Tampilkan postingan dengan label komunitas basis gerejawi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label komunitas basis gerejawi. Tampilkan semua postingan

MENGHADAPI HEGEMONI PASAR: KOMUNITAS BASIS GEREJAWI SEBAGAI PILAR GERAKAN CIVIL SOCIETY

Timotius Jelahu 

Komunitas Basis Gerejawi dapat membentengi anggotanya dari struktur-struktur ekonomi yang tidak berpihak pada kesetaraan martabat manusia dan keadilan. Partisipasi Gereja Katolik Indonesia dalam gerakan civil society menyata dalam persekutuan umat yang dikenal dengan Komunitas Basis Gerejawi (KBG). Salah satu bentuk jalan yang dapat ditempuh oleh Komunitas Basis Gerejawi adalah penguatan ekonomi umat melaui koperasi di tengah globalisasi ekonomi yang syarat dengan hegemoni pasar.

Pengantar

Civil society merupakan ruang publik yang terejawantah dalam organisasi-organisasi nonnegara dan dalam hal ini posisi agama diperhitungkan dalam penguatan gerakan civil society. Partisipasi Gereja Katolik Indonesia dalam gerakan civil society menyata dalam persekutuan umat yang dikenal dengan Komunitas Basis Gerejawi (KBG).  Nota Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) 2006 menyerukan agar Gereja tidak berpangku tangan di tengah kondisi buram kehidupan ekonomi. Para uskup mengidealkan suatu model tata ekonomi yang adil dan tata ekonomi yang dapat mewujudkan masyarakat yang manusiawi dan bermartabat melalui gerakan mengawinkan usaha credit union dengan kewirausahaan (entrepreneurship) di antara orang-orang biasa. 

Penguatan Civil society Di Indonesia 

Pemahaman Konsep Civil society 

Dalam telaahan Jean L Cohen dan Andrew Arto, ditemukan bahwa ide civil society dalam pemikiran Yunani terkandung dalam pemikiran Aristoteles tentang politike koinonia. Politike koinonia digunakan oleh Aristoteles untuk menggambarkan sebuah masyarakat politik dan etis di mana warga negara berkedudukan sama di depan hukum. Hukum sendiri dipahami sebagai seperangkap norma dan nilai yang disepakati tidak hanya berkaitan dengan prosedur politik tetapi juga sebagai substansi dasar kebajikan dari berbagai bentuk interaksi di antara warga komunitas. 

Hegel merupakan orang yang berjasa dalam mengembangkan makna modern kosep civil society yang tertuang dalam bukunya berjudul Philosophy of  Right. Baginya civil society merupakan satu bagian saja dari tatanan politik (political order) secara keseluruhan. Bagian dari tatanan politik yang lain adalah negara (state). Civil society dipahami sebagai wadah kehidupan etis yang terletak di antara kehidupan keluarga dan kehidupan kewarganegaraan. Lebih lanjut civil society ditentukan oleh permainan bebas kekuatan-kekuatan ekonomi dan pencarian jati diri individual. Selain itu, civil society juga mencakup lembaga-lembaga sosial dan kenegaraan yang memwadahi dan mengatur kehidupan ekonomi yang selanjutnya memicu proses pendidikan bagi gagasan kehidupan kenegaraan secara rasional. Jadi, kekhasan masyarakat sipil telah melampaui universalitas negara. Dengan demikian, Hegel membuat dikotomi antara negara dan masyarakat (state and society).

Pada awal abad 20 salah satu pemikir yang menaruh minat pada civil society adalah Antonio Gramsci yang tertuang dalam kumpulan tulisannya yang berjudul Prison Notebooks. Mengikuti Hegel, ia membedakan civil society dari negara dan lebih jauh membedakannya dari masyarakat ekonomi. Baginya civil society terdiri atas lembaga-lembaga yang terlepas dari pemaksaan dan aturan-aturan formal. Adapun lembaga-lembaga civil society itu adalah institusi keagamaan, sekolah, serikat pekerja, dan berbagai organisasi lainnya. Walaupun lembaga-lembaga ini dalam kenyataannya acapkali juga dibelokkan menjadi sarana bagi kelas penguasa dalam memelihara hegemoninya terhadap masyarakat, namun lembaga-lembaga ini juga merupakan arena di mana hegemoni itu sendiri dapat ditentang atau digoyahkan secara sah. 

Dalam wacana kontemporer, Anthony Giddens menghubungkan civil society dengan fenomena globalisasi. Salah satu trend globalisasi adalah tuntutan desentralisasi dan penyebaran kekuasaan dalam masyarakat. Akibat trend itu, negara akan kehilangan efektivitasnya ketika ia bersikukuh dengan pemusatan kekuasaan, apalagi bila dilakukan dengan cara represif. Karena itu, semakin mengemukanya pengaruh globalisasi membuat fokus pada komunitas menjadi penting. Di sini, komunitas merujuk pada sarana-sarana praktis untuk membantu renovasi sosial dan material lingkungan tempat tinggal, kota dan areal lokal yang lebih besar. Untuk itu, salah satu hal yang harus diperhatikan adalah soal terbentuknya ruang publik.

Sementara itu, Jeff Haynes mengutip Stepan mendefinisikan masyarakat sipil sebagai wilayah di mana terdapat banyak gerakan sosial  dan organisasi profesi yang berjuang untuk membentuk diri mereka menjadi suatu kerangka bersama guna menyatakan diri dan memajukan kepentingannya. Di sini, civil society dibedakan dari masyarakat politik karena masyarakat politik merupakan arena di mana keseluruhan bangsa secara spesifik menyusun dirinya sendiri dalam persaingan politik untuk memegang kendali atas kekuasaan publik dan aparat Negara. Sementara civil society merupakan benteng bagi warga negara terhadap kekuasaan negara.

Bertolak dari uraian di atas, civil society dalam tulisan ini dipahami sebagai ruang publik yang terejawantah dalam organisasi-oraganisasi nonnegara, seperti serikat kerja,  asosiasi-asosiasi pendidikan, badan-badan keagamaan dan media. Civil society merupakan organisasi sukarela yang dibedakan dari masyarakat politik, masyarakat ekonomi dan negara. Civil society menjadi benteng bagi masyarakat dalam menghadapi hegemoni masyarakat ekonomi, masyarakat politik, maupun negara. Dengan kata lain, civil society membaktikan diri kepada masyarakat luas dengan mempengaruhi kebijakan-kebijakan dan keputusan-keputusan dari masyarakat ekonomi, masyarakat politik dan negara.

Peran Civil society  

Pengutan civil society menjadi urgen mengingat kehadiran civil society memiliki beberapa peran penting. Setidak-tidaknya ada tiga peran pokok civil society. Pertama, dalam hubungan dengan negara civil society harus berdiri sebagai perisai bagi masyarakat dari perilaku negara yang cendrung hegemonik, otoritarian, dan represif. Civil society menjadi pelindung yang kuat terhadap dominasi negara. Dengan kata lain, lembaga-lembaga dan badan-badan pendukungnya yang membentuk civil society idealnya haruslah cukup kuat untuk menjaga agar negara berada dalam pembatasan substansial dan prosedural sehingga tidak merugikan masyarakat.

Sebagai perisai dan pelindung masyarakat, civil society merupakan ruang publik di mana para anggotanya melakukan public critical rational discourse dengan negara. Kemudian public critical rational discourse ini secara eksplisit harus memperkuat nilai-nilai demokrasi, dan terutama hak asasi manusia agar ruang lingkupnya semakin demokratis. Jika kandungan discourse yang dilakukan oleh para pelaku sipil tidak berdasarkan nilai-nilai dan norma demokrasi maka para pelaku tersebut tidak termasuk dalam civil society.

Kedua, peran civil society berhadapan dengan masyarakat ekonomi dan masyarakat politik. Di sini masyarakat politik adalah organisasi-organasasi politik, seperti partai politk dan masyarakat ekonomi adalah perusahan, korporasi bisnis atau organisasi yang bergelut dalam bidang produksi dan distribusi. Kedua kelompok ini secara langsung berhubungan dengan kekuasaan negara dan produksi sumber-sumber ekonomi. Baik masyarakat politik maupun masyarakat ekonomi berjuang untuk kepentingan kelompoknya sendiri. Mereka harus mengontrol dan mengelola kepentingan mereka sendiri. Berhadapan dengan kedua kelompok ini, civil society memainkan peran sebagai pengontrol yang memperadabkan atau sekurang-kurangnya mempengaruhi keputusan-keputusan  yang harus dibuat oleh masyarakat ekonomi dan politik sehingga tidak merugikan masyarakat kebanyakan.

Ketiga, civil society pada hakikatnya berpihak pada masyarakat. Bagi Anthony Giddens, pengembangan masyarakat madani yang aktif merupakan bagian yang mendasar dari politik jalan ketiga di mana politik baru ini menerima kekhawatiran akan menurunnya kualitas hidup masyarakat. Penurunan kualitas hidup masyarakat adalah real dan kasat mata dalam banyak sektor masyarakat kontemporer. Hal itu terlihat dalam melemahnya rasa solidaritas di beberapa komunitas lokal dan lingkungan pedesaan, tingginya tingkat kejahatan dan porak porandanya perkawinan dan keluarga.

