Tampilkan postingan dengan label gereja Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label gereja Indonesia. Tampilkan semua postingan

Inkulturasi Berbela Rasa

Oleh: Timotius J

Praksis iman Gereja bukan lagi sesuatu yang dicangkokkan dari luar melainkan buah dari suatu pergumulan dalam konteks di mana Gereja berada. Dengan demikian, Gereja mampu menemukan jati dirinya sebagai murid-murid Tuhan dalam konteksnya masing-masing.

Nota Pastoral (NP) 2004 menyuarakan perubahan, keadaban publik sebagai habitus baru. Melalui NP ini, Gereja prihatin dengan kondisi bangsa yang kian kronis di mana ruang publik dipenuhi praktik korupsi, kekerasan, dan kehancuran lingkungan. Bagi Gereja, kondisi tersebut merupakan buah dari pergerakan yang tak terkontrol dari tiga poros kekuatan di ruang publik, yaitu negara, masyarakat pasar, dan masyarakat warga. Selain itu, disadari juga bahwa globalisasi turut berandil dalam memperparah kondisi bangsa sebab globalisasi telah dan akan menggoncangkan dan menghilangkan nilai-nilai tradisi.

Dengan harapan akan masa depan yang baru, NP optimis akan lahir dan bertumbunya suatu habitus baru yang bisa menjadi tandingan terhadap situasi di atas. Untuk itu, Gereja harus bertobat dan praksis hidup beriman harus bersumber dan terinspirasi oleh Yesus. Dengan kata lain, praksis hidup beriman harus sungguh menampilkan wajah Yesus. Praksis hidup demikian merupakan suatu budaya tandingan/alternatif yang akan mendorong lahir dan bertumbuhnya suatu keadaban publik. Gereja yakin, hanya dengan budaya tandingan seperti itu, akar-akar korupsi, kekerasan, dan kerusakan lingkungan dapat tercabut dari akar-akarnya.

Himbaun NP ini tampaknya sejalan dengan gerakan inkulturasi Gereja-Gereja Asia. Wacana inkulturasi ini tampaknya berangkat dari pengalaman belum mengakarnya iman kristiani dan serentak terbersit kerinduan untuk merefleksikan dan menemukan wajah Yesus dalam konteks Indonesia. NP tersebut coba mengetengahkan suatu penghayatan iman yang sungguh mengakar dalam konteks Indonesia sehingga terjadi perubahan paradigma dari “Gereja di Indonesia” menuju “Gereja Indonesia”. [1] Di sini, praksis iman Gereja bukan lagi sesuatu yang dicangkokkan dari luar melainkan buah dari suatu pergumulan dalam konteks di mana Gereja berada. Dengan demikian, Gereja mampu menemukan jati dirinya sebagai murid-murid Tuhan dalam konteksnya masing-masing.

Bertolak dari cara pandang demikian, NP tersebut merupakan bentuk budaya belarasa terhadap pelbagai persoalan yang terjadi di tanah air. Sejalan dengan telaahan James Haire tentang teologi publik Asia, budaya belarasa ini menampilkan dua hal tentang praksis iman Gereja Indonesia, yaitu corak komunal di mana refleksi atas iman tidak dipahami demi tujuan pribadi tetapi dijuruskan kepada seluruh masyarakat dan juga ada saling keterkaitan yang erat antara yang pribadi, politik dan publik. 

Dengan kata lain, Gereja Indonesia menekankan interaksi antara kesalehan pribadi dan keterlibatan publik.[2] Penekanan pada interaksi antara kesalehan pribadi dan keterlibatan publik ini sangat jelas dalam SAGKI 2010 di mana para peserta dalam sidang tersebut diajak untuk berkisah tentang Yesus Kristus dalam konteks Indonesia, yaitu mengenali wajah Yesus dalam dialog dengan budaya lain, agama dan kepercayaan lain, serta mengenali wajah Yesus dalam pergumulan hidup kaum marginal dan terabaikan.[3] 

Mengenali wajah Yesus adalah model praksis iman yang mengindahkan keterlibatan. Keterlibatan di sini adalah suatu kerelaan untuk keluar dari kungkungan eksklusifisme menuju praksis hidup yang tanggap terhadap konteks sebagaimana Allah keluar dari diri-Nya untuk mendekati dan menyapa dunia. Hal ini sangat jelas dalam artikel satu Gadium et spes: “Kegembiraan dan harapan duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga.”



[1] Bdk. Jhon Mansford Prior, Berdiri di Ambang Batas-Pergumulan Seputar Iman dan Budaya (Maumere: Ledalero, 2008), pp. 185-202. [2] James Haire, “Melampui Dunia Latin: Kemuridan Dan Kewargaan Dalam Teologi Publik Kekristenan Asia” dalam Jurnal Ledalero, Vol. 10. No. 2, Desember, 2011, p. 273. [3] Utusan, No. 12 Tahun ke-60, Desember 2010, pp. 28-29. 

Konsili Vatikal II, Kado Istimewa dari Indonesia

 Oleh: Timotius J

Dalam upaya pembaharuan liturgi, suara dari Gereja Indonesia mendapat perhatian istimewa dalam Konsili Vatikan II. Jurnal konsili Vatikan II yang ditulis Yves Congar, salah satu peritus (tenaga ahli) yang memiliki pengaruh istimewa dalam Konsili II, mencatat tentang gagasan yang dipeolori oleh Gereja Indonesia. 

