukan bagi terwujudnya masyarakat yang manusiawi dan bermartabat. Para uskup berkeyakinan bahwa harapan ini dapat terealisasi melalui gerakan mengawinkan usaha credit union dan kewirausahaan (entrepreneurship) di antara orang-orang biasa.  

Penguatan ekonomi umat dapat diterapkan di KBG, baik teritorial maupun kategorial. Salah satu ispirasi tentang bagaimana persekutuan doa dapat membentuk koperasi adalah kelompok doa Legio Maria dan St. Anna di Paroki St. Thomas Morus, Keuskupan Maumere.    

Ibu Agustina Ero Parera  adalah sosok yang berjuang meyakinkan dan menggerakkan sesama kaum perempuan untuk tidak tinggal diam dalam mengatasi realitas kemiskinan yang mendera rumah tangga. Pada tanggal 8 September 1974, bersama teman-teman anggota kelompok doa St. Anna, beliau mendirikan koperasi Deru Dede dengan jumlah anggota 18 orang. Pada tahun 1977, koperasi ini perlahan merangkak dengan jumlah anggota 47 orang.

Pada mulanya, koperasi Deru Dede hanya memberikan pinjaman produktif kepada sesama kaum ibu untuk mengembangkan modal dengan berjualan di pasar. Upaya ini telah memberikan hasil. Mereka berhasil membangun rumah yang lebih layak bahkan mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga jenjang perguruan tinggi. 

Koperasi Dere Dede tidak berjalan ketika Ibu Ero berpindah ke Kupang. Meski demikian, setelah kembali tinggal di Maumere, kaum ibu mendirikan koperasi baru dengan nama Lunung Kunung yang didirikan pada pada 5 April 1992. Pendirian koperasi ini bertujuan untuk saling membantu dan saling mencintai dalam kelompok doa St. Anna. Lunung kunung berarti bersama-sama bergandengan tangan. Sesuai dengan namanya, Kopdit Lunung Kunung berjuang untuk membangun kopdit kepada arah yang lebih baik.

Kopdit Lunung Kunung merangkul semua anggota dalam semangat persaudaraan, menghormati sesama anggota sebagai pribadi yang memiliki harkat dan martabat yang sama. Koperasi tersebut sudah berbadan hukum pada tanggal 22 September 2007 dengan No. 11/ BH/ DK 5/ VIII/.  Lebih dari 75 %  anggota koperasi adalah kaum perempuan sebagai ibu rumah tangga dan petani. 

Penutup

Komunitas Basis Gerejawi dapat membentengi anggotanya dari struktur-struktur ekonomi yang tidak berpihak pada kesetaraan martabat manusia dan keadilan. Salah satu bentuk jalan yang dapat ditempuh oleh Komunitas Basis Gerejawi adalah penguatan ekonomi umat melaui koperasi di tengah globalisasi ekonomi yang syarat dengan hegemoni pasar. Para uskup mengidealkan suatu model tata ekonomi yang adil dan tata ekonomi yang manusiawi dan bermartabat melalui gerakan mengawinkan usaha credit union dan kewirausahaan (entrepreneurship) di antara orang-orang biasa. Sejalan dengan seruan Nota Pastoral KWI 2006,  penguatan KBG dapat diwujudkan dengan gerakan berkoperasi dalam lingkup KBG, baik teritorial maupun kategorial.

Rujukan

Herry-Priyono, B. “Ekonomi dan Budaya yang Menjelma” dalam Spektrum XXXV, No. 4, 2007. 

Jegaut, Benyamin, dkk. Menyelami Koperasi Kredit Lunung Kunung Dalam Perspektif Gender-Laporan Penelitian Teologi Sosial STFK Ledalero Manuskrip, 2012.

Jelahu, Timotius Tote. Membangun Gerakan Mahasiswa sebagai Gerakan Civil Society: Berguru Pada Gerakan Mahasiswa 1998, Skripsi, Maumere: Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, 2009. 

Kirchberger, Georg. “Kemajuan Dan Pembangunan Ekonomi Seturut Ajaran Sosial Gereja” dalam Berbagi Jurnal Kateketik Pastoral, Vol. 4, No. 2 Juli 2015.

Kopdit Lunung Kunung, Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Dan Pengawas Kopdit Lunung Kunung (LPPPKLK) Tahun Buku 2010.

Paus Fransiskus. Evangelii Gaudium, penerj. F.X Adisusanto dan Bernadeta Harini Tri Prasasti. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2014.

Surat Gembala KWI-Pengumatan Hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia Tahun 2000 dalam Spektrum No. 1 Thn. XXIX, 2001.