Dengan penguatan civil society yang merupakan ruang publik di mana individu-individu bergabung dengan segala karakter masing-masing, Giddens optimis bahwa hal ini dapat mengatasi persoalan yang mendera masyarakat. Di sini, ia merujuk pada suatu penelitian di Amerika. Kehadiaran ruang publik telah melahirkan berbagai kelompok sukarela di mana anggota-anggotanya berkumpul untuk saling memberi dan mendapatkan perhatian, saling menolong dan seterusnya. Bagi mereka, kehadiran ruang publik mampu mengatasi kecendrungan-kecendrungan dislokasi masyarakat  dan bahkan membuat mereka mampu bersatu dan saling mendukung.

Sumber Daya Civil society 

Menurut Niels Mulder, masyarakat madani bersifat politis dalam arti  bahwa civil society berhubungan dengan pemberdayaan warga negara untuk berhadapan dengan negara dan pasar. Civil society tidak berhadapan secara langsung dalam melawan negara dan pasar, melainkan berusaha memperadabkan negara dan pasar, menjinakkan sifat dasar kekuasaan dan uang sehingga kepentingan umum terjamin. Dengan demikian, civil society memantau tindakan negara, pasar ekonomi dan politik dan mengambil bagian dalam pembuatan kebijakan umum. Civil society bahkan turut serta dalam melaksanakan kebijakan umum terlebih-lebih pada tingkat akar rumput.

Menimbang bahwa civil society merupakan pilar strategis gerakan sosial, maka civil society harus memiliki sumber daya. Hal ini sejalan dengan teori gerakan sosial terutama teori mobilisasi sumber daya. Menurut teori ini sebuah gerakan sosial akan berhasil kalau didukung oleh sumber-sumber daya yang perlu. Dengan demikian, di samping faktor eksternal seperti perlawanan dari pihak penguasa, keberhasilan dan kegagalan sebuah gerakan sosial juga bergantung pada sumber daya yang dimiliki (internal). 

Berkaitan dengan hal di atas, mau tidak mau civil society harus memiliki sumber-sumber daya yang bisa dijadikan sebagai basis kekuatan dalam menjalankan peran sebagai pilar gerakan sosial. Sekurang-kurangnya, beberapa hal berikut bisa dijadikan sebagai modal kekuatan gerakan civil society.

Pertama, kemampuan intelektual atau latar pendidikan. Sebagaimana yang telah diuraiakan pada bagian terdahulu, civil society merupakan ruang publik yang terejawantah dalam organisasi-organisasi sukarela dan nonnegara. Di dalam ruang publik itu, terjadi apa yang disebut public critical rational discourse. Hal ini mengandaikan bahwa anggota yang tergabung di dalamnya memiliki kemampuan intelektual sehingga bisa melihat secara kritis tingkah laku negara, politik, dan pasar. Karena itu, jika anggota-anggota memiliki basis intelektual atau pendidikan, maka civil society dapat menjalankan tugasnya dengan baik. 

Kedua, kemandirian ekonomi. Selain kemampuan intelektual, kemandirian ekonomi juga bisa merintis gerakan civil society. Misalnya, pergolakan civil society di Eropa pada zaman penguasa feodal. Sekitar tahun 1100, para pedagang, bankir, dan pengusaha tumbuh menjadi cukup kuat untuk merebut hak istimewa dari penguasa feodal. Setelah memberikan pinjaman uang kepada penguasa feodal, mereka kemudian menuntut penguasa feodal untuk memberi jalan bagi kebebasan pasar dan kota.  Hal ini mau mengatakan bahwa gerakan civil society bisa muncul jika anggotanya memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Kemandirian ekonomi dijadikan sebagai senjata untuk melawan kekuasaan hegemonik.

Ketiga, modal sosial. Modal sosial berhubungan dengan sikap saling mempercayai, hubungan timbal  balik, toleransi, ketercakupan, penghormatan kepada hukum, dan tata tertib dan sifat lainnya yang diperlukan untuk bekerja secara efektif, bertukar pandangan dan bekerja sama. Modal sosial ini sangat penting dalam membuka jaringan. Dalam gerakan sosial, kemampuan membuka jaringan dengan elemen-eleman lain juga turut mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan sebuah gerakan. Di sini, civil society dalam usaha dan perjuangan hendaknya membuka jaringan dengan kelompok-kelompok civil society lainnya. 

Agama sebagai Kelompok Strategis dalam Gerakan Civil society 

Sebagaimana yang diuraikan pada bagian terdahulu, civil society merupakan ruang publik yang terejawantah dalam organisasi-organisasi nonnegara. Organisasi-organisasi tersebut bersifat otonom dan independen terhadap kekuasaan negara. Di Indonesia ada beberapa kelompok strategis yang diharapkan mengambil bagian dalam gerakan civil society. Pada bagian berikut, akan disodorkan agama sebagai kelompok strategis untuk menjalankan gerakan civil society. 

Salah satu negara yang bisa dijadikan rujukan di mana kelompok agama menjadi kelompok strategis dalam gerakan civil society adalah Polandia. Polandia merupakan sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama Katholik. Di balik organisasi dan gerakan buruh, berdiri kekuatan sosial Gereja. Lebih dari itu, fondasi serikat buruh itu adalah umat beragama yang telah tumbuh menjadi kekuatan rakyat (people's power). Dengan demikian, dalam kasus Polandia kesadaran sipil itu tumbuh dari masyarakat Katholik yang kuat. Gereja Katholik mampu mengartikulasikan kepentingan dan aspirasi rakyat, dan karena itu menjadi sebuah lembaga dalam masyarakat sipil. Dalam kasus Polandia, agama menjadi ibu dari atau paling tidak memangku kelahiran gerakan civil society.

Di Indonesia peran kelompok agama tidak disisihkan. Hal ini dilatari oleh konsep negara integralistik yang diajukan oleh Soepomo dan dasar negara Pancasila. Dalam konsep negara integralistik, peranan agama-agama diakui dan dilindungi, dijadikan sebagai acuan dan sumber dalam mencari sistem nilai bagi negara. Namun, pada sisi lain agama dicegah untuk mewarnai hukum dan institusi politik. 

Berhubungan dengan gerakan civil society, agama Islam telah memberikan konstibusi yang baik. Hal ini dijalankan baik oleh kelompok islam modernis maupun tradisionalis. Walaupun terdapat perbedaan di atara kedua kelompok tersebut dalam pemaknaan terhadap civil society, namun harus diakui bahwa kedua kelompok itu telah memperkaya pemahaman tentang gerakan civil society di Indonesia. Kedua kelompok tersebut banyak memberi kajian dan penerbitan yang berhubungan gerakan civil society. Kedua kelompok itu, sama-sama mengakui bahwa gerakan civil society merupakan prasyarat demokratisasi. 

Sementara itu, dalam Gereja Katolik Indonesia, partisipasinya dalam gerakan civil society menyata dalam persekutuan umat yang dikenal dengan Komunitas Basis Gerejawi (KBG). KBG didefenisikan sebagai satuan umat yang relatif kecil, inklusif, yang bertemu secara berkala (tetap dan teratur) untuk berbagi masalah-masalah hidup harian dan bersama-sama mencari pemecahannya dalam terang Kitab Suci. Di dalam defenisi di atas, terkandung beberapa hal yang menjadi fokus pengembangan civil society, seperti pembentukan komunitas, dialog dan kerja sama (sifat inklusif), transformatif: membebaskan dan memberdayakan umat manusia. Hasil sebuah riset yang dilakukan Candraditya 2004-2007, menunjukkan bahwa KBG memang telah mampu mengemban tugas sebagai ruang publik yang membuat anggotanya memiliki ketahanan dalam perjuangan melawan ketidakadilan dan toleran terahadap orang dari daerah atau suku lain. 

Menghadapi Hegemoni Pasar: Menumbuhkan semangat Berkoperasi dalam Lingkup KBG

KBG sebagai Model Gerakan Civil society 

Peserta Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia pada tahun 2000 memahami komunitas basis sebagai cara hidup berdasarkan iman, jumlah anggotanya tidak terlalu banyak, komunikasi terbuka antar-anggota dalam semangat persaudaraan, membangun solidaritas dengan sesama, khususnya dengan saudara yang miskin dan tertindas. Inspirasi dasar pemahaman demikian adalah teladan hidup jemaat perdana sehingga komunitas basis merupakan Gereja mini yang hidup dinamis dalam pergumulan iman. Dengan cara seperti ini, diyakini bahwa kehadiran Gereja bisa lebih mengakar, lebih kontekstual dan mampu menjalankan perannya untuk menjadi terang dan menggarami dunia seturut irama zaman.  

Peserta Sidang mengakui bahwa sebagai bagian integral dari bangsa, umat Katolik Indonesia sepenuhnya ikut menghadapi permasalahan dan tantangan-tantangan yang dihadapi Bangsa Indonesia, seperti reformasi, situasi penuh ketakutan dan penderitaan. Dengan mengembangkan komuntas basis, kehidupan beriman dan menggereja kiranya lebih aktif dan lebih siap untuk ikut berperan di tengah masyarakat. Hal senada juga menjadi harapan para uskup, yaitu kiranya usaha menumbuhkan komunitas-komunitas basis menjadi salah satu cara Gereja untuk berperan dalam membangun masyarakat yang lebih adil, sejahtera, demokratis dan manusiawi.  

Peserta sidang juga menyadari bahwa membangun komunitas basis bukanlah hal mudah. Ada banyak tantangan yang mungkin dihadapi seperti faktor-faktor geografis, intervensi dari luar, budaya paternalistik dan individualistik, isu SARA, ketidakadilan jender, kekurangan pendidikan dan konflik budaya. Selain itu, masalah lain adalah soal komunikasi antara pastor dengang awam, perbedaan kebijakan paroki dan keuskupan, dan struktur Gereja yang tidak luwes dan feodal. 