25 Januari 1959, Paus Yohanes XXIII mengumumkan rencana untuk diadakan konsili ekumenis. Tak ada tepuk tangan, para kardinal terkejut dan duduk diam laksana patung ketika mendengar pengumuman itu. Keheningan menyelimuti basilika. Banyak orang terkejut akan keputusan Paus Yohanes XXIII sebab ia sendiri sudah tua dan diragukan akan mampu mengadakan suatu perhelatan besar, seperti konsili ekumenis. Konsli ekumenis merupakan konsili  yang harus dihadiri oleh semua uskup dari seluruh dunia. Meski demikian, konsili toh pada akhirnya terlaksana juga. Konsili Vatikan II dibuka dengan liturgi meriah pada 11 Oktober 1962 dan dinyatakan selesai pada 8 Desember 1965.

Jika menengok sejarah konsisili dalam gerak langkah Gereja, Konsili Vatikan II merupakan konsili ekumenis ke-21 dan merupakan Konsili terbesar. Jumlah uskup yang hadir lebih banyak dan berasal dari lebih banyak negara. Pada pembukaan Konsili ada 2540 Bapa Konsili yang hadir. Hadir pula sebanyak 29 pengamat dari 17 Gereja lain dan 8 undangan yang bukan Katolik, para pendengar terdiri dari pria dan wanita, perhatian besar media cetak dan makin banyak tersedianya informasi tentang Konsili. Jumlah dokumen yang dihasilkan lebih banyak dan dampak-pengaruhnya atas kehidupan Gereja Katolik lebih besar dari peristiwa mana pun sesudah zaman reformasi pada abad XVI.

Gereja Indonesia ikut mewarnai peristiwa besar itu. Pada masa itu, Gereja Indonesia berada pada periode peralihan dari daerah misi menjadi Gereja Mandiri. Setelah mendapat pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia, secara nasional upaya yang gencar dilakukan adalah dekolonisasi. Yang paling tampak dalam perkembangan Gereja Indonesia adalah sebanyak 1415 misionaris asing mengajukan permohonan untuk menjadi Warga Negara Indonesia. Selanjutnya, perubahan menuju Gereja Indonesia kian tampak dengan pembentukan hirarki Indonesia pada 3 Januari 1961. Para uskup Indonesia menghadiri Konsili tersebut dan pengalaman konsili meletakan landasan bagi kerjasama selanjutnya dikawasan Indonesia, juga demi pembangunan Gereja Indonesia setempat.

Pembaharuan Liturgi: Bahasa Latin Diganti Bahasa Pribumi

Sebelum Konsili Vatikan II, bahasa yang digunakan dalam liturgi adalah bahasa Latin dan liturgi hanya menjadi urusan klerus. Tampaknya, partisipasi umat hanya sebatas “mendengar dan melihat” saja. Bahkah pada masa tertentu dalam sejarah perkebangan liturgi, Usaha penerjemahan misa kudus ke dalam bahasa pribumi dikutuk.

Dalam upaya pembaharuan liturgi, suara dari Gereja Indonesia mendapat perhatian istimewa dalam Konsili Vatikan II. Jurnal konsili Vatikan II yang ditulis Yves Congar, salah satu peritus (tenaga ahli) yang memiliki pengaruh istimewa dalam Konsili II, mencatat tentang gagasan yang dipeolori oleh Gereja Indonesia.  Dalam jurnal tersebut diungkapkan bahwa satu-satunya dari Asia yang menjadi anggota Komisi Liturgi adalah Uskup Ruteng di Indonesia,  Mgr Van Bekkum.

Pencalonan Mgr. Van Bekkum menjadi anggota komisi liturgi didukung oleh aliansi Eropa karena ia telah mendalami liturgi dengan dua pemimpin dari gerakan liturgi Jerman dan Austria. Selain itu, dia mendapat reputasi internasional dalam Kongres Liturgi yang diselenggarakan di Assisi pada tahun 1956.

Pada tanggal 23 Oktober 1962 Uskup Van Bekkum mendapat kesempatan istimewa untuk memberikan konferensi pers tentang adaptasi liturgi dari budaya Indonesia. Konferensi pers itu diliput oleh sejumlah besar wartawan. Selepas konferensi pers, Uskup Agung Gantin dan Uskup Agung Cotonou Dahomey, meminta Mgr. Van Bekkum sebagai juru bicara dari Gereja Asia dan Afrika. Satu jam kemudian, radio Italia dan kantor berita internasional menyebarkan ide Mgr Van Bekkum ini. Wancara itu juga disebarluaskan oleh L'Osservatore Romano terkejut membaca wawancara eksklusif tersebut.

Pada kesempatan itu, Mgr Van Bekkum menekankan pentingnya spontanitas dalam ibadah dan mengamati bahwa spontanitas menghilang ketika ibadah menggunakan bahasa asing. Mgr. Van Bekkum berpendirian bahwa selain bahasa Latin - misalnya bahasa Asia dan Afrika bisa menjadi "bahasa sakramental" dengan memasukkan mereka dalam liturgi, terutama dalam Misa. Dengan menggunakan bahasa ibu, vitalitas dan kekayaan liturgi akan tercapai.

Van Bekkum mencemaskan bahwa ketika orang-orang menjadi kristen, mereka kehilangan warisan religius, sosial dan budaya yang sudah lama dan yang mempresentasikan hal fundamental dalam hidupnya, keyakinannya dan tindakannya.  Van Bekkum menandaskan: “Ketika orang kafir menjadi orang Kristen, apa sebenarnya yang terjadi? Yang pertama adalah mereka kehilangan semua kebiasaan religius, sosial dan budaya yang diwariskan dari tradisi lama dan yang mempresentasikan kepada mereka hal-hal fundamental dalam hidup, keyakinan dan tindakannya.”

Kabar Gembira kiranya tidak membuang atau menghilangkan ritus-ritus pribumi, tetapi berjuang untuk mengkritenkan upacara-upacara setempat dan dengan demikian menampung semangat religus melalui sarana rahmat dan pada saat yang sama memerangi hal yang sia-sia. Bertolak dari pengakuannya tentang ritus-ritus yang ada dalam budaya setempat, Van Bekkum bependapat bahwa ritus-ritus itu dapat dintegrasikan ke dalam liturgi Katolik. Di sini, ritus-ritus primbumi dilihatnya sebagai persiapan untuk liturgi Katolik. Tindakan tesebut merupakan jawaban untuk memenuhi kerinduan umat beriman akan kebaktian yang menyapa mereka. Meski demikian, perlu diwaspadai bahwa tindakan tersebut tidak boleh mengabaikan hal-hal esensial dari kekristenan.

Menurut Van Bekkum, ada dua kemungkinan dari liturgi Katolik di mana unsur-unsur budaya bisa dimasukkan, yaitu doa umat dan perarakan persembahan. Berkaitan dengan doa umat, intensi doa disesuaikan dengan kebutuhan umat dan didaraskan oleh wakil umat yang dijawab oleh umat secara bersama-sama. Sementara itu, berkaitan dengan perarakan persembahan dianjurkan bahwa bahan persembahan harus bersifat lokal, dihantar oleh wakil umat sembari diiringi lagu-lagu umat setempat.

Setelah belasan abad liturgi Gereja Katolik Roma hanya boleh dirayakan dalam bahasa latin, kini terbuka kemungkinan penggunaan bahasa daerah atau pribumi dalam perayaan liturgi.  Konsili Vatikan II dalam Konstitusi tentang Liturgi suci (Sacrosanctum Concilium (SC) 36 memberikan izin penggunaan bahasa pribumi dalam liturgi.

Sacrosanctum Concilium (SC) merupakan dokumen pertama yang dihasilkan Konsili Vatikan II. Dokumen ini mempunyai pengaruh yang amat penting karena sangat mentukan perkembangan dan pemugaran liturgi. Warna dasar pembaruan liturgi Vatikan II terletak pada kata kunci “PARTICIPATIO ACTUOSA”, yang mencita-citakan suatu liturgi yang dipahami umat secara sadar dan yang melibatkan umat secara penuh dan aktif.

Tentang pembaharun Liturgi Dalam Konsili Vatikan II, John Prior menulis: “Hampir semua elemen pembaharuan liturgi yang kemudian disahkan Konsili, pernah dianjurkan oleh Wilhelmus van Bekkum tujuh tahun sebelumnya.”

Sosok Mgr. Wilhelmus van Bekkum

Uskup van Bekkum lahir pada tanggal 3 Maret 1910. Pekerjaan ayahnya, Geradus van Bekkum adalah koster Gereja. Beliau hidup dalam kesederhanaan. Dalam rekomendasi kepada rektor seminari, Pastor G. Rentick menulis  “...seorang anak yang baik, cerdas, berasal dari orang tua yang baik dan jujur, namun...tidak punya duit.”

Uskup van Bekkum memulai ziarahnya dalam panggilan menjadi imam pada tahun 1922 di seminari menengah di Uden. Kemudian, pada tahun 1929 dia memutuskan untuk bergabung dengan Serikat Sabda Allah (SVD). Uskup van Bekkum mengikrarkan kaul kekal pada tanggal 21 April 1935 dan tahbisan imam diterimanya pada tanggal 18 Agustus 1935. Meskipun beliau tertarik dengan negeri Cina, kongregasinya mengutus beliau ke Kepulauan Nusa Tenggara.

Setelah mengikuti studi etnografi pada tahun 1935-1936, Uskup van Bekkum meninggalkan Belanda menuju daerah misi pada tanggal 4 September 1936 dan tiba di Ende pada tanggal 13 Oktober 1936. Regio SVD mengutusnya untuk berkarya di Manggarai sehingga pada bulan Januari 1937, beliau mulai berkarya di Ruteng. Dari sejarah karya misi di Manggarai, Uskup van Bekkum digolongkan sebagai misionaris perintis, imam ketujuh belas yang berkarya di Manggarai.

Di Manggarai, perjalanan hidupnya diwarnai karir yang menantang. Awalnya beliau diberi tugas sebagai pastor kapelan. Kemudian, pada tahun 1940, beliau diberi kepercayaan sebagai inspektur untuk Sekolah Dasar di seluruh Manggarai. Tanggung jawab yang mesti diembannya adalah menjaga sekolah-sekolah itu agar memenuhi persayaratan sesuai kesepakatan antara misi dan pemerintahan Belanda. Sementara itu, sekolah-sekolah itu berada terpencar dan masyarakat masih asing dengan sekolah.