Berhadapan dengan masalah-masalah di atas, peserta sidang menganjurkan adanya perubahan dari pola spiritualitas yang terlalu individualisitis dan hanya vertikal ke pola religiositas yang memerdekakan, dari sikap yang mendominasi ke pola kesetaraan martabat manusia, dari pola eksklusif ke keterbukaan terhadap saudara seiman maupun umat lain, dari liturgi yang ritualistik ke liturgi yang berpihak kepada kaum miskin, dari Gereja yang legalistik ke Gereja yang spiritual-profetis, dari sikap eksploitasi ke pelestarian lingkungan hidup, dari sikap sibuk sendiri ke sikap tanggap terhadap situasi bangsa dan negara. Dengan demikian, gerakan pertumbuhan komunitas basis adalah suatu gerakan bagi Gereja untuk memaknai panggilannya seturut peran dan tugasnya masing-masing demi pemberdayaan kaum marginal, sehingga setiap manusia sungguh dihargai menurut martabat sebagai gambaran wajah Allah. Panggilan ini merupakan panggilan bagi semua orang sebagai tanggapan atas panggilan Roh Allah sendiri. 

Penguatan Koperasi Kelompok Kategorial: Kisah Perjuangan Ibu Rumah Tangga Kelompok Doa Legio Maria dan St. Anna 

Berhadapan dengan gagasan pembangunan dan pengembangan ekonomi, Gereja Katolik menekankan perlunya pembangunan integral agar bisa diperoleh suatu kemajuan yang sungguh membawa kesejahteraaan kepada masyarakat. Walaupun Ajaran Sosial Gereja tidak memberikan solusi taktis dan praktis bagi persoalan ekonomi, namun Gereja selalu mengajak orang beriman dan semua orang yang berkehendak baik agar mempraktikan keutamaan sosial sebagai dasar mutlak untuk membaharui struktur-struktur sosial dan ekonomi.  Berhadapan dengan situasi dunia dewasa ini yang diwarnai oleh kesenjangan ekonomi, Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium menyerukan “jangan” pada ekonomi pengucilan dan ketidaksetaraan. Dalam paraktek ekomomi seperti ini, dunia diwarnai oleh hukum kompetisi dan the survival of the fittest di mana yang kuat menguasasi yang lemah, maka akibatnya adalah sebagian masyarakat menemukan diri mereka sendiri tersisih dan tersingkir: tanpa pekerjaan, tanpa kemungkinan, tanpa jalan keluar. 

Gereja Indonesia juga berupaya untuk tidak berpangku tangan di tengah kondisi kehidupan ekonomi dari begitu banyak warga negara yang masih sangat memprihatinkan. Dalam Nota Pastoral tahun 2006, para uskup mengidealkan suatu model tata ekonomi yang adil dan tata ekonomi yang sangat menentukan bagi terwujudnya masyarakat yang manusiawi dan bermartabat. Para uskup berkeyakinan bahwa harapan ini dapat terealisasi melalui gerakan mengawinkan usaha credit union dan kewirausahaan (entrepreneurship) di antara orang-orang biasa.  

Penguatan ekonomi umat dapat diterapkan di KBG, baik teritorial maupun kategorial. Salah satu ispirasi tentang bagaimana persekutuan doa dapat membentuk koperasi adalah kelompok doa Legio Maria dan St. Anna di Paroki St. Thomas Morus, Keuskupan Maumere.    

Ibu Agustina Ero Parera  adalah sosok yang berjuang meyakinkan dan menggerakkan sesama kaum perempuan untuk tidak tinggal diam dalam mengatasi realitas kemiskinan yang mendera rumah tangga. Pada tanggal 8 September 1974, bersama teman-teman anggota kelompok doa St. Anna, beliau mendirikan koperasi Deru Dede dengan jumlah anggota 18 orang. Pada tahun 1977, koperasi ini perlahan merangkak dengan jumlah anggota 47 orang.

Pada mulanya, koperasi Deru Dede hanya memberikan pinjaman produktif kepada sesama kaum ibu untuk mengembangkan modal dengan berjualan di pasar. Upaya ini telah memberikan hasil. Mereka berhasil membangun rumah yang lebih layak bahkan mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga jenjang perguruan tinggi. 

Koperasi Dere Dede tidak berjalan ketika Ibu Ero berpindah ke Kupang. Meski demikian, setelah kembali tinggal di Maumere, kaum ibu mendirikan koperasi baru dengan nama Lunung Kunung yang didirikan pada pada 5 April 1992. Pendirian koperasi ini bertujuan untuk saling membantu dan saling mencintai dalam kelompok doa St. Anna. Lunung kunung berarti bersama-sama bergandengan tangan. Sesuai dengan namanya, Kopdit Lunung Kunung berjuang untuk membangun kopdit kepada arah yang lebih baik.

Kopdit Lunung Kunung merangkul semua anggota dalam semangat persaudaraan, menghormati sesama anggota sebagai pribadi yang memiliki harkat dan martabat yang sama. Koperasi tersebut sudah berbadan hukum pada tanggal 22 September 2007 dengan No. 11/ BH/ DK 5/ VIII/.  Lebih dari 75 %  anggota koperasi adalah kaum perempuan sebagai ibu rumah tangga dan petani. 

Penutup

Komunitas Basis Gerejawi dapat membentengi anggotanya dari struktur-struktur ekonomi yang tidak berpihak pada kesetaraan martabat manusia dan keadilan. Salah satu bentuk jalan yang dapat ditempuh oleh Komunitas Basis Gerejawi adalah penguatan ekonomi umat melaui koperasi di tengah globalisasi ekonomi yang syarat dengan hegemoni pasar. Para uskup mengidealkan suatu model tata ekonomi yang adil dan tata ekonomi yang manusiawi dan bermartabat melalui gerakan mengawinkan usaha credit union dan kewirausahaan (entrepreneurship) di antara orang-orang biasa. Sejalan dengan seruan Nota Pastoral KWI 2006,  penguatan KBG dapat diwujudkan dengan gerakan berkoperasi dalam lingkup KBG, baik teritorial maupun kategorial.

Rujukan

Herry-Priyono, B. “Ekonomi dan Budaya yang Menjelma” dalam Spektrum XXXV, No. 4, 2007. 

Jegaut, Benyamin, dkk. Menyelami Koperasi Kredit Lunung Kunung Dalam Perspektif Gender-Laporan Penelitian Teologi Sosial STFK Ledalero Manuskrip, 2012.

Jelahu, Timotius Tote. Membangun Gerakan Mahasiswa sebagai Gerakan Civil Society: Berguru Pada Gerakan Mahasiswa 1998, Skripsi, Maumere: Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, 2009. 

Kirchberger, Georg. “Kemajuan Dan Pembangunan Ekonomi Seturut Ajaran Sosial Gereja” dalam Berbagi Jurnal Kateketik Pastoral, Vol. 4, No. 2 Juli 2015.

Kopdit Lunung Kunung, Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Dan Pengawas Kopdit Lunung Kunung (LPPPKLK) Tahun Buku 2010.

Paus Fransiskus. Evangelii Gaudium, penerj. F.X Adisusanto dan Bernadeta Harini Tri Prasasti. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2014.

Surat Gembala KWI-Pengumatan Hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia Tahun 2000 dalam Spektrum No. 1 Thn. XXIX, 2001.

MELANJUTKAN ZIARAH GEREJA: GERAKAN PEMBERDAYAAN KOMUNITAS BASIS GEREJAWI

Oleh: Timotius Jelahu 

Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) tahun 2000 memposisikan Komunitas Basis Gerejawi (KBG) sebagai cara hidup menggeraja dalam gerakan membangun masyarakat yang lebih adil, sejahtera, demokratis dan manusiawi. Gerakan pemberdayaan KBG dapat dipahami sebagai tanggapan atas panggilan murid Kristus untuk berpihak dan berjuang bagi kaum tersisih sehingga Kerajaan Allah sungguh meraja di tengah dunia. Senada dengan SAGKI 2000, penulis artikel ini merefleksikan bagaimana menjalankan gerakan pemberdayaan KBG dengan merujuk pada Ajaran Sosial Gereja. Dalam hal ini, metode lingkaran pastoral merupakan salah satu jalan yang dapat dipakai dalam menjalankan gerakan pemberdayaan tersebut. 

PENGANTAR

Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes menegaskan: “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga.”  Suara Bapa-Bapa Konsili ini mengingatkan semua murid Kristus akan panggilannya mendatangkan Kerajaan Allah di tengah dunia. Bagi Gereja Katolik Indonesia, Komunitas Basis Gerejawi (KBG) merupakan persekutuan umat beriman yang diharapkan bisa menjalankan panggilan tersebut.  Maka, sepanjang satu dasawarsa yang lalu Gereja-Gereja lokal di Indonesia bersatu padu dalam membagun gerakan pemberdayaan KBG.

Senada dengan SAGKI 2000, artikel ini berpendirian bahwa KBG merupakan  cara hidup menggereja yang tepat untuk menghadirkan Kerajaan Allah di tengah dunia. KBG diharapkan pula menjadi salah satu cara Gereja berperan dalam membangun masyarakat yang lebih adil, sejahtera, demokratis dan manusiawi. Demikianlah, artikel ini coba merefleksikan kembali gerakan pemberdayaan KBG dan di bagian akhir akan dipaparkan metode lingkaran pastoral yang dapat dipakai dalam mengembangkan gerakan pemberdayaan KBG. Entah model apa pun yang dipakai, kiranya gerakan pemberdayaan bermuara pada kesadaran bahwa KBG mesti tanggap dan serentak menjadi agen transformatif bagi dunia sehingga menampakkan wajah Gereja sebagai tanda yang menyelamatkan. 