Kemudian, beliau diangkat sebagai Deken dan Rektor wilayah Manggarai pada tahun 1947. Beberapa tahun kemudian, pada tanggal 8 Maret 1951 Bapa Suci menetapkan pemekaran Vikariat Apotolik Ende menjadi tiga vikariat, yaitu Ende, Larantuka dan Ruteng. Status dekenat Manggarai dinaikkan menjadi vikariat apostolik Ruteng. Pater Van Bekkum diangkat menjadi Uskup Tituler dari Tigia dan menjabat sebagai Vikaris Apostolik Ruteng. Penahbisannya sebagai uskup dilangsungkan pada 13 Mei 1951 dan pada 1951 Mgr. Van Bekkum menjadi Warga Negara Indonesia. Hingga wafatnya (11 Februari 1998), beliau hanya berkarya di Manggarai, Flores. 

(Diolah dari berbagai sumber)

MENGHADAPI HEGEMONI PASAR: KOMUNITAS BASIS GEREJAWI SEBAGAI PILAR GERAKAN CIVIL SOCIETY

Timotius Jelahu 

Komunitas Basis Gerejawi dapat membentengi anggotanya dari struktur-struktur ekonomi yang tidak berpihak pada kesetaraan martabat manusia dan keadilan. Partisipasi Gereja Katolik Indonesia dalam gerakan civil society menyata dalam persekutuan umat yang dikenal dengan Komunitas Basis Gerejawi (KBG). Salah satu bentuk jalan yang dapat ditempuh oleh Komunitas Basis Gerejawi adalah penguatan ekonomi umat melaui koperasi di tengah globalisasi ekonomi yang syarat dengan hegemoni pasar.

Pengantar

Civil society merupakan ruang publik yang terejawantah dalam organisasi-organisasi nonnegara dan dalam hal ini posisi agama diperhitungkan dalam penguatan gerakan civil society. Partisipasi Gereja Katolik Indonesia dalam gerakan civil society menyata dalam persekutuan umat yang dikenal dengan Komunitas Basis Gerejawi (KBG).  Nota Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) 2006 menyerukan agar Gereja tidak berpangku tangan di tengah kondisi buram kehidupan ekonomi. Para uskup mengidealkan suatu model tata ekonomi yang adil dan tata ekonomi yang dapat mewujudkan masyarakat yang manusiawi dan bermartabat melalui gerakan mengawinkan usaha credit union dengan kewirausahaan (entrepreneurship) di antara orang-orang biasa. 

Penguatan Civil society Di Indonesia 

Pemahaman Konsep Civil society 

Dalam telaahan Jean L Cohen dan Andrew Arto, ditemukan bahwa ide civil society dalam pemikiran Yunani terkandung dalam pemikiran Aristoteles tentang politike koinonia. Politike koinonia digunakan oleh Aristoteles untuk menggambarkan sebuah masyarakat politik dan etis di mana warga negara berkedudukan sama di depan hukum. Hukum sendiri dipahami sebagai seperangkap norma dan nilai yang disepakati tidak hanya berkaitan dengan prosedur politik tetapi juga sebagai substansi dasar kebajikan dari berbagai bentuk interaksi di antara warga komunitas. 

Hegel merupakan orang yang berjasa dalam mengembangkan makna modern kosep civil society yang tertuang dalam bukunya berjudul Philosophy of  Right. Baginya civil society merupakan satu bagian saja dari tatanan politik (political order) secara keseluruhan. Bagian dari tatanan politik yang lain adalah negara (state). Civil society dipahami sebagai wadah kehidupan etis yang terletak di antara kehidupan keluarga dan kehidupan kewarganegaraan. Lebih lanjut civil society ditentukan oleh permainan bebas kekuatan-kekuatan ekonomi dan pencarian jati diri individual. Selain itu, civil society juga mencakup lembaga-lembaga sosial dan kenegaraan yang memwadahi dan mengatur kehidupan ekonomi yang selanjutnya memicu proses pendidikan bagi gagasan kehidupan kenegaraan secara rasional. Jadi, kekhasan masyarakat sipil telah melampaui universalitas negara. Dengan demikian, Hegel membuat dikotomi antara negara dan masyarakat (state and society).

Pada awal abad 20 salah satu pemikir yang menaruh minat pada civil society adalah Antonio Gramsci yang tertuang dalam kumpulan tulisannya yang berjudul Prison Notebooks. Mengikuti Hegel, ia membedakan civil society dari negara dan lebih jauh membedakannya dari masyarakat ekonomi. Baginya civil society terdiri atas lembaga-lembaga yang terlepas dari pemaksaan dan aturan-aturan formal. Adapun lembaga-lembaga civil society itu adalah institusi keagamaan, sekolah, serikat pekerja, dan berbagai organisasi lainnya. Walaupun lembaga-lembaga ini dalam kenyataannya acapkali juga dibelokkan menjadi sarana bagi kelas penguasa dalam memelihara hegemoninya terhadap masyarakat, namun lembaga-lembaga ini juga merupakan arena di mana hegemoni itu sendiri dapat ditentang atau digoyahkan secara sah. 

Dalam wacana kontemporer, Anthony Giddens menghubungkan civil society dengan fenomena globalisasi. Salah satu trend globalisasi adalah tuntutan desentralisasi dan penyebaran kekuasaan dalam masyarakat. Akibat trend itu, negara akan kehilangan efektivitasnya ketika ia bersikukuh dengan pemusatan kekuasaan, apalagi bila dilakukan dengan cara represif. Karena itu, semakin mengemukanya pengaruh globalisasi membuat fokus pada komunitas menjadi penting. Di sini, komunitas merujuk pada sarana-sarana praktis untuk membantu renovasi sosial dan material lingkungan tempat tinggal, kota dan areal lokal yang lebih besar. Untuk itu, salah satu hal yang harus diperhatikan adalah soal terbentuknya ruang publik.