KBG SEBAGAI MODEL HIDUP MENGGEREJA: HASIL SAGKI TAHUN 2000

Kutipan berikut tampaknya menjadi inspirasi untuk memahami pemberdayaan KBG di Indonesia: “Seperti Kristus melaksanakan karya penebusan dalam kemiskinan dan penganiayaan, begitu pula Gereja dipanggil untuk menempuh jalan yang sama, supaya menyalurkan buah-buah keselamatan kepada manusia”.  Merujuk pada kutipan ini, pengembangan KBG diarahkan untuk mendatangkan buah-buah keselamatan di tengah situasi kemiskinan dan penganiayaan yang merajalela. Para peserta Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) pada tahun 2000 mengakui bahwa sebagai bagian integral dari bangsa, umat Katolik Indonesia sepenuhnya ikut menghadapi permasalahan dan tantangan-tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia, seperti reformasi, situasi penuh ketakutan dan penderitaan. Peserta sidang berkeyakinan bahwa KBG merupakan jawaban yang tepat untuk pertanyaaan: “Bagaimana kita umat Katolik sebagai warga masyarakat melibatkan diri dalam pergumulan bangsa ini mewujudkan Indonesia baru yang lebih adil, lebih manusiawi, lebih damai dan memiliki keputusan hukum?”   Merujuk musyawarah paripurna V Federation of Asian Bishops’ Conferences (FABC) di Bandung di mana para uskup se-Asia menyatakkan bahwa Gereja tidak dapat menunaikan misi pelayanannya tanpa bersifat setempat”, peserta SAGKI pun berkeyakinan bahwa daya hidup umat Katolik terletak pada basisnya dan pembaharuan Gereja harus berasal dari basis. Dengan mengembangkan komuntas basis, kehidupan beriman dan menggereja kiranya lebih aktif dan lebih siap untuk ikut berperan di tengah masyarakat. Hal senada juga menjadi harapan para Waligereja Indonesia, yaitu kiranya usaha menumbuhkan komunitas-komunitas basis menjadi salah satu cara Gereja berperan dalam membangun masyarakat yang lebih adil, sejahtera, demokratis dan manusiawi.  

SAGKI 2000 memahami KBG sebagai cara hidup berdasarkan iman, jumlah anggotanya tidak terlalu banyak, komunikasi terbuka antar-anggota dalam semangat persaudaraan, membangun solidaritas dengan sesama, khususnya dengan saudara yang miskin dan tertindas. Inspirasi dasar pemahaman demikian adalah teladan hidup jemaat perdana sehingga KBG merupakan Gereja mini yang hidup dinamis dalam pergumulan iman. Dengan cara seperti ini, diyakini bahwa kehadiran Gereja bisa lebih mengakar, lebih kontekstual dan mampu menjalankan perannya untuk menjadi terang dan garam dunia seturut irama zaman. 

Gerakan membangun soliditas internal tentu tidak berarti mengerdilkan KBG menjadi komunitas eksklusif yang menutup dari kelompok-kelompok lain. Soliditas adalah daya yang kiranya memampukan KBG untuk membangun 'dialog kehidupan', 'dialog karya', dan 'dialog iman'. Konflik-konflik horisontal bukanlah alasan untuk menutup diri dan membungkam mulut. Tanpa ada keterbukaan dan dialog dengan kelompok lain, mimpi untuk mewujudkan Indonesia baru yang damai dan harmonis adalah sesuatu yang sulit diwujudnyatakan mengingatkan kenyataan dunia adalah tenunan yang  kaya warna dan beragam pola. 

Peserta sidang menyadari bahwa membangun KBG bukanlah hal mudah. Ada banyak tantangan yang mungkin dihadapi seperti faktor-faktor geografis, intervensi dari luar, budaya paternalistik dan individualistik, isu SARA, ketidakadilan jender, kekurangan pendidikan dan konflik budaya. Selain itu, masalah lain adalah soal komunikasi antara pastor dengan awam, perbedaan kebijakan paroki dan keuskupan, dan struktur Gereja yang tidak luwes dan feodal.

Berhadapan dengan masalah-masalah di atas, peserta sidang menganjurkan adanya perubahan dari pola spiritualitas yang terlalu individualisitis dan hanya vertikal ke pola religiositas yang memerdekakan, dari sikap yang mendominasi ke pola kesetaraan martabat manusia, dari pola eksklusif ke keterbukaan terhadap saudara seiman maupun umat lain, dari liturgi yang ritualistik ke liturgi yang berpihak kepada kaum miskin, dari Gereja yang legalistik ke Gereja yang spiritual-profetis, dari sikap eksploitatif ke pelestarian lingkungan hidup, dari sikap sibuk sendiri ke sikap tanggap terhadap situasi bangsa dan negara. Dengan demikian, gerakan pertumbuhan KBG adalah suatu gerakan bagi Gereja untuk memaknai panggilannya seturut peran dan tugasnya masing-masing demi pemberdayaan kaum marginal, sehingga setiap manusia sungguh dihargai menurut martabat sebagai gambaran wajah Allah. Panggilan ini merupakan panggilan bagi semua orang sebagai tanggapan atas panggilan Roh Allah sendiri.

POTRET KBG: MASIH JAUH DARI HARAPAN?

Merintis KBG Di Tingkat Lokal 

Untuk mendapatkan gambaran tentang KBG, penulis akan mengambil pengalaman di Pulau Flores. Di Flores, kekatolikan merupakan bagian integral dari kehidupan orang Flores sehingga Flores diidentikkan dengan kekatolikan. Umumnya diterima bahwa sejarah perkembangan iman Katolik di Flores sudah berlangsung sejak abad ke-16 yang bermula dengan Misi Solor oleh misionaris Dominikan. Dari Pulau Solor, misionaris Dominikan mengunjungi Larantuka (Flores Timur). Perlahan-perlahan, misi ini berkembang ke arah barat Pulau Flores. Selanjutnya, karya misi di Flores bagian barat secara intensif dilaksanakan sejak 1912. Dengan demikian, sejak satu abad yang lalu iman Katolik telah menyebar di seluruh Flores. 

Pengembangan komunitas basis di Flores sudah dirintis sejak awal dekade 1950-an. Pada mulanya wadah ini hanyalah berupa kelompok doa rosario atau kontas gabungan. Di dalam wadah ini, umat berkumpul untuk berdoa rosario bersama terutama pada bulan Mei dan Oktober. Umat berdoa rosario secara bergiliran dari rumah ke rumah (yang berdekatan). Pada masa ini, kekhasan komunitas basis hanyalah sebagai wadah untuk kemandirian urusan devosional.

Dalam perkembangan selajutnya, pada dekade tahun1960-an, kontas gabungan ini  berkembang sedikit lebih luas dari periode sebelumnya. Pada masa ini, selain bersifat devosional kelompok kontas gabungan ini juga bersifat teritorial. Kelompok kontas gabungan ini meliputi bagian atau keseluruhan kampung. Untuk membantu pengorganisasian, kepemimpinan kontas gabungan ini dipercayakan kepada guru agama atau orang kepercayaan pastor. Selain mengatut kontas gabungan itu dalam urusan devosional, mereka juga menjadi penyambung lidah dan pembantu pastor dalam urusan agama. Demikianlah, pada periode ini kontas gabungan turut membantu karya pastoral paroki.

Pada paruh kedua  dari dekade 1960-an, peran dari wadah ini kian berkembang. Wadah ini berkembang menjadi semacam rukun tetangga. Kelompok ini sudah mulai kuat dibandingkan periode sebelumnya. Hal ini tampak dengan beragamnya kegiatan bersama dalam kelompok. Kegiatan kontas gabungan ini tidak hanya berkisar pada urusan devosional tetapi juga sebagai kelompok kerja sama, gotong royong demi menciptakan kesejahteraan bersama. 

Perkembangan ke arah menguatnya kelompok ini berlanjut hingga tahun 1970-an. Mulai pada masa itu, wadah ini berkembang menjadi wadah solidaritas. Wadah solidaritas ini sangat tampak dalam peristiwa duka dan juga perkoperasian. Sementara itu, aspek rohani tidak sebatas pada doa devosional tetapi juga mengadakan syering Kitab Suci. Implikasi lain adalah awam mulai mengambil bagian secara aktif dalam paroki sebagai fungsionaris pastoral. Urusan administrasi paroki terbantu karena wadah ini berkembang menjadi unit terkecil administrasi paroki. Kontas gabungan sangat membantu dalam mengumpulkan dana-dana tertentu, mendata dan melaporkan calon penerima sakramen dan juga menanggung liturgi Gereja. 

Pada tahun 2000, wadah ini direvitalisasi. Hal ini dilatari oleh kesadaran  tentang hakekat komunitas basis sebagai basis hidup perjuangan iman yang efektif. Dalam wadah ini, nilai-nilai iman seperti solidaritas, keterbukaan sungguh menjadi nyata. Dengan kata lain, melalui wadah ini pergumulan iman umat sungguh kontekstual dan menyapa. Revitalisasi ini sejalan dengan hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia Tahun 2000 membicarakan komunitas basis secara lebih istimewa. 