Sementara itu, Jeff Haynes mengutip Stepan mendefinisikan masyarakat sipil sebagai wilayah di mana terdapat banyak gerakan sosial  dan organisasi profesi yang berjuang untuk membentuk diri mereka menjadi suatu kerangka bersama guna menyatakan diri dan memajukan kepentingannya. Di sini, civil society dibedakan dari masyarakat politik karena masyarakat politik merupakan arena di mana keseluruhan bangsa secara spesifik menyusun dirinya sendiri dalam persaingan politik untuk memegang kendali atas kekuasaan publik dan aparat Negara. Sementara civil society merupakan benteng bagi warga negara terhadap kekuasaan negara.

Bertolak dari uraian di atas, civil society dalam tulisan ini dipahami sebagai ruang publik yang terejawantah dalam organisasi-oraganisasi nonnegara, seperti serikat kerja,  asosiasi-asosiasi pendidikan, badan-badan keagamaan dan media. Civil society merupakan organisasi sukarela yang dibedakan dari masyarakat politik, masyarakat ekonomi dan negara. Civil society menjadi benteng bagi masyarakat dalam menghadapi hegemoni masyarakat ekonomi, masyarakat politik, maupun negara. Dengan kata lain, civil society membaktikan diri kepada masyarakat luas dengan mempengaruhi kebijakan-kebijakan dan keputusan-keputusan dari masyarakat ekonomi, masyarakat politik dan negara.

Peran Civil society  

Pengutan civil society menjadi urgen mengingat kehadiran civil society memiliki beberapa peran penting. Setidak-tidaknya ada tiga peran pokok civil society. Pertama, dalam hubungan dengan negara civil society harus berdiri sebagai perisai bagi masyarakat dari perilaku negara yang cendrung hegemonik, otoritarian, dan represif. Civil society menjadi pelindung yang kuat terhadap dominasi negara. Dengan kata lain, lembaga-lembaga dan badan-badan pendukungnya yang membentuk civil society idealnya haruslah cukup kuat untuk menjaga agar negara berada dalam pembatasan substansial dan prosedural sehingga tidak merugikan masyarakat.

Sebagai perisai dan pelindung masyarakat, civil society merupakan ruang publik di mana para anggotanya melakukan public critical rational discourse dengan negara. Kemudian public critical rational discourse ini secara eksplisit harus memperkuat nilai-nilai demokrasi, dan terutama hak asasi manusia agar ruang lingkupnya semakin demokratis. Jika kandungan discourse yang dilakukan oleh para pelaku sipil tidak berdasarkan nilai-nilai dan norma demokrasi maka para pelaku tersebut tidak termasuk dalam civil society.

Kedua, peran civil society berhadapan dengan masyarakat ekonomi dan masyarakat politik. Di sini masyarakat politik adalah organisasi-organasasi politik, seperti partai politk dan masyarakat ekonomi adalah perusahan, korporasi bisnis atau organisasi yang bergelut dalam bidang produksi dan distribusi. Kedua kelompok ini secara langsung berhubungan dengan kekuasaan negara dan produksi sumber-sumber ekonomi. Baik masyarakat politik maupun masyarakat ekonomi berjuang untuk kepentingan kelompoknya sendiri. Mereka harus mengontrol dan mengelola kepentingan mereka sendiri. Berhadapan dengan kedua kelompok ini, civil society memainkan peran sebagai pengontrol yang memperadabkan atau sekurang-kurangnya mempengaruhi keputusan-keputusan  yang harus dibuat oleh masyarakat ekonomi dan politik sehingga tidak merugikan masyarakat kebanyakan.

Ketiga, civil society pada hakikatnya berpihak pada masyarakat. Bagi Anthony Giddens, pengembangan masyarakat madani yang aktif merupakan bagian yang mendasar dari politik jalan ketiga di mana politik baru ini menerima kekhawatiran akan menurunnya kualitas hidup masyarakat. Penurunan kualitas hidup masyarakat adalah real dan kasat mata dalam banyak sektor masyarakat kontemporer. Hal itu terlihat dalam melemahnya rasa solidaritas di beberapa komunitas lokal dan lingkungan pedesaan, tingginya tingkat kejahatan dan porak porandanya perkawinan dan keluarga.

Dengan penguatan civil society yang merupakan ruang publik di mana individu-individu bergabung dengan segala karakter masing-masing, Giddens optimis bahwa hal ini dapat mengatasi persoalan yang mendera masyarakat. Di sini, ia merujuk pada suatu penelitian di Amerika. Kehadiaran ruang publik telah melahirkan berbagai kelompok sukarela di mana anggota-anggotanya berkumpul untuk saling memberi dan mendapatkan perhatian, saling menolong dan seterusnya. Bagi mereka, kehadiran ruang publik mampu mengatasi kecendrungan-kecendrungan dislokasi masyarakat  dan bahkan membuat mereka mampu bersatu dan saling mendukung.

Sumber Daya Civil society 

Menurut Niels Mulder, masyarakat madani bersifat politis dalam arti  bahwa civil society berhubungan dengan pemberdayaan warga negara untuk berhadapan dengan negara dan pasar. Civil society tidak berhadapan secara langsung dalam melawan negara dan pasar, melainkan berusaha memperadabkan negara dan pasar, menjinakkan sifat dasar kekuasaan dan uang sehingga kepentingan umum terjamin. Dengan demikian, civil society memantau tindakan negara, pasar ekonomi dan politik dan mengambil bagian dalam pembuatan kebijakan umum. Civil society bahkan turut serta dalam melaksanakan kebijakan umum terlebih-lebih pada tingkat akar rumput.

Menimbang bahwa civil society merupakan pilar strategis gerakan sosial, maka civil society harus memiliki sumber daya. Hal ini sejalan dengan teori gerakan sosial terutama teori mobilisasi sumber daya. Menurut teori ini sebuah gerakan sosial akan berhasil kalau didukung oleh sumber-sumber daya yang perlu. Dengan demikian, di samping faktor eksternal seperti perlawanan dari pihak penguasa, keberhasilan dan kegagalan sebuah gerakan sosial juga bergantung pada sumber daya yang dimiliki (internal). 

Berkaitan dengan hal di atas, mau tidak mau civil society harus memiliki sumber-sumber daya yang bisa dijadikan sebagai basis kekuatan dalam menjalankan peran sebagai pilar gerakan sosial. Sekurang-kurangnya, beberapa hal berikut bisa dijadikan sebagai modal kekuatan gerakan civil society.

Pertama, kemampuan intelektual atau latar pendidikan. Sebagaimana yang telah diuraiakan pada bagian terdahulu, civil society merupakan ruang publik yang terejawantah dalam organisasi-organisasi sukarela dan nonnegara. Di dalam ruang publik itu, terjadi apa yang disebut public critical rational discourse. Hal ini mengandaikan bahwa anggota yang tergabung di dalamnya memiliki kemampuan intelektual sehingga bisa melihat secara kritis tingkah laku negara, politik, dan pasar. Karena itu, jika anggota-anggota memiliki basis intelektual atau pendidikan, maka civil society dapat menjalankan tugasnya dengan baik. 

Kedua, kemandirian ekonomi. Selain kemampuan intelektual, kemandirian ekonomi juga bisa merintis gerakan civil society. Misalnya, pergolakan civil society di Eropa pada zaman penguasa feodal. Sekitar tahun 1100, para pedagang, bankir, dan pengusaha tumbuh menjadi cukup kuat untuk merebut hak istimewa dari penguasa feodal. Setelah memberikan pinjaman uang kepada penguasa feodal, mereka kemudian menuntut penguasa feodal untuk memberi jalan bagi kebebasan pasar dan kota.  Hal ini mau mengatakan bahwa gerakan civil society bisa muncul jika anggotanya memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Kemandirian ekonomi dijadikan sebagai senjata untuk melawan kekuasaan hegemonik.

Ketiga, modal sosial. Modal sosial berhubungan dengan sikap saling mempercayai, hubungan timbal  balik, toleransi, ketercakupan, penghormatan kepada hukum, dan tata tertib dan sifat lainnya yang diperlukan untuk bekerja secara efektif, bertukar pandangan dan bekerja sama. Modal sosial ini sangat penting dalam membuka jaringan. Dalam gerakan sosial, kemampuan membuka jaringan dengan elemen-eleman lain juga turut mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan sebuah gerakan. Di sini, civil society dalam usaha dan perjuangan hendaknya membuka jaringan dengan kelompok-kelompok civil society lainnya. 

Agama sebagai Kelompok Strategis dalam Gerakan Civil society 

Sebagaimana yang diuraikan pada bagian terdahulu, civil society merupakan ruang publik yang terejawantah dalam organisasi-organisasi nonnegara. Organisasi-organisasi tersebut bersifat otonom dan independen terhadap kekuasaan negara. Di Indonesia ada beberapa kelompok strategis yang diharapkan mengambil bagian dalam gerakan civil society. Pada bagian berikut, akan disodorkan agama sebagai kelompok strategis untuk menjalankan gerakan civil society. 

Salah satu negara yang bisa dijadikan rujukan di mana kelompok agama menjadi kelompok strategis dalam gerakan civil society adalah Polandia. Polandia merupakan sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama Katholik. Di balik organisasi dan gerakan buruh, berdiri kekuatan sosial Gereja. Lebih dari itu, fondasi serikat buruh itu adalah umat beragama yang telah tumbuh menjadi kekuatan rakyat (people's power). Dengan demikian, dalam kasus Polandia kesadaran sipil itu tumbuh dari masyarakat Katholik yang kuat. Gereja Katholik mampu mengartikulasikan kepentingan dan aspirasi rakyat, dan karena itu menjadi sebuah lembaga dalam masyarakat sipil. Dalam kasus Polandia, agama menjadi ibu dari atau paling tidak memangku kelahiran gerakan civil society.

Di Indonesia peran kelompok agama tidak disisihkan. Hal ini dilatari oleh konsep negara integralistik yang diajukan oleh Soepomo dan dasar negara Pancasila. Dalam konsep negara integralistik, peranan agama-agama diakui dan dilindungi, dijadikan sebagai acuan dan sumber dalam mencari sistem nilai bagi negara. Namun, pada sisi lain agama dicegah untuk mewarnai hukum dan institusi politik. 