Gambaran KBG Kita 

Pada tahun 2004-2007, Puslit Canraditya mengadakan riset potret KBG di Gereja lokal Flores. Penelitian itu difokuskan di Keuskupan Maumere dan Keuskupan Larantuka. Ada empat paroki yang diteliti, yaitu Paroki St. Thomas Morus Maumere dan Paroki St. Yohanes Maria Vianey Magepanda untuk Keuskupan Maumere dan Paroki San Jua Lebao dan Paroki Sta. Maria Ratu Semesta Alam Hokeng untuk Keuskupan Larantuka. Berikut ini, akan dipaparkan sebagian dari hasil penelitian tersebut untuk mendapatkan gambaran KBG di lokasi penelitian tersebut.

Pertama-tama, istilah komunitas basis sudah dikenal luas (95.7%) meskipun dengan variasi nama. Mereka mengenal wadah ini terutama dari tim pastoral paroki (75.4%) dan pastor paroki (73.7%). Bagi mereka, komunitas basis merupakan sebuah bentuk kebersamaan sosial yang inklusif dan saling menolong, wadah untuk urusan internal gerejani, wadah kegiatan rohani, pelaksana tugas-tugas gerejani (parokial). Pemahaman kaum awam lebih melihat komunitas basis sebagai kelompok terkecil untuk menenuaikan tugas doa dan yang bertanggung jawab atas kelancaran hidup menggereja. Sementara itu, para pastor memahami komunitas basis sebagai wadah di mana hidup Kristiani coba dibangun secara lebih membumi dan transformatif. 

Kemudian, aktivitas paling sering dan reguler adalah doa rosario. Sedangkan kegiatan lain, umumnya dilakukan pada basis bulanan, seperti pengumpulan iuran, UBSP (Usaha Bersama Simpan Pinjam) atau arisan dan ada juga kegiatan pada bulan-bulan khusus, seperti syering Kitab Suci pada bulan Kitab Suci Nasional. Mereka juga mengakui bahwa dalam kelompok basis ada gotong royong atau bentuk solidaritas lainnya, tetapi hal itu bukan bagian integral dari komunitas basis. Dalam kegiatan rohani, anggota yang hadir kebanyakan kaum perempuan dan anak-anak. Sementara itu, kegiatan-kegiatan gotong royong, perkoperasian, arisan UBSP, anggota yang hadir cukup seimbang. Responden menjelaskan bahwa umat akan lebih tergerak bila kegiatan komunitas basis itu berhubungan langsung dengan keprihatinan umat.

Keterlibatan mereka dalam kegiatan komunitas basis umumnya dimotivasi untuk mencari ketenangan hidup (individual- psikologis, 91,2%) dan juga ingin berjuang bersama melawan ketidakadilan dan penindasan dalam masyarakat (76.8%). Sementara itu, efek yang muncul dari keterlibatan di komunitas basis adalah makin giat beribadat (96,8%), ketahanan melawan ketidakadilan (93,8%), makin mendalami ajaran Gereja (92,4%), dan makin toleran terhadap orang dari daerah atau suku lain (92,4%). Mereka mengakui bahwa kegiatan komunitas basis lebih banyak mendatangkan manfaat sosial (49,6) dan manfaat ekonomis paling kecil (4,2%). Padahal, masalah-masalah yang sering dibahas di komunitas basis adalah kesulitan ekonomi (73.8%), minum mabuk (63.0%), pengangguran (58.2), kupon putih (55,6%) dan kekerasan terhadap anak (53.4%).

Seturut tujuan dibangunnya gerakan komunitas basis, masalah-masalah itu seharusnya dicari langkah pemecahan dalam terang Firman Allah. Namun, komunitas basis yang ada belum sepenuhnya mengambil langkah seperti itu. Hanya 48.7% dari atau 443 dari 990 responden mengakui bahwa hal itu telah dibuat oleh komunitas basis. Padahal mereka mengakui bahwa ilham dasar hidup komunitas basis adalah Kitab Suci atau ajaran Gereja (96.6%). Hal ini kontradiktif, karena pelaksanaan syering kitab suci hanya terjadi pada bulan-bulan tertentu. Dalam menangani masalah yang ada, langkah yang ditempuh komunitas basis adalah tindakan psikologis-pedagogis (51.2%) disusul tindakan sosial (19.0%) dan kegiatan-kegiatan yang lebih menciptakan peluang baru bagi kegiatan yang bersifat ekonomis bertengger di posisi ketiga (15,6%). Bahwa ada koperasi di KBG atau UBSP, tetapi hal itu belum menjadi bagian integral dari KBG. 

Pada level pribadi, responden menolak berbagai masalah sosial yang terjadi, terutama tiga isu berikut: kekerasan terhadap anak (92.6%), pengambilan tanah rakyat oleh negara (90.0%) dan konflik horisontal (90.0%). Sayangnya, sikap pribadi tidak banyak mendapat terjemahan konkretnya ke dalam upaya pemecahannya. Ada beberapa masalah yang paling banyak mendapat terjemahannya, yaitu kesulitan ekonomi (79.2%), konflik tanah (72.3%) dan konflik antar anggota masyarakat (65.9%) serta umat beragama (65.0%). Sementara itu, sikap menyerah terlihat cukup tinggi bila berhadapan dengan isu-isu sehubungan dengan perantauan (37.5), dan perjudian (sabung ayam: 30.3%, kupon putih: 36.6%, bola sodok: 36.2%) dan pengangguran. 

Tentang relasi sosial dalam dalam komunitas basis, meskipun iklim internal sangat positif, namun ada beberapa hal yang patut dikaji lebih jauh. Pertama,sikap terhadap warga komunitas dari luar diterima (91.1), menolak (1.9%), dan sedikit dicurigai (5.7%), teristimewa di Paroki Magepanda (10.1%). Meski umumnya suasana sangat positif, tampak juga bahwa masih ada situasi tegang (9.7%), saling curiga dan konflik (8.0%). Kedua, hampir semua responden merasa diterima dalam komunita basis (97.8%). Ketiga, berhadapan dengan pengurus dari suku atau daerah lain, umumnya menerima (89.7%), menolak (7.1%). Rupanya, dalam komunitas basis ada sedikit benih resistensi terhadap pemimpin dari luar. Keempat, masih ada kecurigaan terhadap kelompok agama lain. Dengan demikian, dialog hanya terjadi pada situasi normal dan biasa-biasa saja. Sementara dialog bersama untuk mengatasi persoalan bersama belum terlalu intens dan sistematis.

Berkaitan dengan gaya kepemimpinan, meskipun ada yang menilai pastor suka mengatur (41.3%), kepemimpinan pastor paroki terlihat sudah positif melibatkan awam (91,6%), dekat dan terlibat dalam hidup umat (89,8%), dan adanya sikap dialogal dengan umat (86.6%). Satu hal yang menarik adalah kepemimpinan pengurus komunitas basis jauh lebih egaliter, demokratis, bermitra dan menyatu dengan umat di mana mereka lebih melibatkan umat yang lain (93.9%), demokratis (91.9%) dan dekat dengan anggota (91.0%).

Akhirnya, warga komunitas basis menilai bahwa secara umum kiprah komunitas basis sudah baik, seperti merencanakan dan melaksanakan secara bersama, setia kawan, rukun dalam hidup bersama, dan identitas Katolik kian kuat. Tetapi, tampaknya komunitas basis itu sama seperti dulu, dengan sedikit semangat baru, doa dan Kitab Suci. Kemudian 85.0% mengharapkan bahwa kegiatan di komunitas basis dirancang, dilaksanakan dan diawasi secara bersama, 64.4% melihat komunitas basis sama saja dengan persekutuan doa gabungan dan Legio Mariae, lebih dari separuh menyadari bahwa komunitas basis bisa berjalan tanpa pastor dan masih ada yang melihat komunitas basis sebagai trend terbaru dari keanggotaan sebagai warga Gereja.

Sungguhkah KBG sebagai Wadah Pemberdayaan?

Mengutip Eka Dharmaputera, tantangan bagi KBG adalah insignifikansi internal dan irelevansi eksternal. Insignifikansi internal artinya keberadaan KBG kita tidak terasakan makna fungsionalnya di dalam kehidupan nyata umat itu sendiri. Sementara itu, irelevansi eksternal atau juga insignifikansi sosial artinya KBG terisolasi, teralienasi, atau seolah tidak mempunyai sangkut paut dengan dinamika sosial di lingkungan di mana mereka berada. Dengan menengok realitas KBG sebagaimana digambarkan di atas, ada beberapa hal yang mengindikasikan KBG terperangkap dalam insignifikansi internal dan irrelevansi eksternal. 

Pertama, KBG cenderung menutup mata, telinga, dan hati. Dari hasil penelitian itu, tampak bahwa ada banyak masalah yang ada dalam KBG. Namun demikian, KBG tidak sepenuhnya melihat, mendengar dan merasakan permasalahan yang terjadi dan KBG lebih dilihat sebagai sebuah wadah urusan internal gerejawi, wadah kegiatan rohani, dan pelaksana tugas-tugas gerejani (parokial). Meskipun secara pribadi, warga Gereja melihat masalah yang ada, tetapi masalah itu tidak dilihat sebagai persoalan KBG. Padahal, orang akan banyak terlibat dalam kegiatan KBG jika kegiatan itu menyentuh kebutuhan riil mereka.