Berhubungan dengan gerakan civil society, agama Islam telah memberikan konstibusi yang baik. Hal ini dijalankan baik oleh kelompok islam modernis maupun tradisionalis. Walaupun terdapat perbedaan di atara kedua kelompok tersebut dalam pemaknaan terhadap civil society, namun harus diakui bahwa kedua kelompok itu telah memperkaya pemahaman tentang gerakan civil society di Indonesia. Kedua kelompok tersebut banyak memberi kajian dan penerbitan yang berhubungan gerakan civil society. Kedua kelompok itu, sama-sama mengakui bahwa gerakan civil society merupakan prasyarat demokratisasi. 

Sementara itu, dalam Gereja Katolik Indonesia, partisipasinya dalam gerakan civil society menyata dalam persekutuan umat yang dikenal dengan Komunitas Basis Gerejawi (KBG). KBG didefenisikan sebagai satuan umat yang relatif kecil, inklusif, yang bertemu secara berkala (tetap dan teratur) untuk berbagi masalah-masalah hidup harian dan bersama-sama mencari pemecahannya dalam terang Kitab Suci. Di dalam defenisi di atas, terkandung beberapa hal yang menjadi fokus pengembangan civil society, seperti pembentukan komunitas, dialog dan kerja sama (sifat inklusif), transformatif: membebaskan dan memberdayakan umat manusia. Hasil sebuah riset yang dilakukan Candraditya 2004-2007, menunjukkan bahwa KBG memang telah mampu mengemban tugas sebagai ruang publik yang membuat anggotanya memiliki ketahanan dalam perjuangan melawan ketidakadilan dan toleran terahadap orang dari daerah atau suku lain. 

Menghadapi Hegemoni Pasar: Menumbuhkan semangat Berkoperasi dalam Lingkup KBG

KBG sebagai Model Gerakan Civil society 

Peserta Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia pada tahun 2000 memahami komunitas basis sebagai cara hidup berdasarkan iman, jumlah anggotanya tidak terlalu banyak, komunikasi terbuka antar-anggota dalam semangat persaudaraan, membangun solidaritas dengan sesama, khususnya dengan saudara yang miskin dan tertindas. Inspirasi dasar pemahaman demikian adalah teladan hidup jemaat perdana sehingga komunitas basis merupakan Gereja mini yang hidup dinamis dalam pergumulan iman. Dengan cara seperti ini, diyakini bahwa kehadiran Gereja bisa lebih mengakar, lebih kontekstual dan mampu menjalankan perannya untuk menjadi terang dan menggarami dunia seturut irama zaman.  

Peserta Sidang mengakui bahwa sebagai bagian integral dari bangsa, umat Katolik Indonesia sepenuhnya ikut menghadapi permasalahan dan tantangan-tantangan yang dihadapi Bangsa Indonesia, seperti reformasi, situasi penuh ketakutan dan penderitaan. Dengan mengembangkan komuntas basis, kehidupan beriman dan menggereja kiranya lebih aktif dan lebih siap untuk ikut berperan di tengah masyarakat. Hal senada juga menjadi harapan para uskup, yaitu kiranya usaha menumbuhkan komunitas-komunitas basis menjadi salah satu cara Gereja untuk berperan dalam membangun masyarakat yang lebih adil, sejahtera, demokratis dan manusiawi.  

Peserta sidang juga menyadari bahwa membangun komunitas basis bukanlah hal mudah. Ada banyak tantangan yang mungkin dihadapi seperti faktor-faktor geografis, intervensi dari luar, budaya paternalistik dan individualistik, isu SARA, ketidakadilan jender, kekurangan pendidikan dan konflik budaya. Selain itu, masalah lain adalah soal komunikasi antara pastor dengang awam, perbedaan kebijakan paroki dan keuskupan, dan struktur Gereja yang tidak luwes dan feodal. 

Berhadapan dengan masalah-masalah di atas, peserta sidang menganjurkan adanya perubahan dari pola spiritualitas yang terlalu individualisitis dan hanya vertikal ke pola religiositas yang memerdekakan, dari sikap yang mendominasi ke pola kesetaraan martabat manusia, dari pola eksklusif ke keterbukaan terhadap saudara seiman maupun umat lain, dari liturgi yang ritualistik ke liturgi yang berpihak kepada kaum miskin, dari Gereja yang legalistik ke Gereja yang spiritual-profetis, dari sikap eksploitasi ke pelestarian lingkungan hidup, dari sikap sibuk sendiri ke sikap tanggap terhadap situasi bangsa dan negara. Dengan demikian, gerakan pertumbuhan komunitas basis adalah suatu gerakan bagi Gereja untuk memaknai panggilannya seturut peran dan tugasnya masing-masing demi pemberdayaan kaum marginal, sehingga setiap manusia sungguh dihargai menurut martabat sebagai gambaran wajah Allah. Panggilan ini merupakan panggilan bagi semua orang sebagai tanggapan atas panggilan Roh Allah sendiri. 

Penguatan Koperasi Kelompok Kategorial: Kisah Perjuangan Ibu Rumah Tangga Kelompok Doa Legio Maria dan St. Anna 

Berhadapan dengan gagasan pembangunan dan pengembangan ekonomi, Gereja Katolik menekankan perlunya pembangunan integral agar bisa diperoleh suatu kemajuan yang sungguh membawa kesejahteraaan kepada masyarakat. Walaupun Ajaran Sosial Gereja tidak memberikan solusi taktis dan praktis bagi persoalan ekonomi, namun Gereja selalu mengajak orang beriman dan semua orang yang berkehendak baik agar mempraktikan keutamaan sosial sebagai dasar mutlak untuk membaharui struktur-struktur sosial dan ekonomi.  Berhadapan dengan situasi dunia dewasa ini yang diwarnai oleh kesenjangan ekonomi, Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium menyerukan “jangan” pada ekonomi pengucilan dan ketidaksetaraan. Dalam paraktek ekomomi seperti ini, dunia diwarnai oleh hukum kompetisi dan the survival of the fittest di mana yang kuat menguasasi yang lemah, maka akibatnya adalah sebagian masyarakat menemukan diri mereka sendiri tersisih dan tersingkir: tanpa pekerjaan, tanpa kemungkinan, tanpa jalan keluar. 