Bertolak dari kenyataan demikian, tidak mengherankan kalau KBG lebih dipahami sebagai kelompok terkecil untuk menenuaikan tugas doa dan yang bertanggung jawab atas kelancaran hidup menggereja. Apalagi aktivitas paling sering dan reguler adalah doa rosario. Sedangkan kegiatan lain yang lebih menampakkan KBG sebagai wadah pemberdayaan terbilang minim.

Kedua, kesanggupan untuk menganalisis masalah yang ada belum memadai. Hal ini dapat terbaca dari jalan keluar yang ditempuh KBG dalam persoalan yang ada. Misalnya, responden memang melihat berbagai masalah sosial dalam KBG Berhadapan dengan masalah sosial yang ada, solusi yang ditempuh KBG adalah solusi yang bersifat individual-psikologis (91,2%). Berhadapan dengan masalah ekonomi yang ada, memang dalam komunitas sering dibicarakan, kegiatan KBG justru tidak memberikan manfaat ekonomis. Malah mereka justru merasakan bahwa manfaat yang paling besar dari kegiatan KBG adalah manfaat sosial. 

Harapan KBG sebagai modal persekutuan untuk memperjuangkan martabat kaum marginal berbenturan dengan kenyataan bahwa kesanggupan untuk menganalisis masalah belum terlalu meyakinkan. Misalnya, berhadapan dengan masalah ekonomi, langkah yang ditempuh KBG adalah tindakan psikologis-pedagogis (51.2%) disusul tindakan sosial (19.0%). Tidak mengherankan bila mereka terlibat dalam kegiatan KBG lebih untuk mencari ketenangan hidup dan karena itu KBG masih sama seperti dulu dengan sedikit semangat baru, doa dan Kitab Suci. 

Ketiga, masalah lain yang berkaitan dengan kesanggupan menganalisis masalah adalah belum melihat masalah dalam terang Firman Tuhan. Responden memang menyadari bahwa inspirasi dari gerakan KBG adalah Sabda Tuhan. Tetapi, bagaimana melihat masalah yang ada dalam terang Sabda Tuhan belum tampak. Hal yang paling mencolok berkaitan dengan hal ini adalah syering Kitab Suci bukanlah kegiatan reguler dan rutin dalam KBG. Mereka hanya meyeringkan Kitab Suci pada bulan Kitab Suci Nasional. Dalam hal ini, Sabda Allah seolah-olah terpenjara dalam Kitab Suci dan Sabda Allah berada di tempat yang jauh dari situasi riil KBG.

Setidaknya, ketiga hal di atas menjadi alasan untuk menyatakan bahwa KBG belum sepenuhnya menjadi jawaban atas harapan SAGKI tahun 2000. KBG belum sepenuhnya peka dan tanggap terhadap masalah yang ada. Meskipun secara personal disadari adanya masalah, tampaknya masalah itu bukan menjadi keprihatinan KBG. Selain itu, kesinambungan antara kepekaan dan upaya untuk memahami masalah belum nampak. Meskipun ada upaya untuk membicarakan masalah yang ada, pembicaraan itu masih berada pada tahap permukaan. Sabda Allah pun belum sungguh menjadi inspirasi untuk menangani masalah yang ada. Ketika KBG belum memahami masalah dengan tepat, maka langkah yang diambil tentu melenceng jauh dari persoalan yang ada. Dengan kata lain, tindakan yang ditempuh belum menjawab persoalan yang ada di KBG. Lebih tepatnya, KBG belum tiba pada cita-cita gerakan KBG untuk memberdayakan kaum marginal. 

Tampaknya hal yang sama juga terjadi di tempat lain. Penelitian KBG di Regio Jawa menunjukkan KBG masih bergerak dalam bidang solidaritas, sedangkan mereka yang mulai bergerak pada masalah perberdayan sangat lemah. Merujuk pada ajaran teologi dan pastoralnya, KBG harus menjadikan empowerment sebagai masalah pokok. KBG memang membawa perubahan tetapi terutama dalam hubungan hirarki/umat. 

LANGKAH STRATEGIS GERAKAN PEMBERDAYAAN KBG  

Pemberdayaan KBG sebagai Gerakan Back To Basic

Dalam Gaudium et spes, Kerajaan Allah merupakan suatu kabar bahagia. Kabar bahagia itu dihubungkan dengan pribadi Kristus sendiri yang datang untuk melayani dan untuk memberikan nyawanya menjadi tebusan bagi banyak orang. Kabar bahagia itu bertujuan untuk menyelamatkan setiap manusia dalam kesatuan dengan orang lain. Hal ini tampak dalam upaya Yesus untuk membangun persekutuan dengan membentuk keduabelasan para rasulnya. Dengan demikian, tidak mengherankan jika dalam Gaudium et Spes ditegaskan bahwa Allah menciptakan orang-orang bukan untuk hidup sendiri-sendiri, melainkan untuk membentuk persatuan sosial. 

Dalam pernyataan musyawarah paripurna III Asosiasi Ekumenis Para Teolog Dunia Ketiga di Nairobi ditegaskan bahwa salah satu kenyataan bagi masyarakat dunia ketiga adalah krisis dalam keterlibatan. Dalam pemahaman mereka, keterlibatan berarti pertobatan radikal kepada Allah pembebas dan kehidupan. Pertobatan berarti bersekutu dengan misi Allah bagi dunia, berpaling kepada Allah keadilan, perdamaian dan kehidupan. Pengalaman radikal pertobatanlah yang membantu melanggengkan solidaritas seseorang kepada Kerajaan Allah. Pertobatan menjadikan keterlibatan itu sungguh bermakna karena ia berarti keterlibatan kepada perubahan dunia yang radikal. 

Yesus Kristus telah menunjukkan model keterlibatan sejati dan radikal. Hal ini nyata dalam pengorbanan diri-Nya bagi semua orang, menjadi penebus semua umat manusia. Kepada para rasul diperintahkan untuk mewartakan kepada semua bangsa warta Injil supaya bangsa manusia menjadi keluarga Allah. Setelah wafat dan kebangkitan-Nya, Ia membentuk dengan kurnia Roh Kudus-Nya suatu persekutuan persaudaraan di antara mereka semua yang menerima-Nya dengan iman dan cinta kasih. Di situ, semua orang menjadi anggota dan sesuai dengan pelbagai kurnia yang mereka terima saling melayani. 

Pernyataan akhir simposium FABC-OE juga menekankan bagaimana pelayanan itu dimaknai pada zaman sekarang. Di sini, kemuridan sejati secara alamiah bermuara pada banyak pelayanan cinta kasih bagi orang lain. Lebih lanjut simposium itu menyatakan:

“... membangun kesadaran sosial, mencela ketidakadilan, bekerjasama dengan umat agama lain untuk karya keadilan, berpihak pada kaum miskin, memilihara keutuhan alam ciptaan, merawat orang sakit, mendidik kaum muda, membela dan memajukan hak asasi manusia membaharui struktur sosial dan sebagainya merupakan dimensi-dimensi integral dari pewartaan injil.” 

Gerakan KBG tidak lain adalah suatu gerakan back to basic. Artinya, kita harus kembali ke dasar keumatan kita, ke sikap-sikap dasar sebagai orang Kristen. Di sini, kita mesti mendasarkan diri pada Yesus Kristus dan Roh Kudus yang dijanjikan-Nya. Dengan kata lain, gerakan KBG menuntut dari semua orang katolik untuk membaharui imannya.  Tentang pertobatan ini, SAGKI 2005 dalam rekomendasi akhir menegaskan: 

“Tentu saja Gereja sadar, ia sendiri tidak luput dari ketidakadaban dan juga terlibat secara langsung ataupun tidak langsung dalam terciptanya ketidakadaban publik. Maka upaya Gereja untuk mengikuti gerak inkarnatoris Allah itu pertama-tama harus dimaknai sebagai gerak pertobatan. ..., SAGKI 2005 diawali dengan pengakuan akan keterlibatan Gereja dalam menciptakan atau membiarkan terjadinya ketidakadaban publik di ketiga poros yang meliputi Badan Publik, Pasar dan Masyarakat Warga. Gereja tidak selalu menunjukkan komitmen yang jelas untuk mengembangkan kehidupan yang lebih baik, sebagaimana diteladankan oleh Yesus Kristus.” 

Kerangka Acuan Pemberdayaan KBG: Dasa Sila Ajaran Sosial Katolik

Konsili Vatikan II memahami Gereja sebagai Umat Allah di mana Roh Kudus sebagai utusan Kristus telah dan akan selalu mempersatukan orang-orang yang percaya. Mesti disadari bahwa umat Allah dalam KBG dipanggil untuk hidup dalam persekutuan satu dengan yang lain. Sebagai umat Allah, anggota Gereja patutlah bersama-sama dan bersatu padu dalam membangun keadaban publik demi mencapai keutuhan masing-masing pribadi sebagai Imago Dei dan bonum commune kian nyata di tengah dunia. 

Di dalam persekutuan itu, semangat asali KBG adalah berbela rasa dengan kenyataan dunia. Melalui wadah KBG, umat beriman hendaknya bekerja sama dan dengan hati yang tulus serta pantang mundur dalam menghadapi segala kesulitan dunia sejalan dengan seruan Konsili Vatikan II berikut ini. 

Gereja didorong oleh Roh Kudus untuk ikut mengusahakan, agar rencana Allah, yang menetapkan Kristus sebagai azas keselamatan bagi seluruh dunia, terlaksana secara efektif. Dengan mewartakan Injil Gereja mengudang mereka untuk menerima babtis, membebaskan mereka dari perbudakan kesesatan dan menyaturagakan mereka ke dalam Kristus, supaya karena cinta kasih mereka bertumbuh ke arah Dia hingga kepenuhannya. 

Dalam permberdayaan itu, prinsip gerakan KBG tentunya harus searah dengan prinsip pokok Ajaran Sosial Gereja (ASG). Berikut ini akan diuraikan kesepuluh prinsip pokok yang ditandaskan oleh Willian J. Byron yang sekiranya juga menjadi kerangka acuan bagi gerakan pemberdayaan KBG.   

Pertama, prinsip martabat manusia. Prinsip pertama ini menegaskan bahwa setiap pribadi harus dihormati. Setiap pribadi dihormati bukan karena apa yang dimiliki atau apa yang dilakukannya, melainkan eksistensi sebagai manusia adalah dasar untuk menghormati setiap pribadi. Dalam hal ini, setiap pribadi bukanlah sarana aktualisasi pemberdayaan, tetapi setiap pribadi ditempatkan sebagai tujuan dari gerakan pemberdayaan. Dengan kata lain, pribadi manusia tidak dijadikan sebagai objek melainkan subjek dari gerakan pemberdayaan KBG.

Kedua, prinsip menghormati hidup manusia. Prinsip ini menegaskan bahwa hidup manusia adalah berharga. Maka, dalam gerakan pemberdayaan sejati tentu tidak menyudutkan pribadi manusia.  Willian J. Byron menyatakan bahwa semua taraf perkembangan dan kemerosotan hidup manusia adalah berharga, dan oleh karena itu patut dilindungi dan dihormati. Ketika pribadi manusia dilumuri noda dan cela, hal itu bukanlah alasan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mengucilkannya dari tengah dunia.

Ketiga, prinsip kerja sama. Menurut prinsip ini, gerakan pemberdayaan bukanlah kesempatan untuk menampilkan keangkuhan pribadi bahwa keadaban publik bisa tergapai tanpa campur tangan pihak lain. Gerakan pemberdayaan justru mengajarkan bahwa merentangkan tangan dan dengan rendah hati siap memberi akan membentuk pribadi-pribadi yang mencapai kepenuhan personal. Dengan demikian, gerakan pemberdayaan adalah saat bahwa dalam keterbatasan masing-masing pribadi, keadaban publik akan tetap tercapai dengan bergandengan tangan.

Keempat, prinsip keterlibatan. Kerja sama berarti memberi ruang bagi yang lain untuk terlibat seturut kharisma yang dimilikinya. Jelas bahwa ketika kesempatan dimonopoli dan/atau dikebiri, hal itu tentu menutup pintu bagi yang lain untuk mengalami rahmat. Di sini, pribadi manusia memiliki hak untuk tidak dikucilkan dari peran sertanya di dalam lembaga-lembaga yang bersifat mutlak perlu bagi kesempumaan manusiawinya. Maka, gerakan pemberdayaan mesti melindungi martabat kerja dan serentak hak-hak dasar para pekerja mesti dihormati.

Kelima, prinsip mengutamakan kaum miskin dan yang lemah. Tak dapat dipungkiri bahwa wajah dunia juga dihiasi oleh kaum miskin dan yang lemah. Tentu, mengafirmasi kenyataan demikian tidak berarti memelihara dan membiarkannnya tetapi gambaran demikian menyatakan urgensitas gerakan pemberdayaan. Boleh jadi bahwa situasi itu diakibatkan oleh ketiadaan kekuasaan dan adanya keleluasan pribadi. Dengan demikian, gerakan pemberdayaan untuk menciptakan kesejahteraan umum adalah mutlak dan dalam hal ini yang diutamakan adalah perlindungan bagi kaum miskin dan lemah. Kalau tidak, seturut refleksi Willian J. Byron, maka perimbangan yang dibutuhkan untuk menjaga agar masyarakat tetap bersatu akan pecah berantakan sehingga mencelakakan semua orang.

Keenam, prinsip kesetiakawanan. Mengutamakan kaum miskin dan yang lemah hanya mungkin jika memiliki prinsip kesetiakawanan. Prinsip kesetiakawanan merupakan kategori moral yang mengarahkan berbagai pilihan untuk senasip dan sepenanggungan dengan pribadi lain sehingga menggalakkan dan melindungi kesejahteraan umum itu.

Ketujuh, prinsip pengelolaan. Prinsip ini bertalian erat dengan kisah penciptaan bahwa manusia diberi hak untuk menguasai bumi tetapi bukan tanpa batas. Kisah penciptaan justeru menyakini bahwa manusia bisa dipercayai untuk untuk memelihara alam ciptaan. Hal bisa dibandingkan dalam Kej 2:15 “Tuhan Allah mengambil Manusia dan menempatkannya di taman Eden untuk mengelolahnya dan memeliharanya.” Prinsip ini kian mendesak mengingat bumi bukan lagi hunian yang nyaman bagi ciptaan. Paus Fransiskus dalam Ensiklik LAUDATO SI’ menyatakan keprihatinan atas perkembangan krisis lingkungann hidup dewasa ini dan serentak menegaskan tanggung jawab bagi generasi yang akan datang dalam memanfaatkan kekayaan alam.  Berhadapan dengan situasi di mana bumi bukan lagi menjadi hunian yang nyaman, maka gerakan pemberdayaan  KBG juga penting untuk secara serius menguatkan tanggung jawab dalam merawat keutuhan ciptaan. Dalam hal ini, manusia diberi tugas untuk mengelola alam dan karena itu, kepedulian terhadap lingkungan alam mesti ditingkatkan. Hal ini sangat berkaitan erat bagaimana kita menggunakan berbagai talenta secara bertanggung jawab baik bagi diri sendiri, sesama dan lingkungan sekitar. 

Kedelapan, prinsip subsidiaritas. Prinsip ini menegaskan, apa yang dapat dilakukan oleh unit-unit yang lebih kecil tidak boleh diambil-alih oleh unit-unit yang lebih besar. Dengan memperhatikan prinsip ini, kekuatan-kekuatan ekonomi yang besar tidak mencaplok atau menyingkirkan usaha-usaha ekonomi mikro dan kecil yang dilakukan oleh kaum miskin dan lemah. Prinsip ini juga mendorong unit-unit ekonomi yang kecil untuk mengorganisir diri menjadi suatu kekuatan ekonomi yang mandiri. Demikian juga dalam sistem pemerintahan di mana tidak boleh ada tingkat organisasi yang lebih tinggi yang melaksanakan fungsi apa pun yang bisa ditangani secara efisien dan efektif pada tingkat organisasi yang lebih rendah. Gerakan pemberdayaan tidak berarti bahwa segala-segalanya diambil oleh kekuatan yang lebih besar dan mematikan daya juang pribadi atau kelompok yang dekat dengan masalah yang terjadi. Saling melengkapi dan mengisi adalah bagian penting dari gerakan pemberdayaan.

Kesembilan, prinsip kesederajatan manusia. Gerakan pemberdayaan KBG kiranya menyadarkan dunia tentang apa “yang adil” itu dan apa yang bukan. Kesadaran ini adalah keniscayaan agar ketidakdilan terselubung disingkap dan juga mengedepankan bagaimana mesti bersikap jujur dan adil. Sederhananya, prinsip ini menggarisbawahi tentang memberi kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Keadilan juga berarti bahwa setiap pribadi jangan dikorbankan oleh sikap atau sistem yang mengkotak-kotakan dan memposisikan manusia sebagai kelas pertama, kedua, dan seterusnya.  Sikap jujur dan adil hanya mungkin dilandari oleh kesadaran bahwa martabat masing-masing pribadi adalah sederajat. 

Kesepuluh, prinsip kesejahteraan umum. Prinsip ini berhubungan erat dengan struktur yang ada di tengah dunia. Sruktur yang benar pasti menjamin kesejahteraan umum. Jika gambaran wajah Allah dilukai dan terhimpit oleh struktur yang ada, itu pertanda ada hal yang tidak beres dan mesti disembuhkan. Gerakan pemberdayaan KBG adalah benteng yang sekaligus penjinak stuktur yang ternyata melanggengkan gap yang kian runcing dan memisahkan pribadi yang satu dengan pribadi yang lainnya. Bagi Willian J. Byron “Kepedulian komunitarian yang sewajarnya merupakan pencegah yang ampuh terhadap individualisme yang tak terkendalikan.”

Lingkaran Pastoral:  Model Pemberdayaan KBG

Ide KBG berasal dari Amerika Latin. Sangat boleh jadi bahwa cara hidup menggereja ini adalah buah dari gerakan teologi pembebasan yang berkembang di kawasan itu. KBG djadikan sebagai wadah gerakan untuk berpihak kepada mereka yang mengalami situasi dan kondisi amanusiawi. Dengan kata lain, pemberdayaan KBG merupakan suatu model teologi pastoral untuk menanggapi sapaan Allah dalam diri kaum marginal.  Refleksi teologis dalam gerakan KBG selalu bertolak dan berpihak pada mereka yang menjadi korban. 

Visi serupa tampaknya menjadi ilham dasar untuk mengembangkan KBG di Indonesia. Hal ini misalnya dapat disimak dalam pedomaan Gereja Katolik Indonesia (1995). Juga telah diuraikan harapan peserta SAGKI 2000 dan di sana juga terlihat bahwa KBG kiranya menjadi wadah yang bisa menampakkan wajah Gereja sebagai tanda rahmat bagi duni. Ketikan SAGKI 2005 menyuarakan keadaban publik, KBG diyakini sebagai wadah gerakan untuk mengaktualisasikan mimpi luhur itu. 