Gereja Indonesia juga berupaya untuk tidak berpangku tangan di tengah kondisi kehidupan ekonomi dari begitu banyak warga negara yang masih sangat memprihatinkan. Dalam Nota Pastoral tahun 2006, para uskup mengidealkan suatu model tata ekonomi yang adil dan tata ekonomi yang sangat menentukan bagi terwujudnya masyarakat yang manusiawi dan bermartabat. Para uskup berkeyakinan bahwa harapan ini dapat terealisasi melalui gerakan mengawinkan usaha credit union dan kewirausahaan (entrepreneurship) di antara orang-orang biasa.  

Penguatan ekonomi umat dapat diterapkan di KBG, baik teritorial maupun kategorial. Salah satu ispirasi tentang bagaimana persekutuan doa dapat membentuk koperasi adalah kelompok doa Legio Maria dan St. Anna di Paroki St. Thomas Morus, Keuskupan Maumere.    

Ibu Agustina Ero Parera  adalah sosok yang berjuang meyakinkan dan menggerakkan sesama kaum perempuan untuk tidak tinggal diam dalam mengatasi realitas kemiskinan yang mendera rumah tangga. Pada tanggal 8 September 1974, bersama teman-teman anggota kelompok doa St. Anna, beliau mendirikan koperasi Deru Dede dengan jumlah anggota 18 orang. Pada tahun 1977, koperasi ini perlahan merangkak dengan jumlah anggota 47 orang.

Pada mulanya, koperasi Deru Dede hanya memberikan pinjaman produktif kepada sesama kaum ibu untuk mengembangkan modal dengan berjualan di pasar. Upaya ini telah memberikan hasil. Mereka berhasil membangun rumah yang lebih layak bahkan mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga jenjang perguruan tinggi. 

Koperasi Dere Dede tidak berjalan ketika Ibu Ero berpindah ke Kupang. Meski demikian, setelah kembali tinggal di Maumere, kaum ibu mendirikan koperasi baru dengan nama Lunung Kunung yang didirikan pada pada 5 April 1992. Pendirian koperasi ini bertujuan untuk saling membantu dan saling mencintai dalam kelompok doa St. Anna. Lunung kunung berarti bersama-sama bergandengan tangan. Sesuai dengan namanya, Kopdit Lunung Kunung berjuang untuk membangun kopdit kepada arah yang lebih baik.

Kopdit Lunung Kunung merangkul semua anggota dalam semangat persaudaraan, menghormati sesama anggota sebagai pribadi yang memiliki harkat dan martabat yang sama. Koperasi tersebut sudah berbadan hukum pada tanggal 22 September 2007 dengan No. 11/ BH/ DK 5/ VIII/.  Lebih dari 75 %  anggota koperasi adalah kaum perempuan sebagai ibu rumah tangga dan petani. 

Penutup

Komunitas Basis Gerejawi dapat membentengi anggotanya dari struktur-struktur ekonomi yang tidak berpihak pada kesetaraan martabat manusia dan keadilan. Salah satu bentuk jalan yang dapat ditempuh oleh Komunitas Basis Gerejawi adalah penguatan ekonomi umat melaui koperasi di tengah globalisasi ekonomi yang syarat dengan hegemoni pasar. Para uskup mengidealkan suatu model tata ekonomi yang adil dan tata ekonomi yang manusiawi dan bermartabat melalui gerakan mengawinkan usaha credit union dan kewirausahaan (entrepreneurship) di antara orang-orang biasa. Sejalan dengan seruan Nota Pastoral KWI 2006,  penguatan KBG dapat diwujudkan dengan gerakan berkoperasi dalam lingkup KBG, baik teritorial maupun kategorial.

Rujukan

Herry-Priyono, B. “Ekonomi dan Budaya yang Menjelma” dalam Spektrum XXXV, No. 4, 2007. 

Jegaut, Benyamin, dkk. Menyelami Koperasi Kredit Lunung Kunung Dalam Perspektif Gender-Laporan Penelitian Teologi Sosial STFK Ledalero Manuskrip, 2012.

Jelahu, Timotius Tote. Membangun Gerakan Mahasiswa sebagai Gerakan Civil Society: Berguru Pada Gerakan Mahasiswa 1998, Skripsi, Maumere: Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, 2009. 

Kirchberger, Georg. “Kemajuan Dan Pembangunan Ekonomi Seturut Ajaran Sosial Gereja” dalam Berbagi Jurnal Kateketik Pastoral, Vol. 4, No. 2 Juli 2015.

Kopdit Lunung Kunung, Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Dan Pengawas Kopdit Lunung Kunung (LPPPKLK) Tahun Buku 2010.

Paus Fransiskus. Evangelii Gaudium, penerj. F.X Adisusanto dan Bernadeta Harini Tri Prasasti. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2014.

Surat Gembala KWI-Pengumatan Hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia Tahun 2000 dalam Spektrum No. 1 Thn. XXIX, 2001.