Merujuk pedomaan Gereja Katolik Indonesia (1995), ada tiga hal fungsi kritis KBG yang patut dicatat.  Pertama, pembentukan komunitas hendak mendorong umat untuk berani menantang ketidakadilan. Di sini, hal yang harus dilakukan adalah mengatasi rasa ketidakberdayaan umat yang kehilangan harga dirinya. Kedua, membentuk jaringan informasi dan kerja, bukan hanya antara kita melainkan dengan semua pihak yang memperjuangkan ketidakadilan. Ketiga, melakukan pemberdayaan penduduk yang paling miskin untuk meningkatkan kehidupan mereka.

Dalam rangka mewujudkan harapan itu, lingkaran pastoral adalah salah satu  metode yang baik dihidupkan dan dikembangkan oleh KBG. Sebenarnya metode ini sudah tua. Agustinus dari Hippo menggunakan metode ini dalam kotbah dan tulisannya. Kemudian metode ini dihidupkan kembali oleh Gerakan Pekerja Katolik sejak tahun 1930-an dan oleh gerakan urban ministry di kalangan protestan sejak perang dunia II. Pada tahun 1960-an Konferensi Kristen se-Asia menggunakan lingkaran pastoral sebagai pola pastoral dan oleh Federasi Konferensi Para Waligereja se-Asia sejak Tahun 1970-an. Pola lingkaran pastoral ini digodok lagi pada tahun 1970-an oleh Gustav Gutierres dan teman-temanya di Amerika Latin untuk mengembangkan teologi pembebasan.

Metode lingkaran pastoral ini juga dapat dipahami sebagai model praksis, yaitu satu model kontekstualisasi yang menekan komitmen pada tindakan Kristen. Model ini berangkat dari aksi penuh komitmen. Aksi ini berlanjut pada refleksi di mana kita membuat analisis atas konteks dalam terang Kitab Suci dan Tradisi. Refleksi itu dikonkretisasikan melalui aksi dalam komitmen dan kebenaran. Model ini menekankan teologi merupakan sebuah proses yang tidak pernah selesai, yang mendapat kekuatan utama dari pengakuan akan Allah yang menyatakan kehadirannya dalam tenunan kebudayaan tetapi secara prinsipiil di dalam tenunan sejarah. 

Secara sederhana, lingkaran pastoral adalah suatu  tindakan yang bertolak  dari pergumulan dan pengalaman konkrit manusia, untuk membaharui keadaan yang tidak manusiawi menuju ke keadaan yang lebih baik. Lingkaran pastoral ini disebut juga lingkaran praksis, di mana metode ini menekankan hubungan terus menerus antara refleksi dan aksi. Metode ini selalu peka menanggapi masalah-masalah baru yang muncul terus menerus. 

Ada empat tahap yang dilalui dalam metode ini. Pada tahap pertama, dibuat pemetaan masalah. Pemetaan masalah ini mengandaikan kontak atau pengalaman ada bersama dengan pihak korban. Kontak atau penyelaman situsi memungkinkan kita untuk menangkap berbagai masalah yang ada. Kemudian masalah-masalah yang ada dibuat pengklasifikasian berdasarkan kategori-kategori tertentu, misalnya masalah sosial, masalah politik dan budaya. Masalah-masalah yang ada kemudian digumuli pada tahap kedua. 

Pada tahap kedua, masalah-masalah itu dipahami melalui analisis sosial. Dalam analisis sosial, masalah-masalah digali untuk mengetahui sebab-sebab, akibat-akibat, dan kaitan-kaitannya dari berbagai dimensi. Dengan cara ini, masalah-masalah akan dipahami secara lebih komprehensif. Pada tahap ini, digunakan berbagai pendekatan atau ilmu sehingga masalah yang ada sungguh dipahami dengan tepat dan sasarannya untuk menangkap akar masalah. 

Setelah memahami persoalan dengan jelas, pergumulan memasuki tahap ketiga, yaitu refleksi teologis. Pada momen ketiga ini, masalah-masalah yang ada dianalilis dalam terang iman yang hidup, Kitab Suci, Ajaran Sosial Gereja dan sumber-sumber tradisi Gereja. Pada tahap ini, dibuat refleksi dengan pertanyaan bagaimanakah wajah Allah dan di manakah Allah berhadapan dengan masalah-masalah itu? Pergumulan itu akan membantu untuk melahirkan pertanyaan baru, gagasan baru dan jawaban baru. 

Sasaran akhir dari lingkaran pastoral (tahap keempat) adalah tindakan pastoral. Karena itu, setelah dibuat analisis sosial dan analisis teologis, pada momen keempat, dibuat perencanaan pastoral. Di sini, dicari dengan sungguh jawaban yang tepat untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi. Jawaban-jawaban itu disusun berdasarkan suatu perencanaan. Perencanaan mesti dibuat agar menjadi efektif baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Perencanaan itu harus direalisasikan dalam tindakan konkret. Hal ini akan melahirkan pengalaman-pengalaman baru dengan masalah baru pula yang menuntut pemetaan, analisis dan perencanaan yang baru pula. Dengan demikian, pergumulan itu menjadi tidak terhenti dan terus berjalan menuju situasi dan kondisi yang lebih baik dari sebelumnya.

Tentu saja, metode ini bukanlah satu-satunya model yang dapat dipakai untuk menguatkan gerakan pemberdayaan KBG. Setidaknya, gerakan pemberdayaan KBG adalah suatu kesadaran dan niat luhur bahwa iman tak berdiri lepas pisah dari konteks. Gerakan pemberdayaan KBG kiranya menjadi jawaban atas seruan Paus Paulus VI dalam ensiklik Octogesima Advenien: “kami serahkan kepada komunitas-komunitas kristiani sendiri untuk menganalisis sendiri secara objektiif situasi sebenarnya dalam negerinya sendiri. “ Atau juga himbauan Paus Yohanes Paulus II dalam Surat Penetapan Yubileum Agung Tahun 2000: "Kedatangan milenium ketiga mendorong jemaat Kristiani agar mengangkat mata iman untuk memeluk cakrawala-cakrawala baru dalam mewartakan Kerajaan Allah..." 

PENUTUP

Gerakan pemberdayaan KBG KBG tidak lain merupakan suatu upaya pemberdayaan korban dan kaum tersisih yang tentunya tidak lari jauh dari pandangan mata kaum Kristiani. Namun, cita-cita menjadi terbengkelai karena orang belum menyadari panggilannya sebagai murid Kristus. Yesus telah menunjukkan keterlibatan dan pengorbanan sejati yang semestinya diikuti oleh mereka yang percaya padaNya. Gerakan pemberdayaan KBG kiranya tetap menjadi panggilan dan perjuangan dari mereka yang rindu akan kedatangan Kerajaan Allah. Ketika langkah pertama telah diambil, dan kiranya langkah pertama itu mengajak langkah-langkah berikutnya. Demikianlah gerakan pemberdayaan KBG kini kiranya tidak berjalan di tempat atau kandas oleh menguatnya arus individualisme yang menyertai milenium ketiga ini. 

RUJUKAN:

Bevans, Stephen  B., Model-Model Teologi Kontekstual, penerj. Yosef M. Florisan, Maumere: Ledalero, 2002.

Byron,  William J., “Dasasila Ajaran Sosial Katolik”, dalam FABC Reprint, Penerj. Yosef Maria Florisan, 31 Oktober 1998. 

Darmaputera,  Eka, “Memberdayakan Komunitas Basis-Dari Perspektif dan Pengalaman Kristen Protestan” dalam Spektrum No. 1 Thn, XXIX, 2001.

Dokumen Konsili Vatikan II, penerj.  R Hardawiryana. Jakarta: Obor, 1993.

http://www.ekaristi.org/dokumen/dokumen.php?subaction=showfull&id=1140126155&archive=&start_from=&ucat=1&, diakses pada 1 Juni 2015.

Holland, Joe dan Peter Henriot, Analisis Sosial dan Refleksi Teologis. Yogyakarta: Kanisius, 1986.

Kirchberger, Georg dan John Mansford Prior (Eds.), Mengendus Jejak Allah, Dialog dengan Masyarakat Pinggiran, Vol. I., Ende: Nusa Indah, 1997.

Konferensi Waligereja Indonesia, “Surat Gembala KWI-Pengumatan Hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia Tahun 2000” dalam Spektrum No. 1 Thn. XXIX, 2000.

Paus Fransiskus, LAUDATO SI’ ON CARE FOR OUR COMMON HOME, 

dalam http://w2.vatican.va/content/vatican/it.html, diakses pada 1 Juli 2015.

Koten, Philipus Panda. Potret Komunitas Basis Gerejani Kita. Maumere: Ledalero dan Puslit Canraditya, 2009.

Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia, “Rangkuman Hasil Sidang Agung Gereja Indonesia Tahun 2000” dalam Spektrum, No. 1 Thn. XXIX, 2001.

Subangun, Emanuel, “Laporan Penelitian Kelompok Basis Gerejawi Di Regio Jawa” dalam Sawi, No. 17 Okteber 2002.

Suseno, Franz Magnis, “Di Tahun 2000 Umat Katolik Indonesia Melihat Ke Depan” dalam Spektrum No. 1 Thn, XXIX, 2001.

Turang, Petrus, “Pernyataan Akhir Simposium FABC-OE Tentang Evangelisasi dalam Cahaya Ecclesia in Asia”  dalam SAWI, No. 17 Oktober 2